3. Keluarga Wijanarko

2.6K 230 4
                                    

Raya

Aku membuka mata dan menemukan sebuah jendela besar yang mempertontonkan langit malam berhias kerlap-kerlip lampu gedung di depan mataku. Aku mengerjap-ngerjap beberapa kali tetapi bayangan itu masih ada di sana. Artinya ini bukan mimpi.

Aku meregangkan tubuhku yang terasa kaku dan sensasi lembut serta harum menyentuh pipi kiriku. Detik itulah aku sadar kalau aku sedang berbaring diatas kasur putih berukuran King, tempat di mana seharusnya seorang laki-laki berbaring. Panik, aku menoleh ke belakang. Namun tidak ada seorang pun. Ke mana si William dan gimana caranya aku bisa ada di sini?

Aku bangkit sesegera mungkin dari kasur lalu cepat-cepat keluar kamar. Tempat pertama yang terpikir olehku adalah ruang kerja. Jadi aku langsung melesat ke sana. Namun ternyata William tidak ada di lantai dua.

Lalu tiba-tiba saja, aku mendengar suara piring. Aku pun langsung berlari menuruni tangga dan melesat ke arah dapur. Waktu aku tiba di dapur, William sedang menyantap bubur oats di island. Dia nampak segar seperti habis mandi dan setelan kerja nya pun sudah diganti dengan kaos abu-abu dan celana training hitam.

Dia tidak menyadari kehadiranku. Aku pun tergerak untuk mendekatinya. Kemudian saat jarak kami tinggal beberapa puluh senti, dia baru mengangkat kepala. Saat itu, untuk pertama kalinya sejak kami saling mengenal, dia tersenyum saat melihatku.

"Halo," tegurnya.

"Hai." jawabku sambil mendaratkan tubuhku di atas stool.

"Makan?" tanyanya lagi.

"Nggak, makasih." jawabku.

"Okay," balasnya.

"Bapak.."

"Oh, please... Panggil Will aja." potongnya langsung.

Aku melotot, kaget.

"Kenapa?" ujarnya sambil terkekeh.

Aku tidak sanggup merespon. Ini terlalu aneh.

"Hei!" ujar William sambil melambai-lambaikan tangan di depan mukaku.

Aku langsung sadar. "Gimana keadaan kamu?" tanyaku kemudian.

"Im fine... Im fine... I feel so much better. Thanks to you." jawabnya sambil tersenyum manis.

Aku manggut-manggut saja dan pandanganku pun tertuju ke laki-laki itu.

Beberapa detik berlalu dan William masih terus menatapku sambil tersenyum. Aku jadi risih. Lantas, ku alihkan pandangan ke arah lain. Namun, mataku lagi-lagi kembali ke dia dan dia masih saja memandangi aku.

Aku sudah mulai salah tingkah saat ponsel 6 inch itu berdering. Fiuh... untung aja.

William meraih ponselnya dan membaca identitas penelpon sebelum mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Ya, assalamuallaikum?" ujarnya, lembut.

Sebelah alisku naik mendengarnya. Wow! Siapa orang yang bisa membuat laki-laki ini bicara dengan nada selembut itu?

Tidak lama kemudian, samar-samar terdengar suara seorang perempuan berbicara panjang lebar di telepon. Entah apa yang dibicarakan, yang jelas William kelihatan malas mendengarnya. Walaupun begitu, dia tetap mendengarkan ocehan perempuan itu dalam diam.

"Will nggak boleh absen aja, Ma? Mama kan tahu William..." Mata William terarah padaku dan ia pun berhenti bicara.

Aku menggerakkan alis, penasaran dengan apa yang dia pikirkan. Namun, laki-laki itu malah bangkit berdiri dan langsung pergi menjauh dari aku untuk bersembunyi di belakang tangga.

Elmo & Prince CharmingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang