2

5K 118 0
                                    

"Sadaqallahul azim."

Halimah meletakan Al-Qur'annya. Kemudian ia membawa jus yang ia simpan di kulkas mendekat kepada Ainun. Ainun masih mengerjapkan mata untuk mengumpulkan sebagian nyawanya.

"Apa bacaanku membangunkanmu?"

Ainun menggelengkan kepala. Ia mengambil jus yang diulurkan Halimah. Sedangkan Halimah mengambil duduk di sebelah Ainun. Mereka bersama-sama melihat pemandangan yang tersaji dari flat murah Ainun.

"Sudah sholat?"

"Aku halangan. Jadi, ada apa?"

"Kau tidak ingin cerita?"

"Aku tidak mau mendengar jawaban tempo hari. Kau tanya seorang sepertiku?"

Ainun mengalihkan pandangannya pada cairan hijau kuning di mug putihnya. Ia bergidik ngeri melihat cairan itu berpindah-pindah saat ia menggerakan ke kanan atau ke kiri. Ia juga mencoba mengendusi sebelum ia mencicipinya.

"Kau marah?"

"Eww... hmm? Gak biasa aja. Ini kenapa pait ya?"

"Itu alpukat kok. Tidak boleh menghina makan, Ai. Mungkin karna aku taruh di kulkas kelamaan. Jadi, ceritakan semuanya padaku ya?"

"Maaf---Eh?"

Ainun menengok kaget saat melihat catty eyes Halimah. Untuk kedua kalinya ia bergidik ngeri hari ini. Merasa risih ia menjauhkan diri dari Halimah yang mendekat kepadanya tadi. Ainun berdehem pelan.

"Kemarin aku khilaf. Tapi bukankah Hali harusnya ingat kalau kesedihan sebaiknya disimpan sendiri biar Allah yang sembuhkan dan kebahagian yang harus dibagi biar semua merasakannya?"

Ainun tersenyum penuh hingga ia paksa senyum itu menyentuh ujung matanya. Tak hanya itu ia juga menyampaikan dengan hasrat berkobar. Tetapi, Halimah tahu jika itu fake. Halimah tahu benar tentang saudaranya yang satu ini. Semakin ia merasa sakit maka topeng yang dipasang akan lebih bersinar bak tak pernah merasakan kegelapan dunia dengan semangat penuh dan tidak lupa senyuman lebarnya.

"Hali tahu. Tapi Hali juga tahu Ai. Ai tahu juga kan apa guna dari seorang dokter? Dokter memang bukan Zat yang menyembuhkan. Ia hanya perantara bagi kesembuhan pasien. Hali juga di sini hanya perantara Allah. Hali insya allah bisa Ai percaya. Ai tahu itu juga kan?"

***

"Ceritakan kronologinya!"

"Aku memintanya menemui ayahku karna ibuku yang menyuruhku untuk melakukannya. Walaupun sebelumnya aku menanyakan dulu keadaannya sehingga dia tidak merasa kaget di situasi yang tidak tepat. Setelah hari itu beberapa hari kemudian, dia menanyakan padaku. Kalau ingin menikah maka kau harus pindah aliran atau kira jalani hidup kita masing-masing."

"Dan yeah kau lihat aku menjalani hidupku sendiri. The end."

"Apa ini ada hubungannya dengan permintaanmu untuk menemui Pak De?"

"Hanya Allah yang tahu. Aku tidak suka mengandai-andai."

"Apa ada yang masih mengganjal di hatimu?"

"Kau tau pertanyaanku yang aku ajukan kepadamu? Itulah yang masih membuatku terlihat konyol. Aku mencari tahu akan permintaannya. Aliran? Oh come on dear. Islam ya islam. Kita tahu itu kan? Dan kita diajarkan tentang itu. Walaupun kita tidak bisa menutup mata banyak hal yang berbeda tapi kita tetap satu kan? Itu hanya organisasi. Ingat eyang putri? Ia berasal dari organisasi berbeda atau orang-orang di luar sana mengatakannya aliran. Tapi apakah serumit ini dibuatnya? Gak kan? Pada akhirnya eyang putri masuk organisasi eyang kakung tanpa paksaan. Aku juga tidak akan keberatan kalau itu hanya berpindah organisasi. Selama organisasi yang aku masukin bukan yang keluar dari ajaran islam itu sendiri. Ini hanya tentang sudut pandang yang melihat tauladan kita dari kiri, kanan maupun tengah. Ada yang tahu siapa yang salah?"

MenemukanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang