12

1K 47 0
                                    

"Ini!"

Halimah dengan berjilbab hijau menyerahkan sebuah tiket dan paspor kepada gadis berjilbab hitam. Gadis berjilbab hitam itu Ainun yang sekarang sibuk melipatkan kulit di keningnya. Sedangkan Halimah memandangnya dengan mata berbinar menunggu reaksi Ainun di depannya.

"Tiket? Paspor?"

"Ya! Berhubung kita hanya kuliah teori hari kamis dan hari itu kita libur. Ditambah aku sudah menyelesaikan KKL magangku lebih cepat. Aku putuskan kita pergi!"

Dan untuk menghindarkan peluang besar kau bertemu dengan laki-laki yang akan meruntuhkan ke fokusanmu menjalani hidup.

"Ini bukan akal-akalan kamu gara-gara aku kemarin..."

"Ekhm. Itu hadiah dari tante Megi. Tante Megi ingin liburan juga mumpung hamilnya belum gedhe. Jadi, kenapa harus menolak rejeki?"

Tadi aku berdiplomasi dengan baik bukan? Tidak ada unsur berbohongnya kan ya? Tidak kok. Aman malaikat atid! Catatmu untuk tidak panjang karna ini kok 😇

"Baiklah! Ayo!"

"Yosh!"

Ainun tersenyum melihat kelakuan Halimah yang membuat jilbab hijaunya mengembang bak bendera merah putih tertiup angin saat di pasang yang tinggi. Bagaimana tidak menjadi seperti itu kalau Halimah melompat kegirangan sambil menaik turunkan lengan kanan bergantian dengan lengan kiri. Ainun tahu semua ini sudah ada dalam rencana Halimah karena setiap saudaranya satu itu melihat Ainun sedih ia akan melakukan sesuatu. Sebut saja ini feeling akibat kekentalan darah yang melebihi air.

Tak lama setelah percakapan Halimah sudah sibuk dengan acara berkemas. Sedangkan Ainun masih tetap duduk dan tidak melepaskan diri dari laptopnya. Ia dengan serius presentasi proposal KKN yang akan ia dan kelompoknya lakukan bulan Juni esok di lapangan.

"Kenapa senyum-senyum?"

Halimah menghampiri Ainun dengan sekantung chips. Ainun melirik kantung makanan Halimah. Tanpa basa-basi ia pun langsung menyambarnya bersama protesan Halimah. Puas dengan makanan ia pun merebahkan kepalanya di pangkal sofa untuk menghelakan nafasnya.

"Habis rapat presentasi lewat skype dengan dosen pembimbing lapangan. Hampir saja kami dimarahin lagi. Apalagi dari tiga kelompok yang beliau pegang kelompok kami yang hampir gagal. Untung saja lolos. Tapi untuk pertama kalinya. Beliau bilang proker kami yang terbaik dari keseluruhan kelompok. Alhamdulillah..."

"Jangan sombong..."

"Iya. Terimakasih."

Halimah memperhatikan senyuman Ainun. Ainun yang tahu sedang diperhatikan pun memalingkan wajahnya. Lalu menutup matanya. Ia tahu apa yang dipikirkan Halimah. Kekhawatiran berlebihan tentang dirinya seperti biasanya. Kemampuan saudaranya yang selalu bisa menebak dirinya dengan tingkat ketepatan 99,9%.
Walaupun ia sudah berusaha sekuat tenaga terlihat baik-baik
saja.

Disisi lain ia juga tahu Halimah menahan dirinya untuk tidak akan angkat bicara lagi. Entah karna permintaannya atau sudah bosan melihatnya yang selalu membahas rasa sakit yang sering kambuh. Halimah bahkan tidak pernah membahas kejadian kemarin.

Tapi siapa pun tahu apa yang sedang bergolak dalam hati Ainun. Di dalam sana ada sesuatu yang tidak tentram. Kali ini Ainun menyuarakan apa yang dipendamnya sebelum ia mulai kehilangan kewarasannya. Ia tahu kalau sikapnya tidak konsekuen tapi ia butuh teman untuk berbagai. Setidaknya ia ingin merasakan bahwa masih ada manusia yang peduli dengannya selain kedua orang tuanya.

"I thought I was over him but He still makes me lost all of me. I can't help myself."

"Sok inggris kau, Ai."

MenemukanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang