1

9.8K 206 4
                                    

"Sekeras karang kita coba. Tetap kau tinggal diriku..."

"Waktu hujan turun. Di sudut gelap mataku. Begitu derasnya. Kan ku coba bertahan."

"Tak akan ku halangi. Walau ku tak ingin kau pergi..."

- hujan turun

Hujan yang turun begitu lebat di awal bulan Maret tahun 2016 ini. Bukan suasana yang membakar itu juga yang terjadi pada gadis yang memandang kosong kearah cermin kaca. Padahal latihan yoga sudah usai setengah jam yang lalu. Ia tersenyum miris melihat bayangan dirinya. Hal itu tidak luput dari pandangan saudaranya yang baru saja keluar dari kamar ganti latihan.

"Menangislah jika ingin menangis. Kemari..." Kata Halimah sambil mengulurkan kedua tangannya.

"Aku akan membaik, jangan modus Hali."

"Aku masih normal Ai. Aku kan cuma mencoba berbuat baik."

Ainun menoleh kepada Halimah dengan seluruh badannya mengadap Halimah. Memandang lekat tepat di mata. Kemudian tersenyum miris.

"It's fucking three years, Hali."

Luruh sudah air mata yang tak mau keluar selama ini. Menyerah juga lengan yang tegang bak tameng di depan banyak orang. Tidak kalah penting senyum palsu yang ia pasang telah hilang digantikan cegukan nafasnya.

"Tenanglah. Muslimah jangan bad word ya Ai."

Ainun melepas pelukan Halimah dan mulai menyeka air matanya. Kemudian ia mengatakan, "maaf tapi ini sakit, Hal. Aku tidak tahu kenapa dia baru mengatakan sekarang kalau kami tidak bisa menikah kalau aku tidak dari aliran yang sama. Kau tau Ratna teman kita yang seperti dia. Aku bertanya kepadanya semua tentang ini dan dia menjelaskan seketika dengan jelas. Kenapa dia menyembunyikan hal semendasar ini, Hal?"

"Kau mau jawaban seorang sepertiku?"

"Aku tau. Aku sudah diperingatkan tentang ini. Ikuti alur yang barokah. Jangan mau diombang ambing dalam ketidakjelasan dan aku yang salah di sini."

Mereka terdiam. Saling memandang hujan yang masih menetes dari kaca jendela. Pelan tapi terdengar. Mereka mengucap doa hujan turun.

"Aku pulang Hali. Terimakasih."

Halimah memandang saudara sekaligus sahabatnya satu itu. Sahabatnya yang bandel. Tapi ia sangat menyayangi Ainun satu itu. Ia sembari mendoakan yang terbaik saat bayangan Ainun mulai menghilang dari kejauhan.

"Mungkin Allah cemburu karna mungkin kau seharusnya lebih berharap kepada Dia bukan dia, Ai..." Kalimat terakhir Halimah sebelum ia beranjak menyambut para ibu hamil.

*****

"Anda sudah mengambil metodeologi penelitian?"

"Sudah, Pak."

"Ipk anda berapa?"

"3.81 Pak."

"Saya gak percaya. Buktinya bikin kesimpulan saja kayak gini. Harusnya anda tahu kesimpulan itu menjawab tujuan saudara. Ini proposal macam apa!"

"Maaf atas kesalahan saya, Pak Aloisius. Saya akan perbaiki."

"Yasudah perbaiki. Jangan membuat kesalahan kecil sefatal ini lagi."

"Terimakasih, Pak. Saya permisi."

Klek

Aku memandangi proposalku. Kenapa bisa menulis seperti ini sih, Ai! Aku ini benar-benar...

Kring kring kring

"Assalamu'alaikum Aridah."

"Wa'alaikumsalam. Ai, dimana kamu? Katanya janjian di depan perpus."

"Iya di depan perpus nanti jam 5 sore Rid."

"Apanya jam 5 sore. Kemarin kan janjiannya jam 4 sore alias sekarang!"

"Enggak ah."

"Iya!"

"Gak!"

"Sini jangan banyak debat!"

"Pokoknga jam 5 sore!"

Tut tut tut

Anak itu janjian jam berapa dan datangnya jam berapa. Tapi apa iya aku salah. Coba aku check dulu.

Aridah: 4 sore di dpn perpus

Ai: Yup

"Astagfirullah. Ada apa denganku?"

Aridah pasti marah. Oh ya Allah. Aku harus segera ketemu Aridah. Ada dengan diriku akhir-akhir ini? Kenapa bisa semua sefatal ini?

***

"Bangun Ai!"

"Hali pergilah. Aku baru saja tidur setelah sholat dhuha. Pergi kha kha..."

"Ya! Kau ini. Setelah bertengkar dengan Aridah. Terus dimarahi Mr. Alo. Datang telat waktu meeting. Padahal jelas kau yang bawa satu dari dua produk baru kita yang mau dipresentasikan. Kau juga yang bawa rencana bisnis kita. Oh jangan lupa kemarin, kau mengumpulkan laporan kunjungan lapangan tanpa lembar pengesahan kalau kau ingin aku ingat kan nona Wardhana."

Halimah dengan jengkelnya mulai menarik pergi sarung yang membungkus Ainun. Ainun yang merasa terganggu akhirnya bangun dari tidurnya. Duduk bersila dan melipat kedua tangannya di dada.

"Jangan lupakan juga kelompok KKN-ku yang hampir terdisfikualifikasi. Terimakasih sudah mengingatkan nona Nayu. Sekarang biarkan aku tidur karena aku juga tidak tahu ada apa dengan semua ini. Kenapa aku jadi seperti ini? Aku berusaha sangat, Hali. Biarkan aku tidur."

"Membiarkanmu skip waktu lagi dan lagi begitu?"

"Ayo ke tempat temanku. Minho. Dia pasti punya cara membantumu."

"Aku tidak bisa basa korea dan kalo pun dia bisa basa inggris. Aku bukan orang yang bisa mengerti Inggris versi logat Korea. Oyasumi."

Ainun merebut sarungnya kembali. Membungkus dirinya seperti kepompong. Tapi jangan sebut Halimah jika ia menyerah menangani saudara sekaligus sahabatnya yang satu ini.

"Dia orang Indonesia keturunan China. Ibunya aja yang fans berat drama korea. Dia fasih bahasa. Jadi cepat jangan banyak alasan."

"Ai..."

"Ai!!!"

"Hali, calm down okay? I'm fine."

Halimah masih keukeh dengan posisinya. Begitu pula dengan Ainun. Pada akhirnya Halimah mengalah dan membiarkan Ainun meneruskan tidur siangnya.

"Kalau patah hati membuat orang menjadi linglung seperti ini. Aku tidak akan mau patah hati, Ai."

"Katakan itu saat kau jatuh cinta, Hal."

"Terserah. Tapi kita perlu bicara setelah kau bangun."

"Yes madam. Good night."

Setidaknya dengan tidur membuatku sejenak tidak merasakan rasa sakit yang bahkan aku tidak tahu bagaimana mengatasinya.
-Skip Time

MenemukanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang