8

1.1K 53 0
                                    

POV AINUN

Aku tidak peduli dimana aku sekarang. Untuk yang kesekian kali ia mengalihkan duniaku. Laki-laki yang berdiri disana.

Aku mendekatinya dengan langkah tercepat yang aku bisa. Aku tersenyum lega saat dihadapannya. Dia masih ada dan tidak pergi.

"Andro..."

Aku menatap kedua matanya sama seperti yang ia lakukan. Menunggu ia bereaksi saat mendengar namanya aku panggil. Tetapi, ia tidak bergeming sama sekali.

"Maafkan aku... Aku egois lebih mencemaskan keadaan orang tuaku dari pada kita. Maaf karena ketakutanku yang berlebihan tidak bisa diterima di keluargamu sehingga aku menyerah begitu saja. Maafkan aku, Andro..."

Saat aku mengatakan hal itu aku bahkan tak berani memandang wajahnya. Hanya berani mengatakannya dengan kepala tertunduk. Barulah aku angkat saat tak mendengarkan jawaban apapun darinya.

"Kenapa kau hanya diam?"

"Apa aku bahkan gak layak mendapat salam perpisahan?"

Aku mencoba berbicara dengan nada ceria. Kemudian aku berikan cengiran terbaikku. Walaupun begitu, ia masih tetap diam hingga aku menyadari ia menghilang.

"Andro!"

Plak!

"Bangun Ai!"

"Aww... Hali, kenapa menamparku?"

"Karena kau terlihat gelisah dalam tidur. Mana mungkin aku biarkan. Makanya kalau tidur doa, Ai. Pake sebut nama laki-laki itu lagi. Mimpi apa hayo?"

"Kepo! Hmmm jam berapa?"

"Jam tiga. Baru mau sahur buat puasa senin-kamis. Mau puasa, Ai?"

"Mmm boleh. Hali..."

"Apa?"

"Aku salah ya menyerah begitu saja dari dia?"

"Sudahlah, Ai. Itu hanya masa lalu."

"Aku juga egois ya, Hal..."

"Ainun! Dengar! Kau yang memintaku buat gak bahas laki-laki itu lagi kan? Tapi sejujurnya semua itu simple saja. Dengar ini baik-baik karena ini terakhir kalinya aku menasehatimu tentang laki-laki itu. Laki-laki akan mendapatkan apa yang mereka perjuangkan dan wanita akan mendapatkan apa yang mereka pertahankan. Permasalahnya disini kalian berdua tidak melakukan keduanya dengan benar. Walo ya tetap buat aku porsi kesalahan laki-laki itu jauh lebih besar. Tapi secara keselurujan ini bukan salah siapapun. Ini yang dinamakan proses. Oke?"

Aku menganggukkan kepala sembari mengumpulkan diriku seluruhnya. Segera setelah itu aku mengambil air wudhu dan sholat. Barulah setelah itu aku sahur bersama Halimah.

Namun jauh didalam hatiku aku menyadari perkataan Halimah yang membuatku kembali bijaksana. Tetapi dilain sisi tetap saja, mimpi tadi masih terngiyang jelas. Kejadian tadi terasa begitu nyata. Seperti mengulang kejadian di hari suram itu lagi.

Sekeras apalagi aku harus berjuang. Ini begitu menyiksa. Kesendirian. Kerinduan. Kecerobohan. Tentu saja dengan takdir yang pelik yang banyak bentuknya dan tak semua bisa bersatu.

Ya Rabb, kuatkan hamba...

MenemukanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang