3 - Carla's Effect

306K 17.5K 579
                                    

"Carter!" terdengar bentakan Carla dari kamar yang terletak di kamar pertama yang terletak di lantai dua. Aku berhenti. Awalnya aku ingin berjalan terus ke arah kamarku, tapi kakiku tidak bisa diajak kompromi. Keduanya malah mematung tepat di depan pintu kamar Carter.

"Aku kan udah bilang, jangan pernah menyapa Cameyla! Apalagi tersenyum, itu gak boleh sama sekali, Carter. Kamu tuh ngerti gak sih?" suara Carla terdengar lagi.

Dan dia membawa-bawa namaku. Ia pasti membahas kejadian di kantin.

"Memang apa sih untungnya buat kamu kalau aku sekedar tersenyum sama 'adik' aku sendiri. Salah?" tanya Carter dengan menekan kata adik. Suaranya terdengar bosan. "Lagian kamu ada masalah apa sih sama Cameyla? Kamu kayaknya gak seneng banget lihat dia diterima pergaulan atau sekedar punya temen. Jangan egois, Carla. Karma berlaku"

Terdengar dengusan yang kutebak berasal dari Carla. "Adik? Mana mungkin seorang Carla Atwood punya adik yang culun abis. Kacamatanya aja gak pernah ganti dari dia masuk SMP. Like seriously? Kayak keluarga kita gak punya uang aja. Keluarga kita itu keluarga terpandang. Papa itu aktor terkenal, mama itu model kelas dunia, kamu itu anak band yang juga ketua OSIS di sekolah, dan aku itu aktris yang sedang ditawari casting di mana-mana sekaligus kapten tim cheers. Sedangkan Cameyla? Dia bisa apa sih, aktingnya buruk banget, dia gak fotogenik, kacamatanya tebel banget, gayanya kuno. Gak banget"

Jleb. Banget.

Rasanya seperti dihempaskan dari langit langsung ke tanah. Sakitnya tidak terkira. Aku tak mengerti bahkan kakakku sendiri berpikir aku seculun itu. Dia juga tidak mau mengakuiku sebagai adiknya. Air mana air.....

"Carla!" bentak Carter. Suaranya meninggi entah berapa oktaf. "Jaga omongan kamu. Bagaimana pun juga dia itu adik kamu, Carla. Adik kandung. Gayanya dia itu terserah dia, bukan urusan kamu sama sekali. Cameyla itu lebih muda dari kamu tapi di sini malah kamu yang kekanak-kanakan"

Aku memang tidak dekat dengan kakak keduaku, Carla. Sama sekali. Dulu ketika kecil kami sering bertengkar. Hanya karena masalah-masalah sepele, seperti rebutan barbie, baju, bahkan sampai siapa yang harus duduk di sebelah mama ketika acara premiere film papa.

Di film-film, pasti seorang adik dan kakak perempuannya bakal akur. Saling curhat tentang cowok yang mereka sukai dan model fashion terbaru. Tapi kehidupan akur antara kakak dan adik perempuan itu tidak berlaku dalam kehidupanku. Carla sepertinya benci setengah mati padaku.

Kehidupan sosialku di sekolah tidak pernah bagus. Carla mempunyai pengaruh yang besar di sekolah. Sekali dia benci seseorang maka orang lain akan mengikutinya. Carla benci aku. Jadi, orang lain juga begitu. Betapa menyedihkannya.

Syukurlah aku masih memiliki Carter, yang mau mengakui keberadaanku. Sebenarnya ibu dan ayahku juga peduli denganku tapi ya... kan mereka sibuk. Mana sempat sih ngurusin kehidupan sosial anak-anaknya.

Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki di belakangku. Diikuti teriakan yang memanggil Carter untuk segera ke bawah karena seseorang yang kelihatannya penting sudah datang. Suara orang itu nyaring dan tak terbantahkan. "Carter kalau--" omongan orang itu berhenti ketika melihatku sedang mematung di depan kamar Carter.

"Cameyla, baby!" pekik orang itu. Suaranya mendadak lembut. Dia manager Carter. Sudah hal biasa suaranya berkumandang di penjuru rumah.

Tepat pada saat itu pintu kamar Carter terbuka. Dan sontak kedua sosok yang baru saja ku 'kupingi' itu melotot melihatku berdiri di depan kamar. Yah, sial.

*

Aku duduk di kelas biologi. Dan jangan ditanya aku duduk dengan siapa karena aku sendirian. Bel belum berbunyi. Dan aku satu-satunya murid yang duduk di kelas. Murid lain biasanya baru akan masuk 5 menit sebelum bel.

Aku mengangkat kepala ketika melihat sebuah tas diletakkan di meja sebelahku. Di sana dia, Haris Conor, sedang duduk dengan headset di telinga. Sepertinya dia tidak ingin diganggu. Duh, gak membantu banget sih ada teman sebangku tapi bahkan dia tak mau bertegur sapa barang sedetik.

"Hai" sapaku berusaha ramah. Tidak ada salahnya kan berusaha ramah dengan teman yang sudah dua kali duduk sebangku denganmu. Walau orang itu sedikit menakutkan karena mengetahui identitasmu tanpa sepengetahuanmu.

Hening.

Sial. Susah banget ya menjawab sapaanku.

"Gak perlu ngeluarin sumpah serapah gitu deh" sebuah suara menyentakku. Aku menoleh, tetapi Haris masih fokus dengan iPod nya.

"Hah?" tanyaku kebingungan.

"Lo" katanya. "Gak perlu nyumpah dalam hati. Gue denger kok lo nyapa"

Ya kenapa gak dijawab. Ribet.

"Lo kenal Carla? Dia nyuruh gue jauhin lo. Katanya lo culun" ucap Haris lagi.

"Hah?" aku sukses melongo.

"Tapi gue gak mau" lanjutnya lagi.

Oke, ini cukup menarik. Karena siapapun tak ada yang pernah melanggar perintah Carla. Kalau dia bilang A ya A. Kalau B ya B. Carla jauh lebih berpengaruh dari Carter yang statusnya sebagai ketua OSIS.

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena, gue bosen liat lo duduk sendirian terus" jawabnya tepat ketika segerombolan murid masuk ke kelas.

Wow. Kini aku serius jika bilang kalau Haris itu makhluk langka. Karena hanya dia--selain Andrea--yang mau bergaul denganku. Bahkan melanggar ucapan Carla yang sakral itu. Entah apa efeknya bagi Haris atau aku nanti, yang pasti saat ini senyum merekah di wajahku.

*

A/N

maaf kalo kependekan, kesempatan buat nulis sempit banget. idenya sih udah banyak tapi... tugas jauh lebih banyak :"

oiya, makasih buat vote dan comment nya ya ;)) it means a lottt <333

Diary Of An UnpopularityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang