11 - Disaster

276K 13.9K 264
                                    

"Seriusan nih gak mau bareng berangkatnya?" tanya Carter sambil mengedikkan dagunya ke arah mobil. Aku menggeleng entah untuk yang keberapa kalinya. Carter sudah menanyakan pertanyaan yang sama sejak aku bangun tadi.

"Enggak, Kak. Enggak" jawabku dengan nada sabar.

Carter menatapku lalu menepuk pundakku pelan. "Yaudah, aku duluan" katanya lalu masuk ke dalam mobil. Lalu mobil itu meninggalkanku di halte yang cukup ramai ini. Aku berjalan menuju tempat pembelian tiket dan menunggu bus way.

Aku memasang headset di telinga dan menaikkan tudung jaketku hingga menutupi rambut cokelatku. Seperti yang kalian tahu, aku tidak suka menjadi pusat perhatian--premiere papa cuma pengecualinnya--jadi hoodie dan kacamataku benar-benar membantu agar orang-orang tidak memperhatikanku yang cukup mencolok dengan tubuh yang lebih tinggi dibanding anak SMA di Indonesia kebanyakan dan wajahku yang gak ada unsur Indonesianya sama sekali.

Sebuah busway dengan jalur yang searah dengan sekolahku berhenti di tempat pemberhentian. Orang-orang disekitarku berdesakan untuk masuk karena busway ini cukup lama. Kalau tidak berdesakan bisa-bisa aku telat dan menyesali tawaran Carter tadi. Jadilah aku berdiri di tengah-tengah bus dengan tangan tanpa pegangan, karena semua pegangan sudah digunakan.

Aku berusaha berpijak tanpa membuat tubuhku maju ke depan setiap bus berhenti. Well, mungkin sejak aku SMP aku sudah sering naik busway ke manapun aku pergi. Tapi ini masalahnya berbeda, aku tak bisa berpegangan pada apapun. Gak mungkin aku memegang pundak bapak-bapak yang berdiri tepat di sebelahku untuk menahan tubuhku agar tidak terjungkal ke depan. Itu.... bakal aneh banget.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Bus ini bukannya berkurang jumlah orangnya, malah semakin bertambah. Aku mengecek jam melalui iPod, bel masuk masih 30 menit lagi. Di salah satu halte, cukup banyak orang yang turun. Membuatku mampu bernapas lega. Tapi tetap saja aku masih belum dapat pegangan.

And, suddenly the disaster happens.

Bus ngerem mendadak dan tubuhku terjungkal ke depan karena sebelahku memang tidak ada orang. Wajahku siap mencium lantai dan aku bersiap menahan malu. Dan tiba-tiba tubuhku berhenti di udara.

Seseorang menahan tubuhku. Thanks God!

Aku segera berdiri dan mundur dua langkah menjauh dari orang yang memegangi tubuhku. Ngapain juga diem dulu terus nengok ke arah si penolong dengan gerakan slowmotion, waktu tatap-tatapannya lama gitu kayak di sinetron yang ditonton salah seorang pelayanku di rumah. Hih. Gak banget.

"Makas--" aku terdiam ketika melihat siapa orang yang menolongku.

Bukannya sok kaget atau apa dia malah melotot dan mencubit pipiku keras. Aku meringis sambil memukul bahunya dengan tanganku yang bebas.

"Sakit, coy!" bentakku sambil melotot balik.

"Lo sih berdiri gak jaga keseimbangan gitu, ya jatohlah" katanya sewot.

Beneran ya ini orang baru pagi-pagi udah ngeselin aja. Tapi tumben sih bawel, biasanya juga adem ayem, gak ngomong apa-apa.

"Ya lo kira gue pemain balet yang harus jaga keseimbangan" kataku sambil melengos dan mengecilkan volume iPodku.

"Emang pemain balet jaga keseimbangan ya?" tanyanya sambil mengangkat alis.

"Lo kan cenayang tuh, apa aja tau. Masa begitu doang nanya"

"Cenayang dari mana kali. Kalo kata orang sih ya, intuisi gue itu bagus. Buktinya tuh gue bisa kan nolong lo sebelum jatoh. Sumpah ya, Cam. Gak lucu banget pagi-pagi udah jadi lawakan orang-orang"

"Kok lo bawel gini sih, Ris? Biasa diem juga dih" komentarku.

"Emang?" tanyanya.

"Menurut gue sih, biasa kan lo ngomong cuma iya atau enggak doang"

Diary Of An UnpopularityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang