18 - Firasat Haris

253K 12.4K 558
                                    

Aku duduk di tepi tempat tidur dengan mata berat. Yaiyalah, orang semalaman aku tidak tidur karena keasikan curhat dengan Haris. Hahahaha sumpah ya aku tidak menyangka cowok semacam Haris bisa diajak curhat juga. Lumayanlah dia bisa menghiburku dengan leluconnya--yang sebenarnya tidak lucu sih tapi karena saat itu aku memang benar-benar butuh hiburan, jadilah aku tertawa olehnya.

Haris mengatakan kalau aku tidak boleh merasa seakan-akan masalah vokalis ini terlalu berat. Yang ada aku akan merasa stres. Dia menyarankan agar aku membawa masalah ini secara santai, malah kalau bisa menganggapnya sebagai masalah biasa yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Awalnya aku sewot sih seenaknya dia menyatakan masalah sebesar itu dibilang masalah yang biasa saja. Tapi setelah mendengar penjelasannya yang panjang kali lebar itu, akhirnya aku setuju juga dengan saran yang ia berikan.

Aku mendengar pintu kamarku berderit. Di sana aku melihat Carter sedang berdiri dengan blazer OSIS terpasang ditubuhnya. Intinya dia sudah rapi dan siap berangkat. Ia melotot ketika melihatku masih santai duduk di tepi tempat tidur.

"Cameyla! Ini udah jam berapa?! Masa kamu masih duduk aja di tempat tidur!" bentaknya sambil menarikku ke arah kamar mandi.

"Lah masih jam 6 kan?" tanyaku.

"Iya sih, tapi kan tetap aja. Si Dave mau nganter kamu ke sekolah tuh"

"Ahhh" aku menepis tangannya dari lenganku. "Gak mau, aku berangkat sendiri aja"

Bukan bermaksud sombong atau apa ya terhadap tamu. Tapi karena pembicaraan bersama Dave tentang band kemarin membuatku agak risih berdekatan dengannya sekarang. Ya pasti kalau berdekatan dengannya, pikiranku bakal melayang ke topik band lagi. Walaupun dia berbicara tentang hal lain.

"Jangan gitu. Lagian masih mending dia berbaik hati buat nganterin kamu ke sekolah. Kali-kali gitu, Dek, kamu gak perlu naik turun jembatan penyebrangan. Hemat ongkos pula"

"Lah tumben amat kakak jadi promosi antarjemput Dave gini. Bilang aja aku kenapaaa gitu biar dianya gak jadi nganter"

"Kamu kok--"

Ucapan Carter terpotong karena dering dari handphone-ku. Dengan gesit, segera kuraih handphone itu dari nakas. Tanpa melihat caller id, aku segera menjawab telepon itu.

"Halo?"

"Heh, inget gak tadi malem gue ngajak bareng?"

Aku memandang langit-langit kamar berusaha mengingat ajakannya berangkat bareng. Tapi hasilnya nihil. Aku lupa.

"Lupa... Hehe" aku tertawa garing sambil menatap Carter yang berdiri di depanku.

"Hari ini kita berangkat bareng ya, Cam. Gue jemput lo di rumah. Jam setengah tujuh udah harus siap" kata Haris dengan memperlambat tempo suaranya. "Tuh gue ulangin ucapan gue semalem" katanya bete.

"Widih, lo mau jemput ke rumah? Naik delman?" tanyaku asal sambil cekikikan membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi.

"Kagak, naik kereta kencana biar kayak Cinderella. Menurut lo ajalah gue naik apa. Udah ya, lima menit lagi gue jalan" katanya. Lalu, telepon pun diputuskan.

Aku menggelengkan kepala karena tingkah Haris yang terkadang lucu juga. Tangan Carter melambai di depan wajahku. Membuatku mengerjap beberapa kali lalu menatapnya sambil tersenyum penuh kemenangan.

"Aku bareng Haris!" kataku girang sambil memelet.

Carter menatapku kosong selama beberapa detik lalu matanya melebar. "Kamu udah jadi, Dek, sama Haris?" tanyanya takjub.

Kini gantian aku yang melongo. "Hah? Jadi apaan?"

"Jadi... Aduh masa gak ngerti sih, itu biasa yang diomongin Carla bareng geng nya"

Diary Of An UnpopularityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang