17 - Terbebani

280K 12.5K 367
                                    

"Cam!" panggil Haris. Aku menoleh dan melihatnya berjalan mendekatiku dari arah pintu perpustakaan. Di bahunya sudah tersampir tas ranselnya dan kedua tangannya membawa tasku. Memang bel sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu, tapi aku menunda untuk mengambil tasku karena tugas sebentar lagi selesai. Tanggung gitu.

"Ih, lo ngapain bawa tas gue segala?" tanyaku ketika ia sudah berdiri di samping mejaku.

"Makasih, kek, Cam. Masih mending nih udah gue bawain" jawabnya sewot.

"Bukan gitu, lagian kan gue udah bilang kalo mau pulang duluan aja"

Haris menarik kursi dari meja sebelah dan duduk di sebelahku. "Kan gue penasaran lo ngapain di sini sampe betah banget"

Aku memutar bola mata. Alibinya kelihatan banget. Padahal jelas-jelas aku sudah bilang kalau aku akan mengerjakan tugas biologi di perpustakaan tadi. "Sepik" kataku.

"Sialan" kata Haris sambil memelototiku. "Gue serius juga"

"Yaudah deh, makasih udah bawain tasnya. Udah gih sana, ganggu orang kerja aja sih"

"Ya Tuhan, sabar banget sih gue ya punya temen macam lo, Cam" kata Haris sambil mengelus dada dramatis.

"Yang ada gue yang banyak-banyak sabar temenan sama lo. Tadi di kelas pada ngapain aja?"

Well, memang pelajaran terakhir tadi tidak ada guru. Dan itu berasa heaven banget. Secara, sekolahku itu paling anti dengan yang namanya jam kosong. Walau tidak ada guru pasti dikasih tugas. Tapi beruntungnya kami pada hari ini, guru yang tidak masuk adalah native speaker. Dan jadinya tidak ada tugas apapun dari guru piket.

"Biasa ngerumpi, curhat massal lah bisa dibilang" jawabnya dengan tatapan ke arah buku biologi. 

Aku hanya manggut-manggut. Setelah kata terakhir tertulis di buku tugasku, aku segera meletakkan pulpen dan teman-temannya ke kotak pensil dengan gerakan cepat. Buku-buku tebal yang merupakan sumber dari tugas yang kubuat segera kubereskan. Pokoknya hari ini aku harus pulang cepat. Aku tidak mau sampai Dave harus menjemput ke sini karena Carter atau Carla sampai di rumah duluan. Cowok satu itu kan memang sedikit aneh.

"Lo buru-buru banget sih" komentar Haris yang mengekor di belakangku dengan membawa sebagian buku.

"Bahaya kalo gue pulang sore kayak kemaren-kemaren" jawabku.

"Lah kenapa? Nyokap lo juga gak bakal marahin ini"

"Bukan nyokap gue, ini jauh lebih nyeremin"

"Terus siapa?" tanya Haris lagi. Ia takkan berhenti bertanya sebelum jawabanku memuaskan.

"Ya siapa kek yang menurut lo serem" jawabku asal.

Haris mengernyitkan dahinya dan berdiri menghalangi jalanku. Dia benar-benar penasaran pemirsa.

"Apa lagi sih?" tanyaku kesal. Berkali-kali aku melirik jam untuk mengirimkan kode bahwa aku harus pulang dan tidak ada waktu untuk acara 'satu jam bersama Haris'.

"Lagian lo aneh gini, emang di rumah ada siapa sih sampe mau buru-buru gitu?"

"Gak penting di rumah ada siapa, intinya gue mau pulang sekarang. Capek nih" keluhku sambil berjalan melewatinya.

"Mau gue anter gak?" tawar Haris yang kini menyejajarkan langkahnya denganku.

"Gak deh, gue pulang sendiri aja"

Haris tidak berkomentar apapun setelah itu. Aku segera menyampirkan tas ranselku dan kami keluar dari perpustakaan. Sekolah masih cukup ramai, tentu saja. Ini baru 15 menit setelah bel pulang berbunyi. Di lapangan masih banyak anak-anak futsal yang sedang pemanasan. Dan tidak sedikit yang baru keluar dari kelas karena guru yang mengambil jatah jam pulang sekolah.

Diary Of An UnpopularityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang