12 - Count on Him

271K 14.2K 307
                                    

Aku menendang pintu ruang kesenian itu dengan frustasi. Sialan. Kenapa pakai acara kekunci segala sih. Aku menggedor-gedor kembali berharap ada yang mendengar. Habis ini pelajaran kimia. Dan gurunya sering memberikan kuis dadakan. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini.

"Andrea!!" aku berteriak. Andrea orang terakhir di sini. Tentu saja dia belum jauh. Hanya tebakanku sih. "Gak lucu tau gak!"

Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan handphone. Untuk kali ini aku sangat bersyukur handphone ini tidak kutinggalkan di kelas. Dengan cepat langsung kutekan nomor Carter. Karena hanya dia satu-satunya yang dapat menolongku. Aduh bahasanya. Tapi serius, selain Carter aku hanya punya nomor Andrea. Dia tidak mungkin menolongkukan? Apalagi setelah dia mengungkapkan kekecewaan yang teramat besar padaku.

Ketika sedang mencari kontak Carter--yang seriusan aku lupa namanya apa di handphone ini--aku melihat sebuah nama tertera di sana. Aku bahkan tak pernah ingat kapan dan di mana aku meminta nomornya. Yang pasti namanya tertera di kontak handphoneku beserta nomornya. Tanpa pikir panjang aku langsung menekan tombol 'call' dan langsung tersambung.

Satu.

Dua.

Tiga.

"Cam?" tanyanya diujung sana.

"Haris!" aku berteriak lega. "Gue butuh bantuan lo. Seriusan. Gue... gue kekunci di ruang kesenian. Mungkin menurut lo konyol kenapa bisa-bisanya gue kejebak di sini. Tapi plis, gue butuh bantuan lo sekarang. Kimia akan dimulai 5 menit lagi dan gue gak mau ketinggalan pelajaran itu, I beg you" pintaku sambil memasang wajah memelas tapi yah diakan tidak bisa melihat wajahku.

"Ruang kesenian?" ia bertanya dengan nada curiga dan kujawab dengan anggukan. Lagi-lagi aku lupa dia tidak bisa melihat wajahku. "I'll be there" dan kemudian sambungan terputus.

Aku memasukkan handphone ke dalam kantong. Duduk bersandar di dinding sebelah pintu. Ruang kesenian pasti kedap suara. Tidak mungkin ada latihan musik di sini dan tidak terdengar ke ruangan lain, kecuali ruangan ini kedap suara. Aku memukul jidatku sendiri. Tentu saja, walaupun aku berteriak hingga suaraku habis tak mungkin ada yang bisa mendengarku.

Suara berderak terdengar dari arah pintu. Buru-buru aku berdiri. Sedetik kemudian pintu kembali diam. Aku mengernyitkan dahi. Tadi itu Haris bukan? Kenapa dia berhenti? Apa salah kunci? Aku memandang pintu dengan cemas. Lagian kok bisa-bisanya pintu ini terkunci. Setahuku pintu ruang kesenian baru saja diganti. Apa ada yang sengaja mengunciku di sini? Gila. Horor banget.

Mendadak pintu berdentam terbuka dan langsung menghantam dinding. Aku nyaris berteriak. Apalagi tiba-tiba dua orang jatuh akibat pintu terbuka. Kulihat di sana ada Haris dengan bibir berdarah dan Frederick dengan tampang yang jauh lebih kacau. Tak perlu kutanya kenapa, yang pasti mereka pasti habis adu jotos.

"Lo!" Haris mendesis dibalik giginya yang terkatup. Frederick buru-buru bangkit dan mundur beberapa langkah sambil mengelap darah di bibirnya.

"She's fine, right?" tanya Frederick songong. "Gue juga udah bilang! Lagian gue mau apain dia sih. Takut banget. Gue juga ogah kali ngapa-ngapain cewek culun yang ternyata hobi bohong kayak dia" kata Frederick sambil menatapku merendah.

Aku terpaku di tempat. Dan Haris langsung menerjang Frederick hingga keduanya terjengkang menghantam piano tua. "Jangan lagi-lagi lo ngomong gitu tentang Cameyla di depan muka gue! Denger itu!" geramnya lalu memukul rahang Frederick dengan keras.

"Haris!" aku berteriak. "Haris, udah!" aku segera berlari ke tempat mereka dan menarik Haris sebelum dia memukul Frederick lagi. Bisa-bisa Frederick makin babak belur di tangan Haris.

Diary Of An UnpopularityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang