three

883 29 7
                                    

✪ Taylor ✪

"Hai," sapaku agak tidak percaya sambil melambai ke arahnya. Setelah tersadar dan berhasil mengontrol semuanya, aku langsung berdiri dari kursi. "Zayn!" seruku sambil tersenyum lebar. Ya, jika kalian menebak bahwa dia Zayn Malik--laki-laki yang menyandang status sebagai sahabatku sekaligus salah satu personel dari boyband terkenal itu--kalian mendapat nilai A+ dariku.

Aku dan Zayn sudah bersahabat sejak lama. Sejak aku masih sangat cupu—sekarang juga masih. Aku terbiasa menerima banyak cacian sejak dulu, sehingga aku merasa seperti salah satu anak bullied. Aku mendapat banyak hinaan dan hanya Zayn yang datang untuk melindungiku saat itu. Dia adalah malaikat pelindungku.

Lantas aku merentangkan kedua tanganku dan memeluknya erat. Aku tenggelam dalam dekapannya yang hangat. Aku merindukannya lebih dari apapun. "I miss you soooo much, Zayzie. Bagaimana kabarmu?" tanyaku antusias sambil mengisyaratkannya untuk duduk. "Sekarang kau sudah banyak berubah, ya. Kau terlihat lebih dewasa. Kemajuan yang sangat pesat," tuturku sambil tersenyum.

"Jangan katakan seperti aku tidak dewasa dari dulu. Aku memang sudah dewasa dari dulu, asal kau tahu," Zayn membela diri. "Tapi kau juga berubah. Dulu kau manja, cupu, dan sekarang kau terlihat jauh lebih mandiri."

"Manja? Cupu? Aku tidak seburuk itu dulu," protesku tidak terima. "Tapi, baiklah... aku memang merasa jauh lebih mandiri sekarang. Aku merasa lebih baik."

Aku menatap Zayn selama beberapa detik, senyuman terlukis di bibirku. Sampai Zayn tahu-tahu menyadarinya dan bersuara, "Apa?" tanyanya. "Aku tahu sekarang aku lebih tampan. Tapi tolong, jangan menatapku seperti itu."

Aku memutar mata mendengarnya. Zayn masih terlalu percaya diri hingga sekarang. "Aku hanya sedang berpikir. Kau tahu, kita berdua benar-benar menyedihkan," ucapku. Zayn mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Aku dan kau adalah sahabat, berada di satu benua, satu negara malah, tapi bertemu seperti ini saja kita tidak mampu. Kenapa baru sekarang kita bertemu lagi?"

Zayn tidak bisa menjawabnya, aku pun begitu. Aku benar-benar sibuk dengan pekerjaanku sampai tega melupakannya. "Aku minta maaf," ucap kami berdua bersamaan.

Aku langsung menatap Zayn tidak percaya. "Kenapa kau mengikutiku?"

"Kau yang mengikutiku," jawabnya.

"Oke, berhenti," kataku. "Aku hanya ingin minta maaf padamu karena aku sempat melupakanmu dan tidak memperjuangkan persahabatan kita," jelasku.

"Aku juga melakukan hal yang sama. Jadi, aku minta maaf juga."

"Permohonan maaf diterima."

"Kau juga diterima."

"Gosh, bisakah kau berhenti mengikutiku?"

"Oh, tolong. Jangan memulai."

"Oke," kataku pasrah.

"Kau mau pesan apa? Biar aku panggilkan pelayannya, ya." Aku mengangguk. And yes, we were too lazy to even stand up and went to the counter to order.

Setelah Zayn mengangkat tangannya ke atas sambil memanggil seorang pelayan yang berdiri tak jauh dari kami, aku memesan secangkir caramel latte dan Zayn espresso macchiato.  Sang pelayan pun mencatat pesanan kami, lalu segera pergi.

"Zayn."

"Hmm?"

"Bagaimana sekarang setelah kau bergabung bersama One Direction?" tanyaku. "I'm sure it felt really good."

"It is. Sekarang aku jadi punya pekerjaan lain yang membuatku super sibuk, seperti rekaman, konser sana-sini, dan banyak orang yang terkadang membuatku harus menyamar ataupun bersembunyi. Mungkin mereka terlalu menggilaiku," ungkapnya sambil terkekeh, lagi-lagi terlalu percaya diri.

It Just Happens ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang