fifteen

355 13 4
                                    

✪ Taylor ✪

"Zayn?!" tanyaku tidak percaya. Aku sampai mundur sedikit karena terlalu kaget, tapi Zayn malah tersenyum dan melambaikan salah satu tangannya ke arahku. Aku masih melongo, tidak percaya Zayn bisa sampai di Nashville secepat itu. Padahal, tadi pagi dia bilang masih ada di depan rumahku.

"Kenapa heran begitu? Kaget?" tanya Zayn seolah pertanyaannya adalah pertanyaan paling penting sedunia. Jelas aku kagetlah. "Kau tidak bahagia aku berkunjung ke sini? Nashville, kan, rumahku juga," lanjutnya.

Aku menggeleng cepat. "Tidak, bukan begitu. Aku kaget kenapa kau bisa ada di sini dan tiba secepat ini," sergahku. "Kau baru saja mengirimkan pesan padaku kalau kau ada di depan rumahku, Zayn."

"Ini kejutan," balasnya sambil tersenyum lebar. "Lagipula, aku mengirimkan pesan padamu tadi pagi. Bukan baru. Kau saja yang terlalu lama tidur, jadi tidak tahu waktu," ledek Zayn.

"Itu masalahmu kalau aku terlalu lama tidur?" balasku tak mau kalah. Zayn hanya tersenyum sok polos tanpa merasa bersalah. "Memangnya, kau sudah tidak sibuk?" tanyaku.

Zayn malah merentangkan ke dua tangannya. "Aku ada di sini sekarang, jadi kau bisa simpulkan sendiri, kan?" Zayn balik bertanya. Aku memutar mata mendengarnya. Tinggal jawab saja sepertinya susah sekali. Menjengkelkan!

"Eh, jalan-jalan, yuk!" ajaknya sambil memegang lenganku dan mengayunkannya ke depan dan ke belakang. Aku memberinya tatapan penuh tanya dan Zayn malah menjawab, "Sudah, ikut saja!"

Zayn langsung berbalik dan hendak menarik tanganku sebelum aku berhasil menahannya. "Tunggu!" hentiku, "aku harus ambil jaket. Sebentar," kataku sambil mengisyaratkan Zayn untuk menunggu. Aku langsung berlari ke dalam rumah dan mengambil jaket. Setelah pamit pada Mom dan Dad, aku kembali lagi keluar. "Memangnya kita mau ke mana?" tanyaku lagi setelah memakai jaket. Rasa penasaranku tidak bisa diam saja.

"Sudah, ikut saja. Jangan berisik!" omelnya sembari menarik tanganku. Aku memutuskan untuk diam saja, meskipun aku punya berjuta alasan untuk meledak saat itu juga. Kehadiran Zayn hanya membuat emosiku naik. Dia tidak berhenti membuatku jengkel sejak tadi.

Kami berjalan cukup jauh sampai kami berakhir melewati jalan setapak yang cukup menyeramkan. Banyak pohon-pohon besar di sekitar kami dan semak-semak yang menghalangi jalan kami. "Kita mau ke mana, Zayn? Kenapa tempatnya seperti ini?" tanyaku lagi masih penasaran. Aku celingukan dan berubah merinding seketika. Lingkungan di sekitarku terlihat sangat misterius.

"Kau berisik sekali, ya. Sebentar lagi kita sampai," jawabnya tanpa menoleh sedikitpun padaku. Kemudian, Zayn berhenti di ujung jalan setapak ini, yang dilanjutkan dengan jalan yang cukup besar. Tibalah kami di sebuah danau. "Aku sering membawamu ke sini dulu," beritahu Zayn. "Masih ingat?" tanyanya.

Aku langsung menggeleng. Zayn menghela nafas panjang sebagai balasannya. Ia terlihat sangat sedih. Melihat kesedihan di wajahnya, aku pun mencoba mengingat lagi. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling dan seketika teringat. "Ah, aku ingat," ucapku. "Kau tahu, ada beberapa perubahan yang membuat danau ini terlihat berbeda." Aku membela diri, lalu mengajak Zayn duduk di sebuah kursi taman yang berada tidak jauh dari tempat kami berdiri. "Dulu kita juga sering duduk di sini, kan?" tanyaku.

Zayn mengangguk dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. Mungkin senang karena akhirnya aku ingat. "Dulu, saat kau menangis karena ulah teman-teman di sekolah, aku selalu membawamu ke sini." Zayn mulai bercerita.

Aku tersenyum mengingat kenangan tersebut. Pandanganku lurus menerawang ke depan. "Aku ingat saat pertama kali kau membawaku ke sini," ujarku. "Aku sebal padamu karena jalan menuju tempat ini sangatlah menyeramkan, tapi aku tidak menyesal sedikitpun setelah sampai dan melihat danau ini," lanjutku.

It Just Happens ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang