Helaan napas keluar dari mulutku sambil memandangi bangunan yang berdiri kokoh dan tampak gagah didepan pupil hijauku. Senyum tak pernah pudar dari wajahku, aku sangat merindukan aktivitas yang terjadi di sekolah tercintaku ini setelah menghabiskan libur kenaikan kelas di Seoul. Britania High School, satu-satunya sekolah favorit di London yang menjadi tujuan utama para calon siswa-siswi mengganti seragam mereka menjadi putih dan kotak-kotak.
Oh, aku lupa sesuatu. Perkenalkan, namaku Venus Summer Shine. Kalian pasti bertanya-tanya tentang namaku yang terdengar ... ya, sedikit unik. Aku juga tidak tahu kenapa, akan lebih baik kalau kalian tanyakan sendiri pada kedua orang tuaku.
Walaupun begitu, aku punya pemikiran sendiri tentang arti dibalik namaku itu. Artinya adalah, seorang gadis cantik yang bersinar di musim panas. Tapi kenapa kata Summer tidak diganti dengan Winter saja? Toh artinya–menurut persepsiku–akan lebih masuk akal, bukan? Bersinar di musim dingin. Tapi mau bagaimana lagi? Orang tuaku sudah memberiku nama seunik itu dan sebagai seorang anak, alangkah baiknya kalau aku menurut tanpa memikirkan arti dari namaku yang sebenarnya.
Sambil mengunyah permen karet, kulangkahkan kaki menuju kelas baruku. Menurut informasi dari Kepala Sekolah yang disebarkannya melalui email masing-masing murid, aku dimasukkan ke dalam kelas XII-III. Aku heran, kenapa aku tidak dimasukkan ke dalam kelas XII-I saja? Toh selama aku belajar disini, nilaiku tidak pernah menurun.
Langkahku terhenti di depan kelas XII-I, suasana kelas itu masih tampak sepi dan sunyam, mungkin karena aku berangkat terlalu pagi. Ini semua karena ayahku, tiba-tiba saja ayahku ada dinas ke luar kota yang membuat anak tercintanya ini harus berjalan beberapa blok menunggu bus untuk mengantarku sampai sekolah. Kalau aku berangkat tidak sepagi ini, bisa-bisa aku akan kena hukum karena terlambat.
Langkahku semakin dalam memasuki kelas itu, sekali lagi kupandangi daerah sekitar untuk memastikan kalau aku masih ada dalam zona aman. Dengan cepat kukunyah permen karet rasa jeruk itu lalu membuat gelembung yang kemudian kupecahkan kembali. Jariku mengambil bekas permen lunak berwarna pucat itu lalu kuletakkan diatas sebuah kursi, kutekan-tekan dengan sekuat tenaga agar permen karet itu benar-benar melekat sempurna.
“Terimalah hadiah dariku, Hans Matthew.” Seringai licik penuh kebahagiaan kukeluarkan, dengan segera meninggalkan kelas itu sebelum para murid berhamburan mencari kelasnya. Jarum pendek sudah menunjuk angka tujuh dengan jarum panjang di angka dua belas, aku tidak sabar untuk melihat bagaimana ekspresi Matt melihat hadiah terindah dariku.
-ooo-
Pagi yang menyebalkan, di hari pertama belajar sudah disuguhkan dua puluh lima soal matematika. Sepertinya Mrs. Jennifer sudah tidak sabar untuk menceramahi murid-murid yang tidak bisa mengerjakan soal ketika dipanggil. Aku tahu betul bagaimana sifat wanita yang berusia hampir 35 tahun itu tapi hingga kini belum menikah. Mungkin tidak ada pria yang akan menikahi wanita itu, lihat saja ekspresinya! Wajahnya seperti tokoh kartun burung merah pemarah itu.
“Huh, sulitnya!” Lenguhku, dengan lirih tentunya karena aku belum siap untuk berdebat dengan penyihir didepan kelas yang sibuk membaca.
Samar, aku mendengar dua murid yang duduk dibelakangku tengah berbisik. Sepertinya ada obrolan asyik yang membuat mereka terus berceloteh, tapi aku tidak peduli akan hal itu hingga seseorang menyenggol lenganku.
“Kau dengar sesuatu?” Tanya sahabatku, Ken.
“Dengar apa?” Tatapanku masih terfokus pada nominal-nominal diatas buku, aku bersumpah tidak akan pernah memaafkan pelajaran matematika!
“Seperti ada yang meneriaki namamu.”
“Apa yang kau bicarakan? Sudahlah, kerjakan tugasmu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Stories At School
HumorSemuanya terjadi di sekolah yang pada awalnya tidak kuinginkan. Banyak hal yang terjadi di sekolah itu. Aku dan sahabat-sahabatku menemukan berbagai macam cerita berbeda setiap hari, dan inilah ceritaku tentang sekolahku.