Ini sudah ketiga kalinya aku kembali ke toilet, perutku terasa diremas-remas dan rasanya sakit sekali. Bahkan peluhku bercucuran karena terlalu lelah akan rasa sakit ini. Tadi pagi, sepiring nasi goreng kutandaskan karena ibuku mengancam tidak akan memberiku uang saku jika tidak dihabiskan. Padahal ibuku tahu kalau aku tidak terbiasa sarapan nasi, kalau itu terjadi jangan tanya sudah berapa kali aku bolak-balik ke toilet.
Indera penglihatanku menangkap sosok Candy yang tengah terdiam di depan lokernya yang terbuka. Penasaran, kudekati gadis berwajah manis itu.
“Hai, Candy!” Sapaku namun tak digubrisnya, kulihat objek yang menjadi fokus gadis itu. Sebatang lolipop dan secarik kertas.
“V...” Gumamnya lirih. Memangnya ada masalah dengan huruf V? Jika dilihat lagi, wajah Candy tampak lesu menatap lolipop itu. Ini aneh, biasanya gadis itu akan berbinar jika melihat permen tapi ini...
“Ada masalah?” Kuberanikan untuk bertanya.
“Tidak ada, ayo kita ke kantin!” Ajaknya sambil menarik lenganku.
Di kantin, kami memiliki meja tersendiri yang letaknya diujung ruangan dan dekat dengan jendela. Tidak ada yang berani menempati meja itu karena mereka tidak ingin berurusan dengan Smith.
Kami sibuk menyantap makan siang kami sambil mendiskusikan permen misterius yang selalu hadir di loker Candy. Mereka sepakat kalau Candy memiliki penggemar rahasia dan mereka harus menemukan siapa orang itu.
“Candy, apa kau dapat lolipop lagi hari ini?” Tanya Lussy yang dibalas anggukan oleh gadis itu.
“Kira-kira siapa orang itu? Aku jadi penasaran.” Lussy bergulat pada pikirannya sendiri.
“Menurutku, orang itu adalah Boy. Anak bibi Margareth, staf makanan di sekolah kita.” Seruku sambil menyeruput minuman milik Smith.
“Bagaimana kau bisa yakin kalau dia orangnya?” Tanya Smith sambil memandangi pantulan wajahnya di cermin. Ya Tuhan, ampunilah dosa sepupuku.
“Kalian tidak tahu?? Sejak kita semua duduk di kelas X, hanya Candy yang jadi objek pandang Boy dan membuatnya lebih rajin membantu bibi Margareth.”
Kami semua menoleh menatap Boy yang tengah membagikan porsi makan siang untuk semua murid Britania, laki-laki itu tersenyum dan melambai kepada kami–terutama pada Candy–ketika dia menoleh.
Kami ikut melambai dan tersenyum, kemudian kembali menyantap makanan kami masing-masing.“Benarkan kataku.” Mereka mengangguk, aku tersenyum menyombongkan diri. Dugaanku tidak pernah salah.
“Tunggu, bagaimana mungkin Boy bisa meletakkan lolipop di loker Candy? Bukankah yang memegang kunci cadangan hanya paman penjaga sekolah?”
“Benar juga, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa meminjam kunci itu.” Aku akui, terkadang dugaanku lebih sering meleset daripada tepat.
Kami kembali menyantap makan siang kami yang tertunda. “Matt, kenapa kau ikut bergabung dengan kami? Kenapa tidak bergabung dengan teman sekelasmu di meja no.9? Bukankah disana orang-orangnya pandai semua?” Tanya Sony bertubi-tubi.
“Jika aku duduk disana, aku tidak bisa bermain PSP karena yang mereka bahas adalah pelajaran.” Semua mata di meja itu menatap objek yang tengah menggerakkan tangannya pada sebuah kotak berwarna metalik.
“Kenapa? Jangan menatapku seperti itu.” Ujarnya tanpa melihat kami.
Semua murid tiba-tiba menjerit histeris ketika murid dari kelas XII-A memasuki kantin. Memang, murid-murid dari kelas XII alfabet terutama XII-A menjadi primadona di Britania. Tapi menurutku, mereka semua gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stories At School
HumorSemuanya terjadi di sekolah yang pada awalnya tidak kuinginkan. Banyak hal yang terjadi di sekolah itu. Aku dan sahabat-sahabatku menemukan berbagai macam cerita berbeda setiap hari, dan inilah ceritaku tentang sekolahku.