TMRC- Dua Puluh Tiga - Klimaks

43K 4K 531
                                    

Di sebuah ruangan berdominasi warna abu-abu itu, Kaffi duduk di sofa dengan punggung yang tersandar. Sudah setengah jam dia tidak melakukan apa-apa. Hanya membiarkan pikirannya menari ke mana-mana. Tiga garis tercetak jelas di antara kedua alis, tanda bahwa dirinya sedang memikirkan sesuatu yang rumit hal itu juga bisa terdengar dari napasn yang memberat.

Empat puluh menit.

Lima puluh menit.

Sembilan puluh menit berlalu, Kaffi akhirnya menegakkan punggung. Tatapan nanarnya jatuh pada sebuah benda yang tiga jam ini tergeletak di meja tanpa mau disentuh. Dengan satu gerakan kasar kaffi meraih benda—amplop putih itu—tak sampai beberapa detik, Kaffi meremukan benda itu sampai berubah wujud menjadi gumpalan kusut lantas penuh emosi melemparkannya ke tempat sampah di sudut ruang kerjanya.

Sebagai lawyer yang sudah biasa menangani kasus perceraian, Kaffi cukup familiar dengan surat itu. Dia tau itu adalah panggilan pertama untuk agenda sidang mediasi.

Senyum sinis bercampur luka menghiasi bibir Kaffi. Pada akhirnya, dia sampai pada ending cerita yang ditulisnya sendiri. Demi Tuhan Kaffi sadar bahwa cepat atau lambat, dia akan mengalami situasi ini—bercerai. Namun, di luar dugaan, ia justru tidak siap memainkan peran di episode akhir ini.

Sia-sia, apa yang dilakukannya beberapa bulan ini untuk menarik diri dari Gebi, sama sekali tidak membantunya untuk menjauh. Yang dirasakannya justru semakin tertarik dan tercebur lebih dalam ke dunia Gebi. Saat ini, Gebintang menjadi pusat dunianya; menarik seluruh perhatian dan menyita seluruh pikirannya.

Awalnya Kaffi pikir, bercerai dengan Gebi akan terasa mudah karena dengan sadar dia mengakui bahwa tidak ada perasaan apa-apa yang muncul di dalam pernikahan ini. Namun, terlepas dari kekhawatiran terhadap respons orangtua yang mengetahui perihal perceraian ini, diam-diam ada rasa takut lain yang muncul di hati Kaffi. Rasa takut bercerainya ternyata lebih besar daripada rasa takut pada prinsipnya yang sempat goyah waktu itu.

Sekarang Kaffi sadar kalau memang ada 'apa-apa' di hatinya. Walaupun Akalnya menyangkal mati-matian tapi Kaffi tidak bisa mengelabuhi rasa dan kenyataan. Bahwa sebenarnya ada sesuatu di hatinya yang sudah tercuri.

Sedangkan Gebi? Seperti bom waktu yang sangat sulit dijinakan. Tenang, tapi tidak bisa disentuh karena siap meledak sewaktu-waktu. Terlalu sulit Kaffi menghadapinya. Gebintang sekarang bukanlah Gebintang yang beberapa bulan lalu menangis dan menunggui bahkan mencari Kaffi saat pria itu tidak pulang. Atau Gebintang yang hanya mengalah saat dibentak-bentak. Kini, Gebi adalah Gebi yang tidak Kaffi kenal sama sekali. Tidak ada keramahan, tidak ada candaan dan seringai jenaka. Berganti dengan sikap dingin.

Gadis itu bahkan mencontoh mentah-mentah apa yang di lakukan Kaffi beberapa bulan lalu. Dia membangun tembok penghalang antara mereka. Dengan rapi ia menutup akses apa pun. Tidak ada cela sedikit pun untuk dimasuki Kaffi. Kaffi kesulitan bertemu. Lebih parahnya, seminggu ini gadis itu benar-benar sudah mengganti nomor ponselnya.

Mungkin, Gebi berpikir pernikahannya saat ini seperti sebuah permainan puzzle. Dalam strateginya, Gebi sudah hampir berhasil. Pecahan-pecahan puzzle-nya sudah disusun menjadi sebuah bentuk sempurna. Namun, Kaffi datang dan menghancurkan; mengacak menjadi tidak berbentuk lagi. Tentu saja Gebi tidak menyerah begitu saja. Dia sudah berusaha mengumpulkan kembali pecahan-pecahan tersebut dan menyatukannya lagi. Saat dia hampir menyelesaikannya, Kaffi datang lagi dan merusaknya. Terus seperti itu sampai akhirnya Gebi lelah untuk memperbaikinya. Ia menyerah.

***

Marriage isn't a love affair, it isn't even honeymoon, its a job. A long hard job...

The Marriage Roller CoasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang