TMRC - Tiga

64.3K 5.4K 230
                                    

Gebi masih menggunakan handuk yang dililit ke dada. Dia teringat barang-barangnya belum sempat dibereskan dari koper. Dibukanya benda persegi berwarna biru itu. tersenyum melihat deretan barang pemberian ibu mertua dan saudara ipar. Semua dikemas sendiri oleh kedua orang itu. Mulai dari pakaian baru, aksesoris, perhiasan, dan alat make up.

Gebi menahan diri agar tidak larut dalam rasa haru yang membucah. Orang lain boleh saja menganggap sepele. Bagi Gebi, dia merasa diperhatikan walaupun hanya dengan hal-hal kecil. Setelah semua kehilangan, rasa sedih yang tidak bosan mengejar, hidup di tengah-tengah keluarga Chanzu membuatnya merasa seperti mempunyai keluarga utuh kembali. Tidak ada lagi kesedihan dan rasa perih karena kehilangan. Semua sudut kosong di hati sudah terisi kembali. Berkat keluarga ini.
Gebi rasa Tuhan cukup adil untuk itu.

Suara decitan terdengar keras dari arah pintu bersamaan dengan sosok Kaffi yang muncul. Terlonjak, Gebi buru-buru mengambil beberapa lembar baju untuk menutupi paha dan dadanya yang sedikit terbuka.

"Maaf," kata Gebi kikuk.

Berbeda dengan Gebi yang canggung dan merasa tidak nyaman, Kaffi malah menatap wanita itu datar. Mengindikasi bahwa pria ini sama sekali tidak terganggu dengan pemandangan di depannya.

"Lain kali, kunci pintunya."

Kaffi banting pintu. Timbulkan bunyi debam keras. Sepeninggal pria itu, Gebintang mengempiskan dada. Kenapa, sih, lelaki itu selalu ketus? Namun. dia memilih kembali fokus dengan baju-bajunya.

Selesai ganti baju, Gebi bermaksud jalan-jalan. Kaffi masih sibuk dengan laptop. Ragu-ragu, Gadis itu mendekati sang suami.

"Kaff," panggilnya ragu. Kaffi mengalihkan matanya dari layar laptop dan menoleh datar. "Aku mau keluar sebentar."

Tak ada sahutan. Pria itu kembali bersemuka dengan benda segi empat itu tanpa  repot-repot menjawab pertanyaan Gebi.

"Cih. Ekspresi macam apa itu."

Gebi anggap diamnya Kaffi adalah izin. Sebodoh iblis dengan suaminya. Ayolah, Ini Bali! Para tourist berlomba-lomba datang ke kota ini hanya untuk memanjakan mata mereka dengan visualisasi surga duni pahatan Tuhan. Kenapa harus diam di kamar dan menonton tembok?

***


Gebi berjalan sendiri. Sengaja berkawin dengan alam. Hotel pilihan keluarga Kaffi memang tidak terlalu mewah. Letaknya agak jauh dari pusat kota. Namun, itu yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Gebi. Dia bukan penyuka keramaian. Menurutnya, keramaian hanya akan membuatnya terasa kecil, kesepian. Gebi butuh suasana hening untuk menghidupkan dirinya sendiri dari rasa ketersudutan.

Hal lain yang disukai Gebi karena posisi hotel sangat dekat dengan pantai. Yang lebih penting, kebersihan pantai di sini masih terjaga dibandingkan pantai-pantai terkenal lainnya di pulau Bali.
Mata Gebi sibuk menjelajah liar. Terpikir olehnya kenapa Kaffi tidak berminat untuk jalan-jalan? Pria itu mungkin sudah puas ke sini. Bahkan sudah bosan? Tapi, Gebi sempat berharap mereka bisa menghabiskan waktu bersama. Minimal, saling bertukar cerita; mengobrol beberapa hal tidak penting untuk menambah kualitas juga kuantitas hubungan. Tapi, jangankan jalan-jalan, bicara pun hanya sepatah dua patah kata.

Payah!

Duduk di pasir pantai, Gebi tersenyum lebar melihat beberapa anak kecil bermain Vollie pantai. Anak bertubuh gempal itu terlihat kewalahan mengejar bola. Di sebelah, beberapa bule juga sedang main bola; beberapa lainnya sedang berjemur. Gebi hanya menjadi penonton setia dari sini. Matanya terpejam dan ia menghirup banyak-banyak udara yang sudah bercampur dengan bau laut yang entah kenapa selalu disukainya.

The Marriage Roller CoasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang