Dengan langkah ringan, Gebi menuruni satu demi satu anak tangga sebuah gedung. Ia tersenyum memeluk sebuah benda berwarna coklat muda. Benda yang akan membawa perubahan besar bagi hidupnya. Benda itu—amplop coklat yang saat ini di genggamnya—adalah simbol dari sebuah keputusan besar.
Bukan perkara mudah untuk sampai ke tahap ini. Gebi harus rela membanting harga dirinya di tempat paling rendah, mengorbankan banyak hal mulai dari waktu, tenaga, pikiran, juga perasaan dan emosinya yang dipermainkan. Gebi kehilangan banyak moment untuk dirinya sendiri. Rasanya, delapan bulan ini sudah cukup untuk menjadi wanita bodoh. Sudah saatnya dia berhenti; keluar dari lingkaran tak berujung yang selama ini mengurungnya. Keputusan ini adalah bayaran mahal;
hadiah yang pantas dia peroleh dari kegigihannya selama ini: sebuah kebebasan.
Putri duduk di atas motornya yang terparkir di halaman depan gedung itu. Pandangannya terpusat pada Gebintang yang sedang berjalan ke arahnya. Perpaduan antara wajah sendu, lega, bahagia, dan haru berpendar di sana.
"Maaf menunggu lama."
Putri diam sebentar. Sengaja memberikan waktu pada Gebi sebelum dia membombardir Gebi dengan pertanyaan yang dari tadi membludak di kepala.
"Geb."
Wajah Gebi teralih dari agenda melipat dan memasukan beberapa ertas ke dalam tas. Dia bertanya dalam tatap.
"Kau, benar-benar sudah yakin dengan apa yang kau lakukan hari ini?"
Air muka Gebi berubah. Senyum lebarnya memudar perlahan-lahan. Ada guratan sedih yang muncul dengan jelas di wajahnya saat ini. Tarikan napas berat terdengar sebelum Gebi menjawab, "Entahlah, Put. Aku hanya coba untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Keputusan ini mungkin jawabannya, Put. Ini keputusan terbaik untuk kami."
Putri mengerti pada perasaan itu. Dia meremas punggung tangan sahabatnya dengan lembut. "Kau baik-baik saja, kan?"
Dijawab dengan anggukan ragu lalu kemudian gelengan keras.
Ya. Gebi tidak baik-baik saja. Demi tuhan hatinya saat ini mungkin sudah berdarah. Adakah kata-kata lain yang bisa memaknai perasaannya saat ini? Sakit? Bukan! Lebih dari itu. Berjuta-juta kali lipat lebih buruk dari itu.
Tangan Putri yang terus mengelus punggung Gebi, malah membuat Gebi kewalahan menahan letupan perasaan. Pangkal hidung dan kerongkongannya sampai sakit karena berusaha menahan tangis.
Melihat itu, Putri memasang helmOnya lalu naik ke motornya. Dia menginstrusikan Gebi untuk naik ke boncengannya. Putri melajukan motor, membelah jalanan ibu. Dia rasakan kedua sisi kemejanya tertarik karena Gebintang mencengkramnya dengan erat.
"Menangislah, Geb. Menenangis sepuasmu. Jangan ditahan. Kau butuh melepaskan semuanya," teriak Putri.
Perlahan-lahan, Gebi merapatkan tubuh. Pipinya menubruk punggung Putri bersamaan dengan air matanya yang berkejaran di pipi. Gebi menangis, menangis, dan menangis. Melepaskan semuanya yang ditahan selama inI. Beban yang selalu disimpannya sendiri. Air mata yang disembunyikan di depan orang lain.
"Put, aku tidak baik-baik saja. Sakit sekali, Put. Demi Tuhan ini sakit."
Tarikan gas mengencang. Laju motor bertambah. "Menangis, Geb! Keluarkan semua bebanmu!" Putri sengaja membiarkan Gebi melakukan itu. Bagaimanapun, Gebintang butuh pelepasan saat ini. Lukanya mungkin terlalu perih karena disimpan sendiri selama ini.
Gebi kembali mencengkram kedua sisi kemeja Putri "Aku menyayanginya, Put. Aku.. aku mencintainya," ungkap Gebi lirih.
Sebuah pengakuan perdana tapi tidak membuat Putri terkejut. Hal ini sudah dia simpulkan sendiri sejak jauh-jauh hari sebelum mendengarnya langsung. Yang Gebi rasakan saat ini wajar. Mereka hidup bersama. Berbagi ruang dan waktu. Lewati ratusan kejadian sehari-hari berdua. Jatuh cinta adalah hal yang lumrah terjadi. Beberapa cinta tercipta dengan cara instant dan random. Bertemu beberapa detik di jalan pun bisa muncul cinta. Bukan tidak mungkin mereka yang tidur di ranjang yang sama setahun lebih tidak merasakan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Marriage Roller Coaster
RomanceSetelah kecelakaan merenggut nyawa ibu yang merupakan keluarga satu-satunya di dunia ini, Angkasa Gebintang dipertemukan dengan keluarga Chanzu yang seolah-olah menghembuskan nafas baru ke dalam hidupnya. Disisi lain, menjalani profesi sebagai seora...