Bab : 3

119 3 0
                                    

Entah sejak kapan bu Anita sudah berada dikamar Alex. Ellisa yang merasa keganggu dia mencoba untuk membuka mata melihat siapa yang sedang duduk disampingnya.

Dikuceknya matanya yang sipit itu yang masih agak mengantuk. Setelah jelas matanya memandang bu Anita. Dia terperangah dan kaget. Dengan segera dia duduk.

Bu Anita yang melihat pakaian yang dipakainya langsung mengernyitkan keningnya dan menatap Ellisa tajam.

"Hehehe...gak segitunya kali bu. Aku bersumpah tidak ngapa-ngapain bu"jelas Ellisa yang meyakinkannya.

"Lalu kenapa kamu memakai pakaian itu?"

"Ibu...aku kan kecelakaan pastinya aku harus ganti baju."suara Ellisa yang tadi meninggi kembali melembut."bajuku robek bu. Lihatlah lukaku"diulurkan lengannya dan kaki kirinya.

Bu Anita yang melihat siku dan lutut Ellisa diperban hanya mengangguk pelan.

"Ellisa..."panggil bu Anita lirih.

Ellisa menaikkan dagunya sambil cemberut.

"Apa mama sama papa kamu bertengkar lagi?"mendengar pertanyaan itu Ellisa hanya menghela napas keras. Lalu menenggelamkan wajahnya diantara lututnya.

Bu Anita membelai rambut coklat gelap dan panjang itu dengan lembut. Terdengar isakan lirih dari mulut Ellisa.

"Seharusnya aku mati saja bu. Ellisa muak bu. Muak! Ingin rasanya aku lepaskan.biar semuanya selesai!"teriak Ellisa dalam sakit hatinya. Air matanya yang mengalir deras bagaikan anak sungai. Membuat pipinya basah dan kusut.

"Maafkan ibu, Ellisa. Maafkan ibu"dikecupnya puncak kepala Ellisa lembut.

"O ya. Kamu tahu kan sebulan lagi ujian nasional. Kamu harus belajar"

"Malas"jawabnya singkat.

"Ellisa! Kamu harus belajar. Kalau kamu tidak belajar nanti kamu mau jadi apa?"

"Aku jadi apa pun atau tidak, tidak ada yang akan bangga atau sedih"gumamnya lirih sambil menunduk.

Itulah kenyataan yang memang pahit. Lebih pahit dari pada racun. Terasa perih seperih pisau menyayat dagingnya. Dan terasa sesak sesesak bernapas dalam air. Dimana kedua orang tuanya yang tidak mempedulikannya sama sekali. Bahkan tidak pernah diliriknya sekali saja. Seakan-akan dia sudah tidak ada lagi didunia ini.

Tidak dianggap sama sekali! Sangat sangat dan sangat menyedihkan!

*******

Karena suasana didalam kamar sangat tegang. Bu Anita mencoba mencairkannya lagi. Dia menyentuh dagu Ellisa dan tersenyum manis. Meski pun tahu itu tidak akan merubah apa pun. Tapi setidaknya ketegangan itu agak mereda."aku akan ambil air buatmu. Aku lihat gelasmu kosong"gumam bu Anita lirih sambil diliriknya gelas Ellisa yang ada dinakas. Ellisa juga mengikuti lirikan bu gurunya.

Bu Anita beranjak dari tempat duduknya menuju pintu. Saat diraihnya handel pintu itu dan dibukanya, tubuh Alex yang sedari tadi menempel dipintu langsung ikut tertarik kedalam. Bu Anita terperangah melihat Alex. Sementara Ellisa kaget karena Alex pasti mendengarkan semua percakapannya dengan bu Anita. Mata Ellisa melotot menatap Alex yang sedang menatapnya.

Dan Alex menatap bu Anita meringis sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. Bu Anita hanya menatapnya datar sambil menarik lengannya keluar dengan kasar.

"Apa yang kamu dengar?"wajah Alex kembali kesemula. Tanpa sedikit pun guratan senyum dibibirnya.

"Semua"

"Aku harap kamu mengerti. Dan tidak perlu kamu tanyakan padanya atau kau ungkit yang kamu dengar"

"Kenapa?"bu Anita mendengus keras. Lalu ditatapnya wajah Alex dengan sendu. Alex merasa bingung. Apakah pertanyaannya salah?

"Kamu tidak salah bertanya begitu..."jawabnya. Seakan-akan bisa membaca apa yang dipikirkannya."tapi itu hanya akan membuatnya menangis. Tapi ada satu lagi..."nada bu Anita menekankan dengan perkataannya itu."jangan apa-apain dia selama ada disini. Kamu akan berhadapan denganku!"Alex mendengar ancaman bu Anita hanya menyeringai saja.

******

Ellisa merasa gugup ketika Alex masuk kedalam. Walau dengan wajah yang berseri-seri yang dipaksakannya tetap tidak bisa membuat Ellisa merasa nyaman. Apa lagi Alex pasti sudah mendengar semuanya. Semua tentangnya yang gelap itu.

"Maaf ya aku telah menguping sebentar. Tapi sudahlah semua itu tidak penting buatku. O ya? Kamu tadi sudah makan belum? Waktu aku pulang aku lihat restauran jepang. Jadi aku mampir untuk membeli ramen sama sushi. Kamu mau?"mendengar ramen mata Ellisa langsung berbinar-binar. Makanan yang sangat disukainya. Padahal hampir setiap hari dia makan makanan itu. Tapi dia tidak pernah bosan.

Baginya ramen itu hal yang membuatnya iri. Dengan rasa yang enak. Dimakan selagi hangat dan simple. Beda dengannya. Semua tentangnya tidak terasa enak tidak hangat dan sangat rumit juga menyusahkan.

Dengan semangat dia mengangguk. Bergegas berdiri tapi dia kembali meringis. Lupa kalau kaki dan tangannya masih sakit. Alex yang melihatnya hanya tertawa geli. Ellisa yang mrlihatnya merasa jengkel dan iri.

Sebegitu indahnya tawa itu. Tawa yang tak lagi aku rasakan. Apa arti tawaku? Dan bagaimana aku harus tertawa?

Melihat Ellisa melamun lekaki itu berhenti tertawa dan mendekatinya. Diraihnya tangan Ellisa. Ditaruhnya dipundaknya dan digendongnya kemeja makan.

Ellisa tidak berhenti-hentinya memandang wajah lelaki yang menggendongnya. Dia tampak tenang. Entah apa yang dikatakan sama bu Anita yang membuat lelaki tampan ini baik.

"Nah, sekarang kamu makanlah mie ramennya"belum juga selesai Alex menyuruh mie ramen itu sudah masuk kemulutnya. Membuat lekaki itu tersenyum geli.

"Ma..af" ucapnya tak jelas karena mulutnya penuh dengan mie ramen.

"Apa kamu suka sama mie ramen?"Ellisa hanya mengangguk."kenapa?"

"Karena mie ramen itu enak, hangat dan simple..."jelasnya dengan semangat"beda dengan aku"suara kembali sendu dan air mata menetes disudut matanya yang sipit itu.

Tangan lelaki itu meraih tetesan air mata dan mengusapnya lembut.

Ellisa menatapnya penuh sendu. Andai saja aku punya saudara atau kakak atau adik. Aku pasti tidak akan kesepian seperti ini. Selalu sendirian saja.

"Sudah makanlah mie ramennya. O ya, aku mandi dulu sama ganti baju"

Alex beranjak dari kursinya dan melangkah kedalam kamar.

Entah kenapa Ellisa merasa tidak ingin sembuh dari sakitnya agar dia tidak pulang lagi kerumahnya. Mengingat bagaimana hancurnya keluarganya itu.

Setiap hari hanya pertengkaran dan suara barang-barang yang dibanting kelantai atau ketembok.

Semua itu membuatnya muak.

Tuhan! Cepatlah ambil nyawaku ini, Tuhan!

********

My Heart BoatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang