Aurel menyelonjorkan kakinya lurus ke depan untuk menghindari kram. Peluh masih betah membanjiri tubuhnya. Rambut-rambut kecilnya yang lolos dari ikat rambut, basah dan menempel di pipi. Aurel menyapunya, baru kemudian menatap Kak Dedi--guru pembimbing ekskul Taekwondo mereka yang baru saja datang.
"Perasaan gue nggak enak," gumam Frans dari arah samping Aurel. Aurel menoleh dan menanyakan bagaimana perasaan hatinya saat ini.
Sama, perasaannya juga tidak enak soal kedatangan Pak Dedi.
"Sore, semua," sapa laki-laki berkulit cokelat khas pria Asia itu. "Gimana latihannya sore ini? Kakak harap ada kemajuan tiap harinya. Oke, untuk mempersingkat waktu. Kakak ingin menyampaikan beberapa undangan yang tadi pagi sampai ke sekolah kita. Undangan Kejuaraan Taekwondo antar sekolah di Jakarta."
Benar, ini adalah berita buruk.
"Setelah mengoreksi beberapa catatan prestasi kalian belakangan ini, Kakak setuju memutuskan yang akan dikirim untuk ikut lomba adalah anak kelas sebelas dan dua belas. Mengingat anak kelas sepuluh yang baru bergabung dengan kita belum mendapat sertifikat Taekwondo Wizard High. Jadi, untuk anak kelas sepuluh, Kakak mohon maaf karena belum bisa mengandalkan kalian.
"Buat anak-anak yang tidak terpilih, Kakak juga minta maaf. Kalian tidak dipilih bukan karena kalian tidak berbakat atau kalian buruk dibanding teman-teman yang diutus, Kakak cuma ingin memberikan kalian waktu untuk terus latihan. Oke, empat orang yang bakalan Kakak utus adalah, Aurellia Devindra di kelas C. Frans Ruriano di kelas C. Jasva Aprian Nugraha di kelas B. Wifa Yatul di kelas C."
Sontak semua anak yang namanya tidak disebutkan mengerling jenaka pada empat orang itu. Aurel mendengus pelan kemudian membenamkan kepalanya di antara lengannya yang bertumpu pada lututnya--kebetulan kakinya sudah tidak selonjoran lagi.
"Gue nyesel selalu menang pas sparing," gerutu Frans.
"Gue juga nyesel," Aurel mencebik. "Frans, gimana dong?"
"Ya ... mana gue tahu," Frans mengedikkan bahu. "Bunuh diri, pasti lo digantiin orang lain."
"Bunuh diri mah dosa," Aurel mendongak karena mendengar namanya dipanggil.
"Selamat ya, Rel, semoga lo bisa harumin nama sekolah," seorang teman satu ekskul Aurel datang menghampiri dengan senyuman yang begitu lebar.
"Makasih, Mi," jawab Aurel.
Kemudian tak berseling lama, semua anggota ekskul mengatakan doa dan harapannya untuk Frans dan Aurel. Di tempat lain, mereka juga mengucapkan harapannya pada Jasva dan Wifa.
"Lo nggak pulang Frans?" tanya Aurel ketika dia sudah berdiri dan berniat menuju ruang ganti untuk menukar bajunya. "Gue mau ganti baju."
"Yaudah ganti baju duluan sana," kata Frans seperti sedang mengusir seekor kucing nakal yang ketahuan memakan ikan di rumahnya. "Atau, lo ngekode gue buat nemenin lo ganti baju?
"Mesum lo!" Aurel memutar bola mata. "Yaudah, gue duluan."
Sore itu, entah kenapa melihat Aurel berjalan menjauh darinya, Frans merasa tubuhnya panas karena sengatan matahari sore.
Padahal, teriknya sudah tidak terlalu menyengat.
Apa ... sebegitu besarnya efek Aurel di hidup Frans?
ೞೞೞ
Aurel mengusap-usap telinga Bibble yang sedang tidur di atas pahanya. Senyum Aurel mengembang begitu melihat teman-temannya sudah ada di layar laptop.
"Cuma berempat?" tanya Aurel setelah selesai menghitung jumlah tubuh yang bergerak risau di layar laptopnya. "Nasya mana?"
"Di hati gue," Aviva menjawab. "Nasya ada briefing bareng Eagle, nanti malam 'kan ada konser."
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Dream
Teen FictionThe Alayers Series (2) : Aurellia Devindra Ariadana. Keinginan dan mimpi mereka itu sama. Aurel ingin melupakan Frans. Frans ingin melupakan Aviva. Mereka tahu melupakan itu memang sulit. Karena melupakan bukan salah satu rencana ketika hend...