"Seharusnya gue nggak boleh bilang ini ke elo. Nanti, kalo gue mandul, lo pokoknya harus tanggung jawab," ucap perempuan di seberang. "Bukan Jasva, tapi lo, Frans Ruriano."
Suara itu menggema. Memekakkan telinga Frans pada kenyataan bahwa baru saja dia berlari sekencang mungkin dari sebuah pohon. Bahwa, baru saja dia melihat Aurel ...
Ah, sudahlah. Memang, kalau semua kejadian tadi Frans ingat, apa untungnya buat-
"Lo?"
Frans mendongak, memerhatikan seorang perempuan dengan baju putihnya yang sudah lusuh. "Hai."
Aurel terbata. "Butuh sesuatu? Atau masih mau marahin gue?"
Frans tidak menjawabnya. Membuat Aurel takut-takut ingin bertanya lagi.
Ada jeda lama.
Hingga sepuluh menit kemudian, Frans berucap, "Kenapa lo nyembunyiin semuanya dari gue?"
"Nyem-"
"Gue udah tau kalau cowok yang selama ini berusaha lo lupain itu gue," ujar Frans dengan nada dingin. "Gue udah tau kalau lo, sama kayak cewek di luar sana, cewek bego yang nggak mau bilang perasaannya karena orang yang disuka temannya."
"Frans, lo tadi udah marah-marah soal-"
"Jawab pertanyaan gue dulu. Kenapa lo nyembunyiin perasaan lo?" Frans berdiri dari duduknya untuk mendekati Aurel. "Kenapa lo jadi cewek sok kuat buat naruh perasaan ke gue? Kenapa lo egois nyembunyiin perasaan lo?"
"Karena gue jatuh cinta sama lo tulus. Gue nggak mau pamrih, gue nggak butuh balasan." Akhirnya suara itu keluar bersamaan dengan air mata Aurel. "Gue emang sok kuat untuk jatuh cinta sama cowok yang hari-harinya nyeritain tentang orang yang dia suka. Gue emang sok kuat untuk jatuh cinta sama cowok yang nyatanya sahabat gue sendiri. Gue emang sok kuat untuk jatuh cinta diam-diam selama dua tahun belakangan ini ke elo. Gue emang sok, Frans."
"Tapi, apa dengan lo sok lo bisa dapetin apa yang lo mau?" tanya Frans.
"Yang gue mau, lo tetep di samping gue, jadi sahabat terbaik buat gue. Itu udah lebih dari cukup. Gue sadar kalau gue cuma gundukan tanah di gurun sahara yang mendamba sebulir hujan, gue sadar kalau ngedapetin lo cuma fatamorgana pikiran gue." Aurel tertawa garing. "Baru peka, ya?"
Frans membuang muka. "Selama ini gue udah sering 'kan nanyain hal kayak gini, gue udah sering nanyain siapa cowok itu. Tapi, jawaban lo apa? Gue bahkan udah sering mancing lo dengan berbagai cara. Tapi, yang lo lakuin cuma diam nggak bereaksi."
Aurel hanya bisa tersenyum menunggu Frans melanjutkan kalimatnya.
"Mana bisa gue tau kalau lo suka gue sementara lo cuma diam tanpa mau mengungkapkan?" Frans menghela napas panjang. "Sori, Rel. Gue udah jadi cowok brengsek yang cerita banyak hal ke elo tentang ini-itu, tanpa tau gimana perasaan lo saat gue cerita."
"Lo nggak salah," ucap Aurel sambil menggeleng keras. "Karena udah takdirnya gitu. Doi ditakdirkan buat nggak peka, dan sang penyuka udah ditakdirkan untuk kuat, sabar, juga berusaha."
Frans tidak tahu sebenarnya hati Aurel itu terbuat dari apa. "Tapi, Rel. Gue nggak bisa ngebales perasaan lo."
"It's okey. Nggak semua perasaan di muka bumi tercipta untuk dibalas." Aurel tersenyum getir. Nada bicaranya jadi terdengar putus-putus akibat terlalu menahan isakannya.
Frans mengepalkan tangannya lalu meninju dinding di sebelahnya. Dan, tentu saja membuat Aurel melongo keheranan.
"Untuk gue yang terlalu brengsek, dan suka emosi ke elo." Frans mendekat, mengambil tangan Aurel lalu meletakkannya di atas buku-buku tangan Frans yang mulai berdarah. "Sori, Rel. Gue nggak bisa balas perasaan lo, karena perasaan gue ke elo lebih besar daripada perasaan lo ke gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Dream
Fiksi RemajaThe Alayers Series (2) : Aurellia Devindra Ariadana. Keinginan dan mimpi mereka itu sama. Aurel ingin melupakan Frans. Frans ingin melupakan Aviva. Mereka tahu melupakan itu memang sulit. Karena melupakan bukan salah satu rencana ketika hend...