Koridor sudah mulai lengang. Beberapa siswa sudah ada yang pulang juga tetap tinggal untuk mengisi kegiatan ekskul mereka. Aurel sedang duduk di depan kelas Kanissa yang sejak tadi belum keluar.
"Lama, Niss! Buruan, dong!" teriak Deora dari luar. Cewek yang sudah memakai baju olahraga itu cemberut.
Tidak berapa lama, Kanissa keluar dari kelasnya dengan wajah panik."Kenapa lo?" tanya Aurel bingung.
"Kalian liat kunci loker gue, nggak?" Kanissa balik bertanya. Keringat mulai membanjiri pelipisnya.
"Ngapain lo mau ke loker?" Aviva juga ikut-ikut mengajukan pertanyaan.
"Celana training gue di sana. Hari ini anak Paskib latihan buat seleksi!" seru Kanissa. Cewek itu mengacak-acak rambutnya secepat mungkin kemudian masuk kelas.
Menyadari temannya dalam kesusahan, Aurel, Aviva, Deora, dan Ananda masuk ke dalam kelas untuk melihatnya.
"Gue sih nggak tau lagi lo ngeletakin kunci dimana. Kita 'kan udah nggak sekelas. Dulu sih, kalo lo ngeletakin kunci suka di atas meja," kata Deora saat mereka sudah mulai mencari kunci milik Kanissa.
"Makanya di kelas itu jangan keseringan tidur, barang diambil, lo jadi nggak tau, kan?" sewot Aurel.
Cukup lama mereka mencari kunci itu di setiap laci meja, di lemari, di meja guru, sampai di belakang Papan Tulis.
"Anan, pasang muka panik. Jangan pakai muka datar gitu," celetuk Aviva ketika melihat Ananda hanya berdiri di dekat dinding Papan Tulis sambil memasang wajah datar.
"Nggak kasihan apa ngeliat gue, Nan? Kalau gue nggak pake training, gue nggak bisa ikut seleksi," timpal Kanissa yang sudah terduduk di lantai karena letih.
"Kalian pada ngapain?" itu respon Ananda pertama kali.
"Ish, Anan! Kunci. Kunci. Kita cari kunci Anan," geram Deora.
"Itu bukan?" jari telunjuk Ananda mengarah pada saku tas Kanissa. Kanissa menoleh sebentar kemudian meraba saku yang dimaksud Ananda.
"KENAPA LO NGGAK NGASIH TAU DARITADI?!" teriak mereka semua bersamaan.
Ananda hanya mengedikkan bahu cuek. Kanissa berjalan keluar kelas lalu tersenyum pada teman-temannya. "Makasih ya, udah nemenin gue. Gue langsung ganti baju aja. Dadah."
"Gue juga mau latihan cheers." Deora berdiri, dia melambaikan tangan pada teman-temannya lalu hilang di balik pintu.
"Gue duluan," pamit Ananda sebelum keluar kelas.
"Jadi, gimana senja lo kemaren?" Aviva langsung bergerak mendekati Aurel saat teman-temannya sudah mulai berpamitan melakukan kesibukan masing-masing.
Aurel yang mendengar pertanyaan itu langsung melotot. "Lo tau darimana?""Gue kalau udah niat, bisa ngelakuin apapun." Aviva memamerkan senyuman andalannya. "Tau dari Zizi."
"Nggak ngerti lagi gue kemaren," adu Aurel. Napasnya keluar pelan-pelan. "Kenapa cowok tuh suka banget sih bikin cewek berharap? Terus ujung-ujungnya harapan kita dihempas juga dijungkir balikkan sama kenyataan bahwa dia cuma bercanda."
"Itu gunanya istilah berjuang dan bertahan sekarang. Ambil yang baiknya aja, Rel. Anggap aja harapan yang dia kasih sebagai cara dari dia buat bahagiain kita." Aviva merangkul Aurel yang sudah mengalihkan pandangannya. "Kalau nggak ada harapan, kita nggak mungkin geer, kalau nggak geer, kita nggak mungkin salah tingkah, kalau nggak salah tingkah, kita nggak mungkin seneng, kalau nggak seneng, kita nggak mungkin bisa nganggap bahagia saat jatuh cinta itu ada."
Aurel tersenyum lebar kemudian menjitak kepala Aviva. "Kenapa lo bisa bijak plus alay banget?"
"Setan," umpat Aviva kesal. Tangannya mengusap-usap bekas kejahatan Aurel. "Diana itu orang baru dalam hidup Frans. Percaya sama gue, cuma orang-orang yang Frans sayang yang bisa diajak ke atas bukit buat ngeliat senja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Dream
Teen FictionThe Alayers Series (2) : Aurellia Devindra Ariadana. Keinginan dan mimpi mereka itu sama. Aurel ingin melupakan Frans. Frans ingin melupakan Aviva. Mereka tahu melupakan itu memang sulit. Karena melupakan bukan salah satu rencana ketika hend...