Kehadiran Aurel tidak ayal membuat Frans terkejut. Pasalnya, baru beberapa menit Aviva pergi, cewek dengan buku tebal di tangannya itu ikut memasukkan buku-bukunya ke dalam loker.
"Gue kira lo udah pulang, Rel," ujar Frans sambil menyender di dinding.
"Rani masih di jalan," katanya masih sibuk menyusun buku. Aurel sebenarnya sedang berupaya bersikap seolah dia tidak tahu apa-apa. Seolah dia tidak tahu kalau orang yang disukainya mulai berteman dengan mantannya.
"Rel," panggilan itu lembut di telinga Aurel.
"Hm?"
"Gue sama Aviva temenan."
Aurel menganga. Dia tidak mengira Frans akan menceritakan ini ke dirinya. Begini, Aurel hanya sahabat selingan di hidup Frans, lalu mengapa Frans harus repot-repot bercerita?
"Baguslah, terus hadiahnya gimana?" Aurel masih berusaha bersikap tidak tahu apa-apa.
"Gue kasih ke dia. Sebenarnya gue udah lama nyiapin hadiah ulangtahunnya, novelnya udah gue beli sejak seminggu lalu. Cuma gue simpen di dalem loker. Kebetulan, tadi Aviva ada di sini. Yaudah gue kasihin ke dia." Pandangan yang Frans perlihatkan tidak terbaca. Tapi, Aurel bisa menyimpulkan bahwa pandangan itu biasa saja. Tidak ada kesan harap yang timbul di sana lagi.
"Aviva ngapain ke sini?" Aurel masih sibuk dengan loker ketika bertanya lebih lanjut.
"Kayak nggak tau Aviva aja." Frans mendekat ke arah Aurel kemudian memperhatikan cara tangan cewek itu bekerja membereskan buku-bukunya. "Fans Aviva ngeletakin hadiah ulangtahun di loker. Mungkin meja Aviva udah kepenuhan."
Frans benar. Tadi waktu Aurel ke kelas Aviva, meja cewek itu memang penuh dengan hadiah. Maklumlah, Aviva adalah primadona sekolah. Hari ulangtahunnya hari ini saja jadi trending topic seantero sekolah.
"Rel, ikut gue aja deh. Daripada lo nunggu di sini, kasihan, sendirian. Gue udah terlalu sedih sama hidup lo yang jombs." Frans sudah bersiap-siap menarik tangan Aurel ketika cewek itu mendelik galak padanya.
"Iya gue tahu yang baru temenan sama Aviva, iya gue tahu kalau gue cuma sebutir jomblo, iya gue tahu," ucapan Aurel barusan berbau posesif. Dan, Frans menangkapnya.
"Lo nggak suka?"
"Nggaklah!" ceplos Aurel kemudian matanya melotot lebar. "Yah, enggaklah. Nanti lo suka sama Aviva lagi, terus Diana gimana nasibnya?"
Gue gimana nasibnya? Ingin sekali Aurel mengucapkan kalimat itu pada Frans.
"Kan cuma temenan, Rel." Frans menggeleng. "Tadinya gue kirain lo nggak suka kalo gue temenan sama Aviva, karena emang dasarnya lo nggak suka."
"Kenapa gitu?"
"Gue pengennya lo bilang 'gue gimana nasibnya?' bukan 'Diana gimana nasibnya'?" Frans tidak menatap Aurel.
Aurel menatap Frans cepat. Mencari tahu apa maksudnya.
"Kalo misalnya ada Aviva, lo sebagai sahabat gue yang paling ngeselin pasti bakalan ngerasa terlupakan," cibir Frans sambil tertawa. Padahal, sedetik lalu suasana sedang haru.
"Nyebelin lo!"
"Ke lapangan, yuk? Anak-anak udah nungguin gue kayaknya," Frans melirik jam tangannya baru kemudian melihat Aurel lagi.
Omong-omong, itu adalah kali pertama Aurel melihat Frans tertawa. Dan, semuanya setelah Aviva dan Frans berteman.
Apa, salah kalau sekarang Aurel merasa cemas?"Mereka nungguin lo, bukan gue."
"Sekali-kali lo harus dikenalin sama mereka." Sebelum mendapat izin dari pemiliknya, Frans langsung mengamit telapak tangan Aurel kemudian membawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Dream
Teen FictionThe Alayers Series (2) : Aurellia Devindra Ariadana. Keinginan dan mimpi mereka itu sama. Aurel ingin melupakan Frans. Frans ingin melupakan Aviva. Mereka tahu melupakan itu memang sulit. Karena melupakan bukan salah satu rencana ketika hend...