Dream (5) : Comprehend

472 211 71
                                    

Ada beberapa hal yang tidak dipahami manusia secara keseluruhan. Salah satunya adalah senyum. Manusia selalu menganggap senyum adalah penggambaran kebahagiaan paling nyata, mereka tidak tahu saja bahwa senyum adalah titik terlemah manusia. Senyum akan muncul jika tuannya memerintahkan, tidak muncul secara tulus. Dan semua yang dilakukan tidak secara tulus, pasti berasas kesedihan.

Senyum itulah yang sekarang menghinggap di bibir Aurel. Dia berjalan dengan ceria menuju salah satu meja di kafe.

"Ekhm. Mau pesan apa?" tanya cewek berkaos hitam polos itu.

Cepat, dua orang yang ada di meja itu menoleh padanya.

"Eh, Rel. Tumben lo di kafe," ujarnya pertama kali.

"Sekali-kali bantuin Mama, sekalian berlatih menguatkan diri buat nggak baper liat pasangan yang mampir. Contohnya kalian ini." Aurel masih tersenyum saat mengucapkan kalimat itu.

"Gue sama Frans bukan pasangan kali, Rel." Samar, Aurel bisa melihat rona memerah timbul di pipi Diana. Rona merah khas gadis polos yang baru jatuh cinta.

"Cewek sama cowok itu pasangan, nggak peduli mereka sahabatan, pacaran, tetanggaan, bebuyutan, apapun deh. Yang penting, cowok sama cewek yang cuma berdua itu pasangan." Aurel terkikik, padahal hatinya sedang susah-susahnya menahan perih. "Jadi kalian mau pesan apa?"

Frans menyebutkan pesanannya pada Aurel, disusul Diana yang menyamai pesanan Frans.

"Tunggu bentar ya, sambil nunggu bisa kali ditembak, Frans." Aurel menaik turunkan alisnya ke arah Frans.

"Lo kira gue pemburu nembak-nembak." Frans mendengus kasar.

"Lah, iya dong! Lo pemburu cinta, yang berusaha menaklukkan hatinya seorang Apri Diana Girsacha." Setelah selesai bicara, Aurel melirik Diana yang sedang menunduk ke bawah. Kebiasaannya setiap kali ingin menyembunyikan senyum malu-malu.

"Lo makin gila, Rel." Frans memutar bola mata.

Aurel tidak menggubris ucapan Frans. Dia pamit kemudian berjalan menuju dapur untuk menunjukkan pesanan baru pelanggan. Sebenarnya, ada banyak pelayan kafe di Sirius, hanya saja Aurel selalu suka membantu beberapa karyawan Mamanya. Daripada bengong sampai ngeluarin jigong, katanya memberi alasan setiap kali ditanya.

"Psstt."

Aurel melihat Rani yang berdesis memanggilnya. "Apa?"

"Itu yang di meja nomor tiga belas, bukannya pacar lo?" tanya Rani sambil sesekali melirik ke meja yang dimaksudnya. "Kok bareng cewek? Udah putus ya dia sama lo?"

Padahal Aurel masih berusaha tersenyum sejak tadi, namun karena perkataan ngaco Rani, senyumnya raib seketika.

"Dia temen gue, terus itu gebetannya," jelas Aurel sambil geleng-geleng kepala.

"Kalo dia temen lo, kenapa kesannya mata lo berembun waktu di deket mereka?" pertanyaan Rani ini menjebak, tidak bisa dijawab sembarangan.

"Tau ah." Aurel menggedikkan bahu. "Kak Widya manggil lo, tuh."

Refleks, Rani langsung meninggalkan Aurel untuk berdekatan dengan Widya. Untung saja, Widya datang di saat yang tepat. Omong-omong, Widya adalah salah satu karyawan Sirius.

"Rel, nih." Farel muncul dari dapur dan membawa nampan berisi pesanan Frans dan Diana. "Meja nomor tiga belas."

Aurel bergegas mengambilnya. "Makasih Kak, cepet banget selesainya."

"Gue 'kan anti lelet." Farel nyengir kemudian kembali lagi ke dapur.

Aurel menarik napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya ke meja Frans dan Diana.

Same DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang