Masih ada waktu untuk Aurel menyusul teman-temannya yang sedang makan siang di kantin. Aurel mempercepat langkahnya, berpacu dengan jarum jam yang terus berputar.
“Udahan?” Aviva tampak berlari dari koridor lain. Napasnya berantakan, begitu juga keringat yang mengucur di pelipis cewek itu. Di belakangnya, teman-teman Aurel menyusul, dengan penampilan yang sama. “Kok nggak bilang mau main, Rel? Gue padahal udah pemanasan sumpah serapah.”
“Gue sampe doa berulang kali karena bakalan ngehina anak orang.” Kanissa memasang wajah sebal. “Kenapa nggak ngajak kalau mau ngelawan si Fefi pepot itu sih?”
“Kalian masih mending, gue? Gue yang ngasih tahu kabar ini ke Aurel, gue yang bilang kalau Diana dilabrak. Terus, dengan kejamnya Aurel ninggalin gue di dinginnya ruangan kelas,” kata Deora dramatis. Dia memasang wajah ingin menangis.
“Nyebut apa aja, Rel? Kebun binatang keluar, nggak? Sayur-sayuran keluar, nggak?” timpal Aviva penasaran.
“Pipi lo kenapa memar?” seperti biasa, hanya Ananda yang normal. Cewek berkacamata itu bertanya karena heran melihat pipi Aurel memerah.
“Huaaaa!” teriak Aurel kemudian memeluk Ananda. Menangis tersedu-sedu. “Anan, cuma lo yang nanyain gue. Cuma lo yang peduli ke gue. Anan, gue terhura sama lo.”
Sebenarnya, yang menyebabkan Aurel menangis kali ini bukan karena terharu Ananda memperhatikannya, melainkan sebagai bentuk penumpasannya. Aurel sudah sejak tadi menahan tangis, dan mungkin saat ini dia ingin keluar sekarang.
“Ish, alay,” ledek Aviva geram.
“Perasaan dia kemaren bilang kesel karena Ananda nggak nyanggupin hukuman ular tangga,” tambah Kanissa.
“Terus dia bilang kalau ketemu Anan, dia pengen nonjok,” Deora berdecak. “Katanya Anan itu ngebetein. Pasti Anan kemaren nggak datang ke acara keluarga. Dia tepar di kamar bareng novel-novelnya, dan ngebiarin gue ngejalanin hukuman sendirian.”
“Sekarang dia sok baik.” Aviva mengerucutkan bibir. “Balik, yuk? Kehadiran kita tak pernah dianggap ada oleh Aurel.”
“Tuh netes air mata gue.” Deora menunjukkan sebutir air mata aktingnya. “Dusta, kau, Aurel! Kau malah memeluk Anan dibanding kami. Baiklah, kami pergi dari hidupmu!”
Berbanding terbalik dengan apa yang diucapkan Deora, ketiga teman Aurel yang tadi mengejeknya itu mendadak memeluknya.
“Katanya mau pergi dari hidup gue, terus kenapa malah meluk? Bikin gue sesak napas?” tanya Aurel di sela-sela isakannya.
“Anggap aja pelukan perpisahan.” Aviva berbicara dengan suara serak.
“Abis pelukan langsung pergi dari gue, kan?” Aurel terkekeh. “Duh, Niss. Gue beneran sesak napas karena tangan lo.”
Kanissa tidak memindahkan lengannya yang ada di dekat leher Aurel. Cewek itu malah menceletuk, “Biarin, siapa suruh meluk Anan terus ngerubah kita jadi menye gini.”
“Tau. Kita nggak bakalan peluk-pelukkan terus nangis kejer kayak gini kalau lo nggak meluk Anan.” Deora menggigit bibirnya. “Kita … udah lama nggak kayak gini.”
“Apalagi sekarang Nasya udah nggak di sini.” Aviva menghapus air matanya. “Kalian jangan ikutan pergi, ya?”
“Pasti,” jawab mereka serempak.
“Kita Alayers dan bakalan selalu gini. Jangan kepisah-pisah cuma kayak masalah dulu. Selalu inget kalau masing-masing dari kita saling melengkapi.”
Aurel mengangguk. “Jangan lupa juga buat selalu berdoa ke Tuhan, buat ngembaliin Riana ke kita.”
“Kesannya Riana udah mati.” Kanissa melepas pelukannya. “Dia udah nemu sahabat belum, ya, disana?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Dream
Teen FictionThe Alayers Series (2) : Aurellia Devindra Ariadana. Keinginan dan mimpi mereka itu sama. Aurel ingin melupakan Frans. Frans ingin melupakan Aviva. Mereka tahu melupakan itu memang sulit. Karena melupakan bukan salah satu rencana ketika hend...