Dream (4) : See He

442 225 168
                                    

Terlatih siaga, Aurel langsung menangkap botol air mineral yang dilemparkan oleh seseorang. Dia mendengus kemudian menoleh ke belakang lalu menggerutu tidak jelas.

"Untung nggak kena kepala," gerutu Aurel mendekati orang yang melempar botol tadi. "Siapa lawan gue?"

"Yesica Hardepsa." Frans duduk di salah satu kursi. Pakaiannya masih Taekwondo walaupun lombanya telah selesai. Ya, dua puluh menit yang lalu, Panitia telah mengumumkan juara Kejuaraan Putra dan Frans menang sebagai juara satu.

Aurel tidak pernah bisa membayangkan sebelumnya.

"Teman sekamar gue yang rempongnya berpangkat?" Aurel memberikan tatapan ngeri. "Hebat juga dia bisa masuk final."

"Ingat Rel, nanti jangan main emosi. Tugas kita di sini cuma mengharumkan nama sekolah, bukan juara." Frans mengulang kalimat membosankannya lagi.

"Ya ... gue inget, ucapan juara satu kejuaraan Bela Diri se-Provinsi pasti gue inget," Aurel memamerkan cengiran lebar andalannya. "Betewe, gue masih nggak nyangka lho, Frans."

Frans tidak menanggapi kekaguman Aurel. Dia terlihat biasa saja tentang 'menang lomba', karena ada satu kalimat yang masih mengganjil di pikirannya.

"Rel, kayaknya Jasva serius sama yang dia omongin tadi malam."

Aurel berhenti bersenandung kecil, dia mendelik pada Frans. "Omongan yang mana?"

"Kalo dia suka sama lo."

Aurel menopang dagunya untuk mendengarkan kalimat lanjutan Frans.

"Nada dia tadi malam itu bener-bener polos, kayak orang keceplosan. Jadi, nggak salah lagi kalau dia emang suka sama lo," lanjut Frans setelah tahu bahwa Aurel mendengarkannya.

"Kalo dia suka sama gue, kenapa emang?" tanya Aurel.

Jujur, Frans juga tidak tahu apa jawaban yang pas untuk itu.

"Lo cemburu, ya?" meskipun Aurel bertanya pada Frans, tapi cewek itu sama sekali tidak berani menatap lawan bicaranya. Dia takut Frans bisa dengan mudah menangkap harapan di mata Aurel,

"Ngapain gue cemburu? Emang gue suka sama lo?" pertanyaan itu juga belum bisa dijawab oleh Aurel. "Kalo gue suka sama lo, gue pedekatenya sama lo, dong. Bukan sama Diana."

"Iya sih." Aurel manggut-manggut. "Tapi, kenapa kesan yang gue tangkep, omongan ngaco Jasva tadi malem itu ngeganggu lo banget?"

"Bukan ngeganggu, Rel," ralat Frans. "Gue cuma penasaran aja. Siapa tahu aja dia bener, terus lo bisa nyantol sama dia. Terus lo bisa move on, dan gue bisa lebih cepat nembak Diana."

Aurel menahan napas. "Jasva itu suka bercanda orangnya. Lagian, cowok yang punya fans berserak di sekolah kayak dia, masa iya suka sama cewek kayak gue?"

"Bisa aja." Frans terlihat tidak terima. "Lo itu reaksinya lucu, cantik, manis, pemberani, juga bisa bikin nyaman orang di sekitar lo. Jadi, nggak salah kalau ada cowok yang suka sama lo."

Diam-diam, senyum Aurel merekah. Dia bahagia karena kalimat yang diucapkan Frans. Dia bahagia karena hal kecil yang dilakukan Frans.

"Kenapa lo jadi senyum?"

"Untuk pertama kalinya, seorang Frans Ruriano yang belum bisa melupakan Aviva Angelia memuji gue," jawab Aurel masih cengengesan. "Tapi ya, kalo lo emang udah ngegebet pengen nembak Diana, tembak aja sekarang. Nggak usah pake acara nunggu gue berhasil move on segala. Kelamaan."

"Gue pengen bahagia bareng-bareng sama lo." Frans mengusap-usap puncak kepala Aurel. "Udah pemanasan lagi. Sepuluh menit lagi final dimulai."

Andai Frans tahu bahwa, bahagia Aurel tak mungkin bisa muncul jika Frans benar-benar berniat menjadikan Diana sebagai pacarnya.

Same DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang