Epilog

654 155 88
                                    

"Sama kayak lo, gue bakalan senyum terus sepanjang acara," ucap seorang laki-laki di sampingku.

Aku menoleh padanya. Memberikan tatapan seolah dia baru saja mengatakan bahwa dia akan mati besok. "Lo gila? Bego? Kurang waras? Atau otewe gila, sih?"

"Lah, lo aja senyum mulu daritadi. Ya, kalau gue ngelakuin hal yang sama, nggak apa-apa dong," katanya membuatku ingin sekali menjambak rambutnya kuat-kuat lalu melemparkannya ke samudra atlantik.

"Gue senyumnya kan ke alumni Wizard High yang lewat, nggak sepanjang acara senyum." Kuputar bola mataku. "Makin tua makin frutasi gue ngadepin pacar kayak lo."

Frans mengerucutkan bibir, kebiasaan yang akhir-akhir ini digandrunginya. "Yaudah, kalau gitu lo juga nggak usah senyum."

"Semerdeka lo aja, Frans." Aku menekuk bibir lalu mendengus. "Orang senyum aja diribetin."

"Yang ngeribetin duluan siapa?" tanya Frans, mengajak berdebat. "Lo yang duluan ngeribetin gue yang mau senyum."

"Ish, kan gue bilang nggak seharusnya lo sepanjang acara senyum," balasku. "Lo yang nanggepin lain."

"Ya gue juga nggak bakalan senyum terus kali sepanjang acara," kesal Frans. "Dikira gue sebego apa. Lo tuh yang nanggepinnya lain."

"Au ah," pupusku mengedikkan bahu.

"Tapi, Rel. Jangan keseringan senyum sama orang deh," celetuk Frans tiba-tiba membuatku lagi-lagi harus menatapnya heran.

"Kenapa?"

"Takut aja gue, senyum lo kan manis. Kalau orang-orang yang lo senyumin jadi suka lo gara-gara lo senyum gimana? Kan barabe urusannya," jawab Frans.

"Najis," gumamku pelan. Merasa bahwa Frans tidak akan memulai percakapan lagi, aku kembali duduk memerhatikan dua orang di depan sana.

Dua orang yang hari ini sengaja memasang senyum paling bahagia. Dua orang yang kini sedang menjabat tangan semua orang yang datang untuk memberikan selamat. David dengan jasnya. Dan, Aviva dengan baju selayarnya.

"Gue mau nemuin Pipa dulu," kataku, berdiri dari tempat duduk dan mulai melangkahkan kaki menuju tempat sahabatku berdiri.

Tanpa diajak, Frans ikut di belakangku. Jari-jarinya memenuhi sela tanganku. Dilangkahkannya kaki dengan pasti dan gagah, seolah bersikap bahwa tidak ada sedikitpun perasaan yang tersisa untuk mantannya yang ada di depan.

Ouh, apa aku belum memberitahunya?

Aku dan Frans saat ini tengah berada di dalam sebuah gedung yang disewa sebagai tempat pesta. Hari ini, Aviva dan David menikah. Oke, aku tau bahasa ini terlalu dewasa. Tapi, yah, mereka memang menikah.

"CIMITKUUU!!!" seru Aviva begitu melihatku. Sejenak, orang-orang yang sedang mengantri untuk bersalaman memandangnya penuh rasa telepati.

"Nggak usah sableng sehari, bisa nggak sih?"Aku mendumel lalu memeluk sahabatku itu erat-erat. "Duh, duh, duh. Bentar lagi jadi Mak rumah tangga. Nggak nyangka gue lo duluan dibanding gue sama anak-anak."

"Ya nggak usah sekenceng ini juga meluknya," balas Aviva, keki.

"Tau nggak sih, dari jauh tadi lo keliatan kayak bidadari. Beneran, deh. Pas gue datengin ke sini, malah mirip suzanna." Aku terkekeh karena berhasil membuat Aviva melayangkan satu cubitannya ke lenganku. "But, doa gue dijual terpisah ya dari kado. Apa yang lo inginin, itu juga doa gue. Jadi, Istri yang baik, ya. Terus sering-sering masak buat David."

Pandanganku beralih ke David. "Jaga sableng gue baik-baik ke Dav, kalau misalnya dia nggak mau masak karena alasan nggak pandai, lapor ke gue. Biar gue mutilasi."

Same DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang