Dream (25) : The Perfect Ending

497 141 36
                                    

Waktu telah berganti.

Aurel masih tidak percaya bahwa semuanya berjalan sesuai keinginannya. Aurel masih tidak percaya bahwa, dengan dosa-dosanya selama ini, Tuhan masih bersedia mengabulkan doanya.

Doa-doanya tentang kebahagiaan. Tentang harapan. Dan sebagainya.

"Frans," panggil Aurel lembut.

"Hm?"

"Boleh gue tanya satu hal?" buka Aurel dengan kalimat yang agak santun.

Frans akhirnya berhenti memainkan ponsel lalu menatapnya. "Kenapa enggak?"

Aurel menghirup napas panjang. "Lo beneran suka gue?"

Frans terkekeh. "Maksud lo?"

"Frans, rasanya baru kemarin telinga gue denger kalau lo berencana nembak Diana. Rasanya, baru kemarin lo bilang kalau lo udah mulai serius ke Diana. Dan, rasanya baru kemarin juga lo bilang lo suka gue." Aurel menunduk. "Gue harus percaya ke kemarin yang mana?"

"Gue belum bilang sesuatu ke lo?" Frans mendekatkan tubuh, lalu mengambil tangan Aurel baru kemudian mengelusnya. "Dari awal, gue udah tau kalau Diana nggak pernah suka gue."

"Hah?"

"Au, lo nggak pernah sadar ya kalau selama ini lo hidup di permainannya Aviva?" Frans mengacak-acak rambut Aurel. "Aviva yang rencanain semuanya. Tentang Diana yang keliatannya suka gue. Tentang dia dan kerjaan barunya sebagai Mak Comblang. Dengerin, Rel. Gue nggak bisa serius sama Diana. Dan, gimana bisa gue nembak dia?" Frans tersenyum melihat reaksi Aurel hanya diam. "Gue bilang gue pengen nembak Diana, gue suka Diana, gue mau berjuang buat Diana, semata-mata adalah supaya gue bisa liat seberapa kat lo nahan cemburu lo selama ini."

"Jadi?"

"Aviva pernah bilang ke gue. Kalau gue bukan lagi Frans yang dulu. Frans dengan tingkat kepedean juga kepekaan yang tinggi. Tapi, Rel, sejatinya, gue udah mulai nebak lo suka gue, sejak gue dan Aviva pacaran." Frans menatap lurus ke depan. "Sore itu, Aviva telat pulang, matanya merah, dan dia lari kayak orang kesurupan. Pas gue tanya kenapa, dia diam. Nggak mau ngasih tau masalahnya apa. Hingga akhirnya dia cerita kalau dia dan sahabat-sahabatnya berantem cuma karena dia nggak ngasih tau masalah gue dan dia jadian.

Gue cukup normal, Rel. Nggak mungkin alasan lo dan temen-temen lo berantem sesepele itu." Frans memberi jeda di kalimatnya. "Itu sebabnya diantara temen-temen lo, gue milih lo sebagai pacar bohongan gue. Itu sebabnya, gue mau temenan sama lo. Supaya gue tau, perasaan lo yang sebenarnya ke gue."

"Kenapa gue nggak pernah mikirin ini?" akhirnya Aurel bersuara. Ia tersenyum mengejek, menertawakan diri sendiri.

"Rel." Frans menatap bola mata Aurel yang sedang bergerak-gerak gelisah. "Sekarang, gue udah cukup tau kalau, Perasaan nggak bakalan sejelas itu buat dilihat, nggak bakalan segampang itu buat dirasakan, dan terpenting, nggak bakalan secepat itu buat ditunggu."

Aurel mencibir. "Nggak lo, nggak Viva, nggak Anan, ngomongnya pake bahasa berat-berat semua. Tapi, yang barusan, berhasil bikin gue percaya sama omongan lo. Nggak tau kenapa."

"Cuma mau bilang, kalau selama ini gue salah. Gue bilang gue mencintai sahabat lo, tapi nyatanya, gue cinta lo." Frans menyulaskan senyum sekali lagi.

"Ih, udah ah. Nggak usah senyum-senyu mele," protes Aurel karena jantungnya sudah berdetak terlalu cepat melihat senyum Frans itu.

"Lah? Salahnya apa?"

"Meleleh lama-lama hati gue," ceplos Aurel.

"Apaan? Coba ulangin."

Same DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang