Jane memasuki kelas di hari pertamanya duduk di kelas sebelas IPA 4. Dia tidak percaya dengan pemandangan dalam kelas tersebut, semua meja sudah nyaris terisi penuh. Bisa dipastikan esok atau lusa manusia-manusia ini akan kembali datang ke sekolah mepet bel masuk bahkan ada yang kesiangan. Bangun pagi di hari pertama sekolah memang cuma mitos sejak jaman baheula.
Sejak SD sampai SMA hari pertama sekolah dijadikan ajang pencarian peruntungan. Sialnya Jane kali ini tidak beruntung. Kursi kosong yang tersisa cuma di depan dekat dengan pintu masuk, di situ juga sudah diisi oleh cowok yang bernama Bagas Ramdan. Dia duduk sendirian!
Dua kursi kosong lainnya berada di belakang Bagas. Jane mengembuskan napasnya keras-keras sampai rambut kecil di keningnya berterbangan ke atas. Dia duduk di kursi pinggir, dia tidak terlalu suka duduk di pojok dekat tembok karena banyak nyamuk.
Jane menyandarkan kepalanya di meja ingin melanjutkan tidur, dia masih terbawa hawa liburan jadi masih malas pergi ke sekolah. Setelah ini dia akan rutin berangkat pagi lagi.
"Giliran hari pertama rebutan kursi pasti pada rajin." Mila mendecak lalu meletakkan seperangkat tas tupperware dan botol tumbler-nya di meja.
Jane mendongakkan kepala merasa terganggu. "Tumben lo dateng siang, Mil?"
"Biasa. Baru datang udah di cegat sama Claudia. Nanti jam istirahat kedua gue harus nemuin mereka," kata Mila sendu. Mila menerobos kursi belakang Jane untuk bisa masuk ke kursinya.
"Berdoa aja mereka nggak ngapa-ngapain lo, gue pasti naik ke lantai atas kok kalo anak-anak udah rame."
Bibir Mila menggerucut. "Janji ya lo pasti datang. Gue takut disuruh macem-macem."
"Paling masih kaya dulu. Nembak cowok terganteng di kelas duabelas. Eh cowok terganteng di kelas duabelas angkatan sekarang siapa ya?"
Jane meringis karena lengannya dicubit oleh Mila. Claudia cs memang suka mengikutsertakan Mila untuk bermain TOD, ini semua merupakan kesalahan fatal Mila di masa lalu saat dirinya masih polos sekali maklum baru sebulanan masuk sekolah. Saat geng-nya Claudia lagi bermain TOD di kantin tiba-tiba Mila mendekati mereka dan pengen ikutan main. Karena usil Claudia beneran mengajak Mila untuk bermain TOD. Mila jadi sasaran empuk keusilan mereka karena polos banget. Saat kelas sepuluh dulu pemandangan Mila naik ke lantai atas untuk menjalankan dare-nya merupakan hiburan tersendiri. Jane tahu betul itu adalah pembulian, tapi siapa sih yang berani melawan saat diri ini hanya sendirian? Makanya, Jane hanya melakukan hal yang sebisanya.
"Ya cowok terganteng di kelas sebelas dulu dodol!" sahut Mila gemas.
"Evan? Rangga? Duh, yang mana sih? Lo kan udah nembak segambreng banyak cowok tapi nggak ada yang berhasil jadi cowok lo juga." Jane tersenyum kecil menggoda Mila.
"Namanya juga dare. Kalo mereka beneran nerima gue, bisa mati Claudia cs makin ganas," bisik Mila pelan. Dia mengedarkan pandangan takut ada penyusup mata-mata Claudia di sini. Tembok pun punya telinga. Tatapan Mila tertuju pada Bagas yang duduk persis di depannya.
Jane tertawa keras.
Mila meliriknya sebal. Dia mengendikan dagunya ke arah Bagas. "Lo kudu rajin nyatet ya, Jane. Dari sini gue nggak bisa lihat papan tulis dengan jelas. Ini cowok bongsor kenapa duduknya di depan sih?"
Kaki Mila di kolong meja di tendang kecil oleh Jane. Mila mengaduh sakit.
Jane mengamati reaksi cowok yang tadi disindir oleh Mila, ternyata cowok itu tidak bergeming sama sekali, bergerak pun tidak. Posisinya masih sama, masih sedikit membungkuk.
"Katain aja sepuasnya. Dia nggak bakal marah kok," bisik Mila di telinga Jane. "Dia ngeh kalo ada yang ngomong aja udah hebat banget."
Kedua bola mata Jane melebar. "Pantesan. Kalo dilihat-lihat seram yak? Rada aneh nggak sih lo nggak pernah disuruh nembak dia?"
"Gue juga nggak tahu. Mungkin Claudia udah tahu percuma saja nembak dia, bakal dicuekin. Dilirik aja syukur. Kagak seruuuu."
Oke cukup soal cowok anti-sosial yang punggungnya akan menghiasi pandangan mereka satu tahun ke depan. Tiba-tiba saja ada seorang cowok masuk ke kelas menciptakan keheningan khususnya anak-anak cewek yang daritadi ceriwis kaya burung kelaparan.
Dia mengedarkan pandangan menyapu seantero kelas, tatapannya terhenti pada Jane. Dia tersenyum sambil menganggukan kepala. Jane sampai mengernyitkan dahi.
Dengan santai sambil memegang tali tasnya yang cuma digantung di satu tangan, cowok itu mendekati kursi kosong yang berada tepat di depan Jane. "Untungnya, ada kursi cowok yang kosong."
Oh, ternyata tersenyum pada kursi kosong itu.
"Bro, gue duduk di sini yak? Salam kenal," sapanya ramah sambil menepuk pundak Bagas.
Cowok yang bernama Bagas itu menoleh ke arahnya dengan kedua alis terangkat.
Semua anak murid di kelas itu tidak bisa mengabaikan adegan cowok kelewat ramah dan santai itu menepuk bahu Bagas sok akrab. Bisa dipastikan dia adalah anak baru yang tidak mengenal sosok Bagas. Dia masih tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya.
"Lo harus tahan duduk sama gue, oke?" Kali ini si cowok anak baru menepuk bahu Bagas berkali-kali sampai ekspresi Bagas risih banget dan menyingkirkan tangan tersebut dari bahunya.
"Nama gue Yogi Erlangga, pindahan dari Kampung Rambutan. Tau nggak lo? Nggak tau pasti. Orang-orang ngira di sana banyak pohon rambutan. Padahal di sana adanya terminal," cerocos Yogi sambil mengemut permen kojek yang baru dia buka dan menawarkannya pada Bagas. Cowok itu balas menggelengkan kepala lesu lalu memandang lurus ke arah papan tulis.
"Nama lo siapa sih? Kok diem aja? Bisu atau budek, heh?" tanya Yogi mengamati ekspresi Bagas yang enggan akan kehadirannya.
Jane menahan ketawa.
"Bagas."
"Oh, oke ternyata nggak budek apalagi bisu." Yogi terkekeh masih ngemut permen kojeknya.
Mila baru bisa menelan ludah saat Yogi dan Bagas sudah terdiam.
Jane melirik gelagat sohibnya itu. "Lo kenapa, Mil? Tegang banget."
Sebenarnya sejak anak baru itu masuk ke dalam kelas dan duduk di depan Jane cewek itu juga menahan napas, tatapannya fokus sampai cowok itu mengobrol dan menepuk bahu Bagas. Jane yakin manusia di kelasnya saat ini juga melakukan hal yang sama, cowok itu berhasil menarik perhatian anak kelas setelah sok akrab menyapa Bagas.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisdom
Teen FictionSelama belasan tahun, Jane tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarganya. Tentang mengapa dulu kedua orangtuanya berakhir memilih pada kata berpisah. Jane pernah ditinggalkan sendiri dan kesepian. Dia sudah tidak mau lagi mengenal or...