Satu jam kemudian motor Rino sudah terparkir di depan rumah Jane. Bunda segera keluar saat mendengar suara motor berhenti depan rumah dan menawarkan Rino agar mampir sebentar, untuk mencicipi soto ayam buatan bunda yang masih hangat. Rino tidak bisa menolak karena sudah tiga kali ke rumah ini tidak pernah benar-benar masuk, hanya sebentar saja tidak apa-apa dong.
Di meja makan bunda mempersilahkan agar Rino menambah porsi makannya. Jane tidak suka soto ayam memilih menyendokkan potongan lontong lalu membubuhinya dengan bumbu kacang.
Galih duduk di depan Rino sambil memamerkan figur action Ultraman-nya. "Kakak Ino suka main robot?" tanya Galih, tangannya bergerak-gerak mengadu Ultraman dengan Batman.
Jane dan bunda nyengir.
Rino menghentikan aksinya menyendok kuah soto berusaha menelan makanan yang masih tersisa di mulutnya, berusaha agar potongan sayuran itu tidak menyangkut di tenggorokan. Lehernya terasa tercekik. Sakit sekali. Cowok itu tersenyum getir.
"Dulu pas masih kecil suka. Sekarang udah nggak, kan udah gede," jawabnya.
Rino tidak menyangka sederet kalimat sederhana itu membangkitkan kenangannya yang tertinggal di masa lalu. Saat dia masih jadi anak manis dan penurut, yang dia tahu hanyalah bermain.
"Emang kalo udah gede nggak boleh main robot lagi, Kak?" Galih mengerucutkan bibirnya.
"Boleh kok. Cuma udah nggak ada waktu lagi untuk mengurusnya." Senyum cowok itu.
Dia membuang semua koleksi mainannya setelah kejadian itu, semuanya berubah hancur seketika merenggut masa-masa kecil yang harusnya indah.
Saat itu dia mengira hidupnya sangat sempurna dan nyata, begitu dihempaskan oleh sebuah fakta menyakitkan dia tersadar dari tidur panjangnya yang indah.
Sejak masuk SMP, dia semakin hancur dan sulit diatur, lagipula sudah tidak ada yang memikirkan dirinya. Dia mulai mencoba merokok, diam-diam minum alkohol dengan teman sepermainannya. Dia berubah menjadi pribadi yang pendendam. Akhir-akhir ini saja dia kembali lebih bahagia setelah bertemu dengan Jane.
Rino percaya bahwa cewek inilah malaikat kecil yang Tuhan kirimkan untuk membuat dirinya bahagia. Meski bahagia yang sangat sederhana. Asal tidak palsu. Dia tulus jatuh cinta kepada Jane, sejak pandangan pertama.
Jika kebahagiannya dulu sudah ditukar oleh berbagai cobaan berat dalam hidupnya bertahun-tahun ini, mungkin saat ini dia hampir mencapai garis finish-nya. Bersama Jane adalah kebahagiannya yang lain.
"Kamu anak ke berapa, Dik?" tanya bunda pada Rino.
Rino tersenyum melihat wajah lembut itu, wajah khas seorang ibu yang baik dan bijak. Andai, dia memiliki ibu yang menyenangkan seperti itu juga. Rino menyadari senyum lebar yang biasa Jane tunjukkan benar-benar warisan dari ibunya.
"Anak tunggal, Tante."
"Oh. Kasihan nggak ada teman berantemnya. Gini-gini Jane sama Galih suka ribut juga loh, rebutan nilai tugas," goda bunda.
Jane mendengus malu. "Bunda!"
"Nilai Galih direbut sama kak Jen, huhu..."
Rino memperhatikan keluarga kecil di hadapannya penuh rasa iri. Dia merindukan keluarganya yang utuh dan sempurna. Sudah berapa lama dia tidak makan masakan rumahan seperti ini, bukan masakan yang dibuat oleh pekerja rumah tangga.
Mata Rino menerawang memandangi kuah soto yang kecoklatan. Dia rindu sekali dan ingin terlempar lagi ke masa yang dulu.
"Kak Rino?" Suara lembut Jane terdengar masuk dalam telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisdom
Teen FictionSelama belasan tahun, Jane tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarganya. Tentang mengapa dulu kedua orangtuanya berakhir memilih pada kata berpisah. Jane pernah ditinggalkan sendiri dan kesepian. Dia sudah tidak mau lagi mengenal or...