Jane menjerit ketakutan di belakang punggung Dilan. Tangannya mencengkram kuat pegangan besi di belakang jok.
Lagi untuk yang kedua kalinya, dia terjebak dekat arena tawuran. Tadi pulang sekolah Mila dan Jane melalui jalan yang sama, menuju SMA Mercu Buana.
Mereka berhenti berjalan, karena di depan sekolah itu ramai sekali dipenuhi murid Taruna Bakti. Takut jadi korban salah sasaran mereka merapat di tembok dekat warung mainan anak.
Tiba-tiba Dilan muncul menarik tangan Jane agar mau ikut dengannya naik ke boncengan belakang. Tidak semudah itu, Mila tahu bahwa sosok ber-helm itu adalah Dilan.
Dilan turun dari motor dan melepas helmnya, dia menarik tangan Jane. Mila juga menahan agar Jane jangan sampai dikuasai oleh Dilan. Mila dan Dilan saling menarik tangan Jane, cewek-cewek itu menjerit tapi tidak ada yang peduli, karena suasana depan sekolah Mercu Buana sudah sangat mengerikan.
Jane berhasil ditarik oleh Dilan, cowok itu membentak Jane agar menuruti perintahnya. Jika bisa diajak kerjasama dia akan baik-baik saja. Terpaksa Jane naik ke jok belakang meninggalkan Mila. Cewek itu menangis menyaksikan Jane yang dibawa kabur oleh Dilan.
"Pegangan yang kencang, gue mau ngebut nih lewat depan Taruna Bakti." Dilan benar-benar melakukannya.
Dilan nge-gas motor lebih kencang lagi, Jane memekik takut. "Pegangan yang kenceng. Majuan deh biar seimbang, lo dengar nggak sih?"
"Aaaaaaaa!!" Jane berteriak saat Dilan nge-gas motornya, lalu ngerem mendadak agar posisi duduk Jane bisa maju karena tersentak.
Cowok itu menyeringai usil saat merasakan Jane tidak bisa kabur dan sangat dekat padanya. Jane menempel di punggung Dilan, terpaksa harus menuruti ucapan Dilan. Dia juga sudah tidak ada kesempatan untuk memundurkan bokongnya. Takut terjengkang.
**
Suara klakson motor terdengar nyaring dari kanan kiri, Jane memejamkan matanya membiarkan angin menggelitiki wajahnya. Dia tidak berani melihat keadaan sekitarnya saat ini.
Jane mencengkeram kuat jaket Dilan saat motor mereka meliuk-liuk, Dilan berhasil menyalip sebuah mobil yang sudah separuh badan muncul dari cabang jalan. Cengkeraman kuat di pinggangnya dan tangan putih-pucat Jane membuat Dilan memelankan motornya.
"Nanti kita mesti ngebut lagi depan Persada. Lo siap-siap ya?"
"Cukup. Jangan kaya tadi lagi, cukup!" pinta Jane dengan suara lirih.
"Sekali aja. Abis itu nggak lagi, depan sekolah mereka pasti rame. Kalo mereka ada yang lihat gue sama lo bakalan bahaya banget."
Jane tidak menjawab lagi. Dilan manusia paling diincar oleh anak Persada, kalau ada yang melihat Dilan bersama seorang cewek akan sangat membahayakan Jane.
Siapa tahu Jane akan dijadikan bahan sandera. Sekali liat saja orang lain bisa menebak mereka memiliki hubungan yang spesial. Jane sepenting itu untuk Dilan sampai dua kali dirinya diselamatkan olehnya dari kejebak tawuran.
Dug...
Kening Jane menubruk punggung keras Dilan. Motor mereka ngebut lagi, usai melewati SMA Persada keluar dari Jalan Pattimura motor mereka melaju di jalanan besar menyalip di sela mobil dan truk. Jane mengambil masker sekali pakai dari bagian samping tasnya.
"Daritadi kek pake master. Gimana sih????" Suara Dilan meninggi. Dia pasti kesal banget melihat Jane baru memakai masker hijau mudanya.
"Baru inget."
**
Jane menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Dilan. Disodorkannya segelas moccachino dan sepiring kentang goreng ke hadapan Jane. Dilan mengamati sosok gadis berseragam SMA di hadapannya.
Dia tumbuh dengan baik, tidak hanya cantik, tubuhnya juga berkembang dengan sempurna.
Dilan menelan ludahnya lalu mengacak rambut gusar. "Jangan takut. Ini nggak seperti yang kamu kira, aku-" Dilan tidak mampu meneruskan ucapannya. Dia menyentuh tangan Jane, sontak cewek itu menarik tangannya.
"Gue nggak nanya!" Cewek itu melempar pandangannya ke luar jendela. Mengamati genteng rumah warga sekitar yang sudah lumutan.
"Kamu apa kabarnya?"
"Baik," jawab cewek itu singkat.
Tadi Dilan membawa Jane ke sebuah ruko rumah makan Padang, tidak diajak untuk makan nasi padang kok, melainkan dibawa ke lantai atas ruko tersebut. Jadi di sinilah mereka berada.
Ruangan lapang 6x6 meter cuma berisi sebuah meja makan dengan 2 kursi di dekat jendela, sebuah TV 21 inch model jadul, di lantainya ada sebuah karpet. Ada sebuah kamar juga di sana.
Tatapan Jane jelas jadi bertanya-tanya kenapa cowok ini sekarang berada di tempat yang seperti ini.
"Syukurlah. Kamu udah gede ya." Tangan Dilan menyentuh puncak kepala Jane.
Cewek itu tersentak.
"Gue nggak mau liat lo lagi ada di sekitar gue. Demi kebaikan lo juga, kan? Biar gue juga bisa hidup tentram lagi," ucap Jane suaranya bergetar. Dia menggigit bibirnya lalu menitikkan air mata.
"Enak aja. Lo pikir bisa nyuruh gue pergi setelah sekian lama, ck..." Dilan menggeram, tatapannya berubah buas.
Jane mulai berani mengangkat wajahnya ke arah Dilan. "Lo kan musuhnya pentolan sekolah gue, Kak Rino. Lo bawa gue ke sini akan berbuntut panjang!" Dada Jane naik turun menahan emosi.
"Kak Rino?" Dilan menyeringai dengan mata memicing tajam. Dia memajukan tubuhnya tepat depan Jane. "Bagus banget! Orang yang harusnya lo panggil 'KAK' itu gue. Bukan dia! Lo malah seenaknya aja manggil gue dengan 'Lo Lo Lo'!!!"
Rasanya sakit sekali saat tahu bahwa hubungan Jane dan Rino memang beda. Jane memanggilnya dengan 'Kak'. Panggilan yang seharusnya untuk Dilan di berikan pada Rino. Lebih menyakitkannya lagi Jane menyebut Dilan dengan 'Lo'. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
"Gue bilang cukup sampai di sini. Gue nggak mau terlibat lebih jauh lagi. Lo sih kuat bahkan udah biasa melawan arah. Jagoan. Tapi gue? Gue lebih pilih cari aman. Permisi!"
Jane berderap menuju pintu mau turun ke bawah. Dilan menangkap Jane.
"Gue cuma mau berhubungan sama lo lagi, Jane. Itu salah?"
"Tapi gue nggak mau. Lagian sekarang musuh lo nggak cuma Rino, anak Persada, sekarang ditambah gue dan segenap anak Taruna Bakti. Karena gue benci sama lo. Terpaksa gue bilang. Biar lo sadar diri, kayaknya daritadi lo nggak nangkep sinyal keengganan dari gue."
"Jane! Lo kenapa sih? Apa salah gue? Jane!" Dilan mengejar Jane menuruni tangga.
**
Tangan Jane menutup wajahnya agar dia tidak menangis di sini.
Dia tidak boleh menunjukkan kelemahannya di depan Dilan. Sama seperti dulu, cowok itu pasti tidak suka melihat Jane yang lemah dan menangis.
Salah lo udah pergi setelah berjanji lo akan selalu ada di sisi gue.
Dijatuhkan saat diterbangkan tinggi-tinggi itu sangat menyakitkan. Dilan tidak tahu bahwa janji itu menjadi akar kemarahan Jane.
Pikirannya saat ini buntu. Tapi emosi di dadanya terus berkecambuk. Karena yang sakit itu berada di sekitar dadanya, tepatnya di hati. Jane juga sesak karena tidak bisa menangis padahal saat ini dia ingin sekali menangis, mengadu dan mengeluarkan semua makiannya untuk orang itu.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisdom
Teen FictionSelama belasan tahun, Jane tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarganya. Tentang mengapa dulu kedua orangtuanya berakhir memilih pada kata berpisah. Jane pernah ditinggalkan sendiri dan kesepian. Dia sudah tidak mau lagi mengenal or...