"Kamu punya kutukan apa sih sampe kejebak tawuran lagi. Kenapa diem aja di sini, bukannya lari? Balik ke sekolah, Jane! Buruan! Mereka sedang menuju ke sini lagiiiii!" Bagas mengatur napasnya tersenggal-senggal, dia menoleh ke belakang mengamati jalan tersebut, "Udah feeling aku harus balik, ternyata kamu masih di sini. Buruan lari!"
"Aaaah!" Tiba-tiba Jane memegangi perutnya karena sakit luar biasa, keram perut biasa dialami di hari pertama datang bulan. "Gue mana bisa lari. Sakit banget, aduhhh, uhh uhh, ahh." Jane seketika merasakan tubuhnya berlimpah keringet dingin. Mulutnya menjadi kering dan pahit. Sekujur tubuhnya menjadi membeku sulit digerakkan. Khususnya perutnya yang seperti diikat kencang oleh tenaga buldoser.
Bagas memarkir sepedanya sembarangan berlari memutar segera menangkap tubuh Jane agar tidak ambruk.
Di saat genting seperti ini cewek itu malah sakit lagi. Tangan Bagas menahan tubuh Jane dengan satu tangan. Jane merintih kesakitan, sekujur tubuhnya sudah pucat pasi. Kepanikan jelas terlihat di wajah Bagas, tidak tahu harus gimana. Cowok itu tidak bisa mambawa Jane ke mana-mana lagi. Untuk berdiri saja cewek itu tidak memiliki tenaga.
Saat dilihatnya sebuah taksi melintas keluar dari sebuah cabang gang ingin menuju ke arah Taruna Bakti, tangan Bagas menyetop taksi tersebut. Tangan Jane menyentuh tangan Bagas menahan dirinya.
"Jangan! Mahal naik taksi, gue nggak ada uang lagi," bisik Jane malu. Dari jalan ini ke rumahnya apalagi melalui Persada tentu sangat jauh, bisa mahal jika dihitung dengan argo.
"Ck! Kamu mau di sini terus sementara gerombolan tawuran bakalan lewat sini? Aku sih ogah. Aku tinggal yak?" ucap Bagas rada sadis tetapi cuma ancaman belaka karena tidak meninggalkan Jane, malah membantu cewek itu bergegas berjalan menuju kursi belakang taksi yang berhenti di depan mereka.
Jane menatap ragu taksi tersebut, tangan Bagas membuka pintunya dan mendorong tubuh cewek itu untuk masuk ke dalamnya. "Masuk," Bagas melindungi puncak kepala Jane dengan tangannya agar tidak terbentur.
Jane menuruti ucapan Bagas tanpa membantah masuk ke dalam taksi. Bagas menutup pintu belakang taksi, Jane membuka kaca jendelanya panik. "Loh, loh, lo gimana, Gas? Lo nggak ikut?"
"Sepeda aku gimana?" Bagas menjawab santai.
Jane mendecih sebal ditinggal sendirian.
Bagas mengetuk kaca supir kemudi agar kacanya dibuka, pak supir berkumis itu tersenyum lebar saat Bagas menyodorkan uang dua lembar lima puluh ribu yang diambil dari dompetnya. "Pak, anter mbak ini sampe rumahnya dengan selamat ya! Dia lagi sakit nih."
"Wah, bayar di muka, Mas? Baik, baik, Mas."
"Ngebut ya, Pak, tapi hati-hati juga, ada tawuran di dekat Mercu, jadi lewat Persada aja."
What? Cowok ini banyak banget duitnya, bukannya Jane tidak sopan mengintip isi dompet Bagas, salah sendiri membuka dompetnya tepat di depan Jane. Isinya cuma dua warna, biru dan merah. Sakit perut yang Jane alami sedikit mereda, berganti dengan rasa geli yang menggelitik perutnya.
"Hati-hati!" Bagas melambai sesaat sebelum taksi berjalan.
Lewat jendela yang masih terbuka, Jane melongokan kepalanya ke arah belakang untuk melihat Bagas. Cowok itu sudah siap dengan sepedanya, dan mengayuh sepeda itu masuk ke dalam gang tempat di mana taksi tadi keluar.
"Pak, gang yang tadi bapak keluar itu tembusan jalan?" tanya Jane khawatir.
"Iya, Neng. Tembusannya depan rumah sakit Giorgia. Cuma bisa dilewatin kendaraan roda dua."
"Loh kok, ini taksi keluar dari gang itu?"
"Rumah saya kan di dalem gang. Baru keluar pisan udah distop Mas tadi, rejeki nggak bakal ke mana, Neng."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisdom
Teen FictionSelama belasan tahun, Jane tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarganya. Tentang mengapa dulu kedua orangtuanya berakhir memilih pada kata berpisah. Jane pernah ditinggalkan sendiri dan kesepian. Dia sudah tidak mau lagi mengenal or...