Besoknya, ayah datang ke rumah kita memakai jas lengkap, "Kapan ayah beli baju kayak gini?" tanyaku, "Ah, gak usah jawab deh, pasti itu salah satu hal yang ayah rahasiain dari aku."
Ayah hanya melihatku dengan muka bersalah, "Leyna, aku..." tapi aku memotongnya pendek, "Gak, gak apa-apa kok, ayah. Aku bikin sarapan, ayah mau?" kataku. Ayah mengangguk dan duduk di meja. Lalu, Boyd turun.
"Ah! Bapak Terry, saya akan ada di bawah pengawasanmu sekarang," katanya sambil berlari ke samping ayah dan menyodorkan tangannya untuk berjabat. Tapi, ayah hanya melihatnya dan gak ngomong.
"Boyd, kamu kayak biasa aja kalo sama aku, entar akunya ngerasa gak enak. Lagiankan, sekarang Leyna dan Mitsu dilindungin kamu, kan?" katanya dengan senyum kecil. Boyd langsung minta maaf, dan duduk di seberangnya.
Lalu aku menyajikan sarapan dan kita mulai makan. Di pertengahannya, Mitsu menangis. "Ah, dia bangun. Padahal tadi udah bangun. Tunggu, y.." kataku sebelum ayah berdiri, "Aku aja," katanya sambil melompat ke arah Mitsu.
"Kayaknya ayahmu seneng ketemuan sama Mitsu," kata Boyd sambil ketawa, "Ya, terkahir dia ngeliat itu beberapa bulan yang lalu, sih," kataku, duduk lagi. Aku mendengar suara tangisan Mitsu pelan-pelan menghilang.
Ayah turun dan tersenyum ke arahku, "Leyna, maaf ya, ayah gak pernah bilang ke kamu tentang kerjanya ayah," katanya. Aku kaget karena dia tiba-tiba bilang kayak gitu, "Kenapa?" tanyaku.
Tapi, dia keliatan bingung, "Kenapa ayah gak pernah ngasih tau?" jelasku. "Ya, pertama, kamu gak pernah nanya," jawabnya. Mukaku jadi agak merah, "So... soalnya aku mau biarin ayah kasih tau sendiri!"
"Kedua, karena ayah kerja kayak gini, banyak bahaya juga muncul. Ayah sering jadi target orang-orang yang gak senang karena entah ayah sukses atau membuat perusahaan lain sukses. Itu juga alasan kenapa rumah kita di tempat yang agak susah."
Lalu, ayah melanjutkan, "Ayah selalu takut kamu dan ibumu kenapa-napa," aku hanya diam saja. "Berarti, ibu meninggal itu bukan kecelakaan?" tanyaku dengan muka serius. Ayah menggeleng.
Aku gak tau mau ngapain. Ternyata, ibu... dibunuh? Aku lalu membenamkan mukaku ke meja, pas ayah ngomong lagi, "Le..Leyna! Sebenarnya, ibumu itu," "Oke, itu udah cukup," tiba-tiba, nenek muncul.
"Nenek?! Kok kesini?! Daritadi sembunyi dimana?!!" tanyaku bingung, "Itu rahasia. Terry, kamu taukan kalo itu bahaya kalo kamu omongin sekarang?" kata nenek dengan muka agak geram.
Ayah mukanya bersalah lagi dan diam. Boyd lalu menepuk tangannya sekali, "Ah! Pak, kayaknya ini udah waktunya kita ke perusahaan deh!" katanya dengan muka ceria, berusaha memecah keheningan.
Tapi, ayah sama sekali gak menjawab. Dia cuman tersenyum kecil dan mengangguk. Lalu, dia mengambil jasnya dan melambai pergi. Secara gak sadar, ada air mata yang menetes di pipiku.
"Nenek, tadi ayah pingin ngomong apa?" kataku menyapu air mata, "Gak usah kamu pikirin, sayang. Tolong, percaya. Ini buat ngelindungin kamu," jawabnya sambil mengelus kepalaku.
Ah, alasan itu lagi. Melindungiku. Itulah yang membuat Boyd beberapa bulan ini sengsara. "Aku gak mau dilindungin, nek. Aku mau tau kebenarannya," kataku melihat ke nenek. Dia hanya tersenyum.
"Nenek mengerti, tapi ayahmu gak mau kamu terluka. Nenek juga, ibumu juga pasti sama," katanya pelan. Aku gak bisa menjawab. Apa aku se gak berdaya itu? Sampai semuanya mau ngelidungin aku aja.
Kadang, aku kesal karena aku itu lemah. Aku mau jadi kuat, biar aku bisa jalan disamping Boyd dengan tegak, dan dia akan melihatku sebagai seseorang yang bisa menggotongnya kalau dia jatuh, bukan hanya berlindung di belakangnya.
-Boyd's POV-
Untuk melerai pertengkaran keluarga, aku langsung mengambil ayahnya dan mengajaknya ke kantorku. Selama perjalanan, hanya ada keheningan.
"Aku itu, menyedihkan, ya," tiba-tiba Terry bicara. "Kenapa bapak mikir kayak gitu?" tanyaku ke dia, "Aku bahkan gak bisa ngelindungin keluarga yang aku sayang. Lihatlah, Leyna sekarang bertopangnya ke kamu, padahal dia gak pernah bertopang ke aku."
Mukanya itu sangatlah sedih. Aku hanya diam saja. "Aku gak pernah bisa ngebuatin Leyna ketawa. Yang ada, dia bakalan marahin aku dan suruh aku serius sedikit. Dia selalu punya kerutan di antara alisnya kalau sama aku," lanjutnya.
"Pak, mungkin bapak dan Leyna gak sadar, tapi sebenarnya kalian itu bertopang ke satu sama lain. Aku muncul hanya sebagai pembantu aja," kataku. Terry melihat ke arahku dengan mata melotot.
"Pembantu? Pembantu menopang? Apa maksudmu?" tanya dia, "Iya Pak, pembantu penopang aja. Selama ini, kalian hidup bersama, dan aku muncul untuk mencuri Leyna. Kalau apa-apa, aku seharusnya minta maaf ke bapak."
"Dulu, Leyna melihatku juga selalu punya kerutan di antara alisnya. Tapi, berangsur-angsur menghilang, berganti jadi senyuman manis. Aku yakin, sebenarnya dia juga kayak gitu ke bapak, tapi bapak gak sadar aja, karena udah bertahun-tahun bersama, gerakan-gerakan kecil jadi menghilang, dan bapak hanya lihat apa yang gak mau bapak lihat."
Gak disadarin, ternyata udah sampai kantor. Aku mempersilahkan Terry keluar dan kitapun masuk ke kantorku. "Ah, maaf ya kalau berantakan, akhir-akhir ini situasinya gawat," kataku memperingatkan. Terry hanya mengangguk saja.
Masuk-masuk, aku hampir saja ditabrak sama pegawaiku, karena dia berlari sambil membawa tumpukan kertas dan menelpon. Rata-rata, itulah aktivitas pegawaiku sekarang.
Lebih sibuk lagi karena beberapa takut perusahaan ini bangkrut, jadi mereka berhenti dan mencari kerja lain. "Silahkan, Pak," kataku sambil menunjukkannya kantorku.
"Oh iya Boyd," Aku lalu melihat ke Terry dan mukanya serius, "Aku sebenarnya harus minta maaf dulu ke kamu. Karena agar rencanaku berhasil, yang paling sengsara selalu CEOnya. Maaf, ya," katanya.
"Gak apa-apa, Pak," kataku dengan mantap. "Aku suka matamu. Ayo, panggil manajer-manajer kamu sekarang!" katanya. Aku mengangguk dan segera memanggil mereka ke kantorku.
"Pak, Ibu, ini adalah mertuaku. Dia kesini ingin membantu kita agar keluar dari zona merah kita saat ini," kataku memperkenalkannya. Tapi, salah satu dari mereka bertanya, "Maaf, Pak. Tapi, apa gunanya seorang mertua sekarang?"
"Memang gak akan berguna kalau itu mertua biasa, tapi mertuaku ini namanya Terry Toki. Aku yakin, kalian pernah mendengar minimal sekali," kataku dengan senyuman nakal. "Terry Toki?! Ah, maafkan saya!!" katanya.
Sejak itu, manajerku semuanya bekerja di bawah Terry. Dan benar kata dia, akulah yang paling sengsara. Saat semuanya udah pulang, aku harus berada di perusahaan, mengerjakan dokumen sampai jam 3.
Sering sekali aku gak pulang. Kadang aku sempat menelpon Leyna hanya untuk sebentar. Terry selalu berada di sebelahku, melihat pekerjaanku. Gak pernah aku tau, kalau mertuaku seketat ini.
Setelah sengsara selama sebulan, benar lagi, Terry berhasil mengeluarkan perusahaanku dari zona merah. Banyak dari mereka menangis berterima kasih ke Terry.
"Berterima kasihlah ke bos kalian. Dia gak pernah putus asa membantu kalian, padahal tugasnya juga banyak," kata Terry sambil melihatku, "Tapi, tanpa ada bapak, masalah ini gak akan selesai secepat ini," kataku.
"Udah, udah. Berkat kalian berdua! Gak usah berantem, deh!" kata Roy sambil tersenyum. Malam itu, pegawai-pegawaiku yang tadinya keluar minta balik lagi. Tentu, mereka masih harus tes lagi. Dan yang lain berpesta ria.
Tapi, aku dan Terry balik ke rumah, melihat Leyna dan Mitsu ketiduran menunggu kita. "Aku aja Pak yang gendong Leyna. Bisa tolongin angkat Mitsu ke kasurnya gak?" kataku pelan. Terry mengangguk.
Setelah menaruh mereka di kasurnya masing-masing, aku dan Terry membuka botol champagne dan merayakan kecil-kecilan. Akhirnya, masalah terselesaikan.
"Anu, maaf buat nanya pak, tapi sebenarnya, apa sih yang mau bapak bilang sebulan yang lalu sebelum di potong sama nenek?" tanyaku penasaran. Terry lalu menaruh gelasnya pelan-pelan, "Baiklah. Tapi, jangan kasih tau Leyna, ya. Aku mau kasih tau sendiri."
Aku mengangguk, "Kamu taukan, kalo ibunya Leyna itu udah meninggal?" "Iya, Pak," "Sebenarnya... ibunya masih hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
My CEO Husband [COMPLETED]
Любовные романыKehidupan biasa + Penemuan luar biasa = ??? Baca apa yang terjadi berikutnyaa :v Cliché? Biarin!