Keesokan harinya, Boyd masih agak sedih, tapi minimal suara dia udah gak serak lagi dan dia sudah mulai tersenyum lagi. Saat dia udah tenang, tiba-tiba... ting-tong! Ugh, aku punya perasaan buruk tentang ini.
Lalu aku membuka pintunya dan memang benar, disitulah Bianca. Tapi, beda dari kemarin yang mukanya kesal saat kubuka pintunya, sekarang dia tersenyum licik, "Eh, ternyata lu. Siap-siap kalah, lu! Benerkan, Boyd tuh gak cocok sama kamu. Gak mau sama kamu. Haha!!" katanya pelan.
Tapi, raut mukaku tetap sama. Datar. "Boyd... ayo, kita pergi," kataku lembut ke Boyd. Lalu Bianca tiba-tiba menyapu tanganku yang memeluk Boyd dan memeluk Boyd sendiri, "Boyd, let's go, honey!" katanya.
Boyd yang daritadi menunduk, tiba-tiba mendongak dan melihat ke arah Bianca dengan lesu. Sementara, Bianca masih bersemangat, "Kenapa? Cheer up! I'm here for you!" Tapi Boyd gak menjawab. Dia cuman berdiri dan menuju ke pintu.
"Pergi," kata Boyd. Suaranya bener-bener serem, kayak mengancam Bianca, tapi Biancanya, "Aha...ha..hahahaha!! HAHA! EH, DISURUH PERGI TUH, BITCH!" katanya senang sambil ketawa-ketiwi. Mukaku agak khawatir dan melihat ke Boyd.
"Maksud aku, kamu, Bianca. Pergi. Sekarang," muka Boyd makin serem. Kayak dia bisa mukul Bianca kapan saja, "E..eh? Kamu bercandakan?" tanya Bianca yang berhenti ketawa, "Ka...kamu... udah membunuh anak pertamaku. Kamu gak layak berada di sini. Pergi," kata Boyd.
Aku hanya bisa diam, sebagian karena ketegangan di udara sekarang, sebagian yang lain karena aku percaya, kalau ini tuh masalah antar mereka dan aku gak boleh mengganggu. Bianca sekarang mukanya bener-bener ketakutan dan muka Boyd makin marah karena Bianca gak pergi-pergi.
"T..TUNGGU!!" kataku, memecahkan keheningan. Aku ternyata gak bisa gak ganggu, karena... "Le..lebih baik kita duduk dulu, dan membicarakan hal ini, okay, Boyd? Bianca?" Boydpun menghela nafas panjang dan mukanya kembali lesu. Matanya berkaca.
Bianca dengan muka ketakutannya hanya bisa mengangguk, karena dia mau keluarpun pintunya ditutup sama Boyd. Kita bertiga lalu duduk di kamar depan dan ketegangan berubah jadi kesedihan pas Boyd mulai netesin airmata.
Tapi, jangan bilang dia itu lemah, terus dia ngomong, "Aku itu daridulu mau punya anak. Mau banget, dan pas aku dengar kamu aborsiin anak pertamaku itu, aku.... sangatlah sedih," kata Boyd dengan suaranya yang bergetar.
Bukannya menghibur atau memberi alasan kenapa dia ngelakuin itu, Bianca malahan kayak dia senang dengan keputusannya itu, "Ya elah nyata cuman tentang itu doang, dikira apaan," katanya sambil tersenyum. Aku hanya bisa menggeleng kepala.
"Gak, gak.... Tau gak sih alasan gue benci sama anak kecil? Dulu tuh gue inget banget, ayah gue dibunuh sama adik gue yang masih umur 7 taun, dan adik gue itu, gak di penjara gara-gara juri sama hakim bilang 'itu adalah sesuatu yang gak disengaja', padahal, aku melihat adik gue itu nusuk ayah gue berkali-kali. Mau tau motifnya? Dia gak dibeliin mainan yang dia mau."
Aku dan Boyd terkejut. Air mata Boyd gak netes lagi. Kita gak tau Bianca punya masa lalu kayak gitu. Tapi lalu dia ketawa, "Aha....AHAHAHAH!! Jangan bilang, ehehe.... Kalian percaya sama itu, haha...." katanya senang.
Muka Boydpun geram lagi dan tangannya juga sudah bergetar hebat (buat jaga-jaga, aku jauhin semua benda tajem dari dia sekarang). "Pergi," kata Boyd tegas, "Oke deh, pak. Eh, jadinya, kalian pada ga mau jalan-jalan?" tanya Bianca lagi.
Aku mengisyaratkan Bianca untuk pergi, dia agak "Tch" sedikit dan pergi. Lalu aku menghampiri Boyd dan memegang tangannya yang gemetaran, "Boyd..." aku gak tau mau ngomong apalagi. Aku cuman bisa duduk disini, berharap dia gak marah lagi. Kadang, aku kesel gara-gara aku gak bisa ngapa-ngapain buat Boyd.
Lalu, tangan Boyd berhenti bergetar dan meliaht ke arahku, "Aku gak tahu, Bianca ternyata... kayak gitu," kata Boyd. "There's more then meets the eyes, aku yakin peribahasanya kayak gitu,kan?" kataku sambil merangkul Boyd.
Boyd lalu tersenyum, "Leyna... maaf ya, honeymoon kita jadi kayak gini... kita... pulang aja yuk? Lain kali aku bakal ajak kamu ke tempat lain, ya?" kata Boyd, "Gak apa-apa kok. Kita gak usah kemana-mana lagi. Kita di rumah aja, mendingan," balasku.
Segera setelah bilang itu, kita berdua pesen tiket pulang, ke bandara dan langsung naik pesawat pertama balik ke Indonesia. Di pesawat itu, kita berdua gak ngomong banyak. Sebagian besar karena memang gak ada yang dibicarain.
Pas nyampe di rumah, kita langsung duduk di ruang tamu, "Mau makan apa, Boyd?" tanyaku, "Eh... udah waktunya makan siang, ya? Ya udah, kita pesen take-out aja yuk..." kata Boyd lesu. Aku hanya mengangguk dan kita pesen pizza (yummy....).
Sambil nunggu, aku mulai membereskan koper Boyd, pas aku ngeliat note yang tulisannya, 'lain kali kalo mau langsung bilang, gak usah sembunyi-sembunyi. xoxo. Bianca' dan aku hanya duduk melihatnya. Tiba-tiba, Boyd naik ke atas.
"Sayang? Pizzanya udah dat... itu apa?" tanya Boyd melihatku menatapi note kecil, "Note dari Bianca. Kayaknya dia selipin pas kita berdua gak ngeliat, deh," kataku. Boyd langsung mengambil notenya, gak dibaca, dan langsung disobek.
Tapi, mukanya gak berubah. Dia lalu melihat ke arahku sambil tersenyum, "Makan, yuk," dan aku menghela nafas, "Huuh... baiklah," kataku sambil menggandeng tangan Boyd dan berjalan ke bawah untuk mendapatkan pizza (yang FYI, makanan favoritku).
Aku mau, kita melupakan segala tentang Bianca.
-Bianca'a POV-
Setelah Boyd memasang muka geram dan menyuruhku pergi, aku keluar dari hotel mereka itu sambil berbisik, "fudging haters." tau gak sih kenapa kau benci anak-anak? Dulu pacarku punya anak , dan dia itu menyebalkannya bukan main.
Kenapa menyebalkan? Dia ngambil semua perhatian pacarku dari aku. Ya iyalah aku kesel. Bleh, anak-anak. Dasar gak bisa ngapa-ngapain. Minta dikasih makan, rengek-rengek, apa sih bagusnya punya anak?
Tapi, setelah keluar dari hotel itu, aku tetap di situ dan menguping sebentar perkataan mereka. Buh, mereka pingin langsung aja balik ke Indonesia. Hah! Jangan salah, aku bentar lagi bakalan dikirim ke Indonesia buat kerja selama 5 tahun. Rasain, noh!!
Lalu, akupun pulang ke rumahku dan melempar kunci mobilku entah kemana. Aku lalu ke kulkas dan mengambil birku, dan minum sepuasnya.
"HAHAHA!! APAAN TUH LEYNA!! GENDUT, JELEK, MISKIN!! NGAREP LU DICINTAIN BOYD!!" teriakku saat aku mabuk, "Gendut...jelek... miskin...." ulangku. Lalu, akupun gak sadar, dan ada air mata yang menetes.
"Tapi, kenapa...kamu itu kalau kuliat, bener-bener terang? Kebaikanmu...aku gak perlu kenalan sama kamu lama, aku udah tau kamu itu baik...dicintai semua orang..." kataku. Ya, aku sebenarnya sadar apa yang membuat Boyd tertarik dengan Leyna.
Kekayaan? Bukan. Kecantikan? Bukan juga. Tapi, kebaikan dia yang luar biasa. Keteguhannya dalam segala hal. Sesuatu yang gak aku punya. Dan, itu menutupi semua kekurangan yang dia punya, "shit."
Karena mabuk dan capek, akupun langsung pingsan di kasur, sambil menangis, "Boyd bohong... katanya dulu aku satu-satunya cewek buat dia..." dan melihat ke foto Boyd dan aku 5 tahun yang lalu di samping tempat tidurku.
"Padahal, aku udah mencintaimu segenap hatiku. Aku juga gak papa kok punya anak, yang penting sama kamu. Tapi... aku tau cintamu ke aku tuh kayak cinta monyet. Bukan apa-apa."
Saat aku menutup mata, tiba-tiba aku mendengar suara yang keras dari pintu depan. Aku langsung melihat ada apa.
Pas aku liat....
Keesokan harinya: berita di Sweden terbaru:
Wanita muda umur 20-an ditemukan tewas karena ada perampokan di rumahnya. Tersangka sudah ditemukan dan ditangkap, dan sekarang sedang disidang. Nama tersangka: **********.
Nama korban: Bianca Everblue.
KAMU SEDANG MEMBACA
My CEO Husband [COMPLETED]
RomanceKehidupan biasa + Penemuan luar biasa = ??? Baca apa yang terjadi berikutnyaa :v Cliché? Biarin!