Part 20

27.5K 847 5
                                    

Paginya, aku bangun dan menyadari Boyd udah memakai dasi dengan rapi dan membawa tas laptopnya, "Kamu bakalan pergi pagi lagi? Boleh tanya gak, sampai kapan?" tanyaku.

Boyd yang melihatku datang dan duduk di kasur. Akupun ikut duduk dan Boyd mencium dahiku, "Bentar lagi. Ini aku udah penandatanganan kontrak, kok," aku menangguk dan berdiri untuk mengantar Boyd ke pintu depan.

"Selamat berjuang, sayang," kataku sambil membenarkan dasinya sedikit. Boyd tersenyum dan mencium bibirku dengan lembut. Aku melambaikan tangan melihat Boyd masuk ke mobilnya dan berkendara pergi.

"Hufft... sekarang aku ngapain, ya?" tiba-tiba aku merasakan sakit kecil di pipiku. Ah, lukaku dari kemarin masih belum sembuh. Akupun mengambil kapas dan Betadine. Kuteteskan Betadin ke kapasnya dan kuusapkan pelan ke pipiku.

Lalu saat aku udah selesai, aku mendengar ketokan pintu. "Boyd? Kamu kelupaan se.." aku berhenti saat yang kulihat itu Adrian, ternyata. "I...itu kenapa?" tanyanya sambil menunjuk pipinya.

Aku baru ingat kalau aku lupa pake handsaplast warna kulit kayak tadi. "Ah! Aku cuman gak sengaja jatuh terus kegores. Udah aku kasih Betadine, kok. Kamu ngapain kesini?" kataku dengan santai dan mencoba terdengar meyakinkan.

Adrian diam sebentar lalu tersenyum. "Kita belum wawancara, Nyonya Kirt," katanya sambil mengeluarkan notes kecilnya dan pulpen. Aku menghela nafas dan mempersilahkan dia masuk. 

Lagian kalau aku tolak, bisa-bisa dia mencurigaiku. Kita duduk dan dia mulai membuka buku kecilnya dan bersiap menulis. "Well? Apa pertanyaan pertamanya?" kataku saat dia membeku.

"Ah, maaf, maaf. Baik," dan selama beberapa jam, dia terus menanyakanku tentang masa laluku, gimana ketemu Boyd, dan macam-macam. Tentu aku jawab dengan menyaring beberapa hal.

Setelah itu, aku melihat jam. "Ah, udah jam 9. Kamu wawancara aku selama 4 jam. Lama juga, ya, wawancara itu," kataku. "Itu karena narasumbernya sangatlah spesial hari ini. Gak apa-apa dong menghabiskan waktu ekstra," jawab dia senang.

Tiba-tiba, aku mendengar suara perut Adrian. Aku tertawa sedikit. "Mau kubuatkan makanan sebentar?" tanyaku. Dia dengan muka merahnya, mengangguk pelan. Aku langsung ke dapur dan mulai menyiapkan gulai.

Adrian datang dan melihat apa yang kulakukan dari balik bahuku. "Weh, bikin gulai ya, chef?" katanya. "Iya, ini masih makanan favoritmu, kan?" tanyaku sambil tersenyum. Dia langsung mengangguk. 

"Bener juga ya. Kasih tau resepnya, dong! 'Resep Gulai Ala Nyonya Kirt' baguskan?" katanya. "Gak boleh. Ini tuh resep rahasia nenekku, yang udah turun temurun," jawabku. Dia mukanya pura-pura sedih tapi lalu kupukul ringan.

"Iya, iya...maaf deh," katanya sambil ngegaruk-garuk kepalanya. Akhirnya, gulai selesai. Kita mulai makan dan berbincang, catch-up setelah bertahun-tahun gak ketemu.

Pas dia mau pulang, dia berhenti di depan pintu masuk dan berbalik badan ke aku. "Kamu...gak dendam sama aku? Padahal, aku udah ngelakuin banyak hal...buruk ke kamu," katanya dengan muka agak bersalah.

Aku hanya tersenyum. "Itu di masa lalu. memang pas pertama ketemu kemarin, aku masih agak marah. Tapi, aku sadar kalau kita seharusnya menjadi seorang dewasa saja yang memaafkan kesalahan orang lain."

Dia agak tersenyum dan menghela nafas lega, "Itu perkataan yang bagus. Bisa aku buatin jadi quotes dari Nyonya Kirt?" tanyanya sambil mengeluarkan notes lagi. Aku ketawa sedikit dan mengangguk. Lalu diapun pergi.

Beberapa jam kemudian, Boyd pulang. Aku melihat mukanya agak capek tapi tersenyum senang. "Berhasil ya, rapatnya?" tanyaku melihat senyumannya itu. Dia duduk di sebelahku dan memelukku dengan erat, "Berhasil banget."

"Jadi.. kamu bakalan lebih santaikan kerjaannya?" tanyaku dengan muka senang. "Iya, tenang banget. Aku bisa ambil cuti 2 minggu. Mau ke suatu tempat, gak?" dia balas dengan pertanyaan yang membuatku agak kaget.

Tapi tanpa berpikir panjang, akupun mengangguk. Pas aku udah sadar, ternyata aku udah ada di pesawat lagi ke Jepang. Di pesawat, aku melihat Boyd sedang bersantai. "Tumben, biasanya udah buka laptop," kataku.

"Roy lagi ngurusin semua kerjaanku. Ini balasan dari pas awal-awal perusaahan itu dibuat, dia sering banget cuti, bisa berbulan-bulan dan semua kerjaannya ke aku," katanya dengan santai. Aku gak pernah ngeliatin Boyd sesantai itu.

"Di Jepang entar, gak bakalan ada Bianca yang lain, kan?" tanyaku memastikan. Boyd langsung melihatiku dan tersenyum kecil, "Gak ada. Semua rekan bisnisku disana itu cowok. Gak usah khawatir."

"Kalo ada yang...LGBT?" "Hush, dah, tidur aja!" katanya sambil mencubit hidungku. Aku ketawa sedikit dan akhirnya tidur juga. Kadang Boyd membangunkanku karena dia entah ingin ke toilet atau ada makanan.

Selama di pesawat, aku sama sekali gak ngeliatin laptopnya Boyd. Kita entah tidur, makan, ngobrol, atau main kartu dan Boyd selalu kalah (aku hebat main tepuk nyamuk). Awalan dari perjalanan kita ini sangat menyenangkan.

Pas landing, aku menyadari sesuatu. Aku gak bisa bahasa Jepang! Aku agak panik pas orang lokal tiba-tiba ngerubunin aku, tapi untungnya Boyd yang jadi perantara. "Haha, gak apa-apa. Aku aja yang jadi translator kamu."

Mendengar itu, aku langsung tenang. Kitapun check-in di hotel dan karena hari itu sudah siang, kita memutuskan untuk makan di restoran.

...

Sebenarnya, di Jepang itu gak ada kejadian apa-apa. Kita hanya bersantai saja. Boyd sama sekali gak mikirin pekerjaan, bahkan telpon juga gak ada. Aku sih, senang-senang aja. Dalam kedipan mata, 2 minggu sudah habis.

Boyd harus kembali bekerja. Kitapun pulang dan keesokan harinya, rutinitas dia mulai, tapi lebih tenang. Dia berangkat jam 6, bukan jam 4 atau 5. Dia pulang jam 8, bukan jam 10 atau 11.

Dia makan di rumah, bukan di luar. Mukanya jauh lebih segar daripada kemarin. Tentu saja, aku senang. Karena lebih banyak waktu di rumah, artinya lebih banyak... waktu "itu".

Seperti biasa, Boyd sedang di kantor. Aku membaca buku saat tiba-tiba aku merasa mual. Aku akhir-akhir ini sering muntah. Akupun mulai berpikir kalau mungkin..mungkin saja...aku hamil.

Saat mendapat pemikiran ini, aku langsung ke dokter kandungan dan memeriksakannya. "Ibu Kirt, ya? Hmm...Ibu udah berapa lama gak menstruasi?" tanya dokternya saat aku datang pertama kali. "Kira-kira 2 bulan..." jawabku.

"Baiklah, ayo kita menjalankan beberapa tes," katanya. Serangkaian tes dilakukan, dan hasilnya diberikan. "Ibu...selamat, ibu memang hamil. Anak pertama ya bu?" kata perawatnya sambil memberikan aku kertas hasilnya.

Aku senang sekali. Hampir menangis. Aku akhirnya bisa memberikan apa yang Boyd mau. Keluarga yang lengkap. Aku mengangguk pelan ke perawatnya dan dia memberikanku tisu. Aku berterima kasih dan segera pulang.

Di rumah, aku sengan gak sabar menelpon Boyd. Lalu, diangkatlah sama dia. "Boyd? Aku punya berita!" "Oh ya? Apa beritanya?" kata dia dengan nada penasaran. "Aku...aku hamil, Boyd!" lalu ada keheningan sebentar.

"Boyd?" tiba-tiba aku mendengar Boyd menangis dan kekhawatiran pegawai-pegawainya menanyakan, "Bos?" "Kenapa?" dan Roy (aku yakin sambil tersenyum) bilang, "Aku yakin...akhirnya kerja keras dengan istri membuahkan hasil, ya?"

 "Iya..." kata Boyd. Lalu aku mendengar semuanya berteriak dan memberi selamat. Aku ditaruh di speaker jadi bisa lebih jelas. Akupun gak bisa membendung air mata dan ikut menangis bahagia.

Kita akan memiliki anka pertama kita.

My CEO Husband [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang