Kehiatan mereka berdua kemarin benar-benar membekas di benak Ali. Buktinya, ia pagi ini bangun dengan senyum yang merekah. Mengingat ia tidur di kamar tamu rumah Prilly, membuatnya langsung melompat bangun dari posisi awalnya dan duduk bersila di atas kasur.
"Kita nonton AADC, ya! Oke, oke?" seru Prilly dengan semangat. Perempuan itu telah menunggu lama untuk dapat menonton film itu.
"Iya, iya," ucap Ali.
Setelah mendapatkan tiket, mereka segera membeli popcorn dan minuman untuk menemani dua jam mereka di dalam teater bioskop itu.
Sepanjang film diputar, Ali menggenggam tangan Prilly. Selalu begitu jika mereka menonton film berdua.
Dan ketika film telah selesai, mereka selalu membahas filmnya. Terlebih Prilly.
"Aku suka banget pas Cinta dibawa Rangga ke Punthuk Setumbu apalah itu, romantis!"
Ali mengangguk-anggukan kepalanya.
"Tapi aku gak suka pas Cinta sama Karmen berantem gara-gara Cinta gak mau ketemu sama Rangga," Prilly mengubah raut mukanya menjadi sedih.
Lagi-lagi, Ali hanya mengangguk.
"Kok kamu ngangguk-ngangguk doang? Mau ke klub? Mau hacep-hacepan?"
"Ngga, ih. Apaan, sih, lo. Gue lagi males ngomong, tau."
"Itu barusan kamu ngomong," ucap Prilly dengan polosnya.
"Untung lo pacar gue, kalo engga udah gue tinggal kali."
"Kalau beneran seperti itu, kamu... jahat," Prilly meniru salah satu dialog Cinta, lalu tertawa terpingkal-pingkal menyadari betapa terobsesinya dia.
"Ayo, nanti nyampe rumahnya kemaleman."
"Lah, kan kita langsung pulang?"
Ali menatap Prilly jengkel.
"Iya, iya. Aku inget, kok. Kamu serem kalo udah liatin aku kayak gitu."
"Makanya lo jangan rese. Gue telen baru tau rasa."
"Kalo kamu telen aku, kamu jomblo dong! Hahaha!"
Ali memutar kedua bola matanya, lalu menggandeng tangan Prilly dan berjalan beriringan.
Ali tersenyum mengingatnya. Ia memejamkan matanya, lalu merebahkan dirinya di kasur.
"Ini tempat kesayangan gue," kata Ali, menghadap Prilly yang sedang menatap sekeliling. Mereka masih di dalam mobil Ali.
"Ini kan... tempat rumah lama kamu sebelum dijadiin taman? Iya, bukan, sih?"
"Ini rumah gue, dan selalu jadi rumah gue, walaupun udah dirobohin dan dijadiin taman sekalipun."
Prilly mengangguk mengerti. Ia mengerti perasaan Ali. Kehilangan rumahnya yang menjadi tempat tinggalnya selama 15 tahun.
"Dua tahun yang lalu, Prill. Dua tahun berlalu. Cepet banget, ya. Bahkan gue masih gak rela," kata Ali.
"Ssh. Udah, Li. Jangan diinget-inget lagi. Kamu sama mama kamu kan udah dapet tempat tinggal yang layak sekarang."
"Tapi, bokap gue? Lo tau kan, kenapa rumah ini penting banget buat keluarga gue?"
Prilly mengangguk, "papa kamu yang bangun sebelum papa-mama kamu nikah, dan-"
"Gue gak mau denger kelanjutannya."
Prilly menghela nafas, "aku ngerti, Li. Tapi, ayo, dong! Kita turun! Kita main ke rumah kamu! Aku gak mau liat Ali yang aku liat dua tahun yang lalu, aku mau liat Ali yang sekarang! Ali yang ceria, Ali yang ngehibur aku, Ali yang sayang sama aku, Ali yang bawel, Ali yang bikin aku bete. Kemana Ali yang itu? Aku kangen."
Ingin rasanya Prilly menangis saat itu, sangat ingin. Namun ia menghargai perasaan Ali. Ia tidak mau melihat kekasihnya itu tambah terpuruk melihat ia menangis.
Ali melepas seat-belt yang ia kenakan, lalu keluar dari mobil, memutar, dan membukakan pintu untuk Prilly.
"Selamat datang di rumah gue," ucap Ali, persis seperti tiga tahun yang lalu, saat pertama kali Ali membawa Prilly ke sini.
Prilly tertawa kecil, lalu turun dari mobil. Menyusuri jalan untuk menuju taman itu. Taman yang menggantikan posisi rumah Ali.
Taman belum terlalu ramai, hanya ada beberapa orangtua dan anak kecil yang bermain pasir. Ali dan Prilly pun memutuskan untuk bermain ayunan.
Prilly duduk di salah satu ayunan, dengan Ali yang mendorongnya pelan. Tiba-tiba, saat ayunan sudah tidak bergoyang terlalu cepat, Ali memeluk Prilly dari belakang.
"Makasih, buat semuanya. Gue sayaaaaang banget sama lo," bisik Ali. Ia memeluk Prilly erat, dagu Ali berada di puncak kepala Prilly.
"Aku juga sayang sama kamu," ucap Prilly pelan, nyaris tidak didengar Ali.
Ali tersenyum, melepas kedua tangan yang melingkari Prilly, lalu kembali mendorong ayunan itu.
Ali tersenyum, ia pun kembali bangun dari kasur dan mengambil handuk serta pakaiannya, lalu pergi ke kamar mandi.
Setelah siap, ia memastikan penampilannya sekali lagi di cermin. Rambut? Oke. Baju? Siapa yang gak tertarik sama cowok pake kaos hitam polos? Celana? Oke, lah, pasti. Tapi sayang, Ali memakai sandal jepit.
"Untung gue ganteng, mau pake sendal juga tetep ganteng," ucap Ali saat ia sadar ini di rumah Prilly dan ia harus menggunakan sandal.
"Oke, saatnya ke kamar Prilly!"
KAMU SEDANG MEMBACA
B S R
Hayran KurguSatu sekolah, pacaran, lulus, beda sekolah. Gimana, tuh? Untungnya, mereka saling percaya. Tapi kalau begitu, konfliknya apa?