Hari beranjak malam. Waktu berlalu begitu cepat saat kau berharap waktu berhenti.
Begitu pula dengan cinta, berakhir dengan cepat saat kau berharap akan berlangsung selamanya.
Ali duduk termenung di dalam mobilnya. Ia memarkirkan mobilnya di salah satu taman, merenungkan semuanya. Menjauh dari keramaian. Membiarkan sepi menyelimutinya.
Ia mengecek ponselnya karena dirasa bergetar.
Big Boss : Li pulang cepet.... mm mau ngmg...
Lucu. Saat Ali pergi dari Prilly dengan alasan ingin bertemu Mama-nya, Mama-nya justru menginginkannya pergi ke sana, ke rumah-nya.
Ali menghela nafas, lalu pergi ke rumahnya.
Tak butuh waktu lama, Ali telah tiba. Ia keluar dari mobil yang telah ter-parkir sempurna di garasi.
Rumah minimalis berwarna putih dengan dua lantai itu masih tampak sama seperti terakhir kali Ali berada di sana beberapa bulan yang lalu.
Mereka tinggal ber-tiga, bersama Alya, kakak perempuan Ali dan Ibu-nya, Resi. Tapi kemudian Ali memutuskan untuk pindah ke apartemen yang sempat dibeli Ayah mereka saat Ali tepat menginjak 16 tahun.
"Assalamu'alaikum," ucap Ali pelan sambil membuka pintu.
Pandangan pertama yang ditangkap kedua mata Ali adalah koper-koper yang sanhat banyak. Ali mengernyit bingung lalu pergi ke ruang tamu, salah satu tempat di rumah yang paling Ali sukai.
Meskipun kecil karena berbagi tempat dengan ruang makan dan dapur di lantai satu, Ali tetap suka. Karena itu tempat dimana ia dan keluarga kecil dan kucingnya (yang sudah meninggal) berkumpul.
"Ali? Kapan dateng?"
Sebuah suara membuat Ali menoleh. Kakak-nya berdiri di sana, dengan sebuah koper di tangan kanannya.
"Baru aja," kata Ali. "Itu koper-koper buat apa?"
"Oh, big boss belom ngasih tau?" tanya Alya, membuat Ali menggeleng.
Omong-omong, mereka berdua memanggil Resi dengan sebutan 'Big Boss'. Entah siapa yang memulai.
"Yaudah, nanti big boss aja yang ngasih tau," kata Alya, meletakkan koper di dekat koper yang lain, lalu duduk di samping Ali. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Ali, lelah.
"I've missed you so much, 'lil bro," bisik Alya. Ali yang bisa mendengarnya langsung tersenyum dan merangkul kakak perempuannya itu.
"Loh, Ali? Abang kapan datengnya, Kak?" kata Resi. Sepertinya ia habis dari dapur.
Resi memanggil Ali dengan sebutan 'Abang', padahal sudah jelas Alya lebih tua dari Ali.
"Apaan sih, Ma. Ali bukan tukang bakso," kata Ali, memutar kedua bola mata-nya.
"Ah, biarin. Mama mau-nya manggil kaya gitu. Ya kan, Kak?" kata Resi, lalu duduk di samping Ali.
"Terserah," kata Ali.
"Ma, bilangin Ali," kata Alya pelan, membuat Ali menoleh dan menaikkan salah satu alis-nya.
"Abang inget kan beasiswa S2 Kakak yang ke Australia? Yang waktu itu kita nemenin Kakak tes?" kata Resi, membuat Ali mengangguk.
"Kakak diterima," kata Resi dengan ekspresi tam tergambarkan. Ia sangat bangga pada anak perempuannya itu.
"Dan kelas-nya mulai dua minggu lagi," lanjut Resi. "Jadi kita mutusin buat pindah sekarang. Abang ikut."
"Ta-"
"Gak ada tapi-tapi, Abang."
"Jadi Ali harus tinggalin Prilly? Ali harus jauh dari Prilly? Ali harus gak ketemu Prilly sampe kuliah Alya selesai? Ali harus LDR-an sama Prilly? Beda sekolah aja Ali gak tahan, apalagi beda benua, Ma."
"Mama sama Kakak udah duga, hambatan pertama Abang pasti Prilly, Prilly, Prilly. Tapi coba deh, pikir. Dulu Kakak pacaran sama Nico, terus pas kuliah putus karena Nico di luar negri. Terus sekarang? Mereka tunangan. Kalo jodoh, pasti bakal balik sendiri, Bang."
"Kalo gak jodoh?" kata Ali, lalu tersenyum miris.
"Siapa yang tau kalian jodoh atau enggak?" Alya angkat bicara.
"Atau, gini deh. Kalo Abang gak betah di sana, Abang boleh balik ke Indonesia. Dengan syarat, bukan demi Prilly. Tapi demi Abang. Inget, kalo Abang gak betah. Dan, Abang gak boleh tinggal di apartemen. Harus di sini. Apartemennya dijual, buat tabungan Abang selama di sini. Gimana?"
Ali tampak berpikir, lalu mengangguk pelan.
"Oke, setuju Bu Boss," kata Ali, lalu tersenyum lebar.
"Sekarang, Abang ke apartemen, jual apartemennya. Abang tinggal belom ada setahun, jadi uang bisa balik. Terus beresin barang-barang Abang. Abang cuma bawa baju kan ke sana? Jadi gampang, lah. Udah sana."
"Oce," kata Ali, lalu berdiri. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu.
"Kita berangkat kapan?" tanya Ali.
"Lusa," jawab Alya yang hendak pergi ke kamarnya.
Ali mengacungkan jempolnya, lalu pergi ke garasi menuju mobilnya. Ia teringat akan Prilly. Ia harus mengabari perempuan itu.
Namun belum juga ia mengetik sesuatu, Prilly telah mengirimnya pesan.
My Everything💖 : Bsk kita ketemuan yaaaa
Ali : oke. cafe biasa yak gue tunggu bsk jam 11
Tiba-tiba, sesuatu melintas di benak Ali.
Mungkin, Tuhan sedang memberi waktu bagi Ali, untuk tidak terus memikirkan tentang perjodohan Prilly.
Mungkin Tuhan sedang menguji cinta mereka.
Atau, mungkin Tuhan tidak merestui mereka berdua.
Ali menggelengkan kepalanya, lalu melajukan mobilnya.
《《》》《《》》
Sumpah aku gatau apa-apa tentang apartemen PLUUUUS ini fiksi jadi aku nulis apa yang nongol di otak aku aja. Hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
B S R
FanfictionSatu sekolah, pacaran, lulus, beda sekolah. Gimana, tuh? Untungnya, mereka saling percaya. Tapi kalau begitu, konfliknya apa?