Ali memperhatikan ruang kelasnya yang telah ia sulap. Balon foil berbentuk hati ia tempel di papan tulis, dan enam tangkai mawar merah dan putih yang digenggam teman-temanmya.
Balon-balon biasa sudah tersebar luas di lantai kelas. Hanya tinggal menunggu Prilly datang bersama Marsha, lalu Ali akan memulai aksinya.
Pintu kelas terbuka. Menampilkan Prilly yang datang dengan mata tertutup bersama Marsha di sebelahnya.
"Kita mau kemana sih, Sha? Kok mata aku ditutup?" tanya Prilly saat itu.
"Lo tenang aja. Lo aman sama gue."
Prilly dituntun untuk duduk di bangku yang disediakan khusus untuk Prilly. Bangku itu menghadap ke belakang, tempat dimana teman-teman Ali dan Prilly memegang balon foil.
"Sha! Kamu dimana? Duh, kok aku ditinggal sendirian, sih? Ini dimana lagi. Kamu gak mau jual aku ke om-om, kan?"
Ali dan yang lainnya mati-matian menahan tawanya. Ali bangkit dari duduknya dan menghampiri Prilly, lalu berjongkok di depannya.
Diraihnya kedua tangan Prilly, lalu digenggam kedua tangan mungil itu. Ali mendongak, menatap Prilly.
"Hai," kata Ali, nyaris seperti bisikan.
"Ali?" kata Prilly. "Li, kamu gak mau perkosa aku, kan? Abis aku ditarik-tarik Marsha, kan aku takut."
Ali terkekeh. "Enggak, lah. Gue cowok baik-baik kali."
"Tapi kan aku ta-"
"Ssh. Gue mau ngomong. Lo diem dulu. Lo ngerti?"
Prilly mengangguk.
Jantung Ali berdebar hebat, lidahnya terasa kaku.
"Ja-jadi... Lo pasti masih inget pertemuan pertama kita. Kita kelas dua, kita sama-sama murid baru dan kita satu bangku. Kita masih culun-culunnya. Bahkan lo masih berponi waktu itu.
"Sekarang juga kita duduk bareng, kemana-mana bareng. Tapi sifat lo sama. Gak bisa ngomong lo-gue, selalu nanya ke gue kenapa gue bisa ngomong lo-gue, dan masih banyak lagi.
"Semester awal kelas tiga, gue ngerasa... ada yang beda. Setiap lo nyubit pipi gue kalo gue lagi nyebelin, setiap lo mainin rambut gue kalo lo lagi bosen, bahkan pas lo nyium pipi gue kalo gue nganterin lo pulang.
"Gue tau kalo tujuan SMA kita beda, tapi apa salahnya hubungan beda sekolah? Toh kita saling percaya.
"Jadi... berjongkoknya gue di depan lo sekarang itu bukan sekedar nyatain perasaan. Tapi gue juga mau nanya, mau gak lo ngabisin waktu di hidup lo bareng gue? As a girlfriend."
Prilly diam. Ingin sekali ia memeluk lelaki di hadapannya itu.
"Kalo lo mau, buka penutup mata lo dan nyari gue dimana. Gue masih di ruangan ini, kok. Kalo lo gak mau, lo bisa keluar ruangan ini setelah buka penutup mata lo."
Ali pergi dan bersembunyi di bawah meja guru, di sebelah kanan Prilly.
Tanpa berpikir panjang, Prilly melepas penutup matanya dan mencari keberadaan Ali. Ia tidak menyadari keberadaan teman-temannya yang lain.
"Ali, ih kamu dimana, sih!? Bodo kalo satu sampe empat kamu gak nongol juga aku nolak," ancam Prilly.
"Satu...."
"Dua...."
"Tiga...."
"Em... pat!"
Prilly langsung keluar kelas. Namun seseorang memeluknya dari belakang.
"Hai, Sayang," bisiknya.
Prilly tersenyum mengingat masa itu. Hari terakhir mereka di sekolah menengah pertama.
Prilly melepas jas sekolahnya dan melemparnya ke sembarang arah. Ia membuka kemeja berlengan tiga perempatnya, lalu menggantinya dengan kaus berwarna putih. Roknya ia biarkan. Begitu juga kaus kakinya.
Ia meraih Mac-nya. Ia tidur tengkurap dan mulai berjelajah di sana. Menulis novel. Ia berencana akan mencoba menyerahkan sebuah cerita non-fiksi tentang kehidupannya.
Ia begitu serius mengetik, sampai panggilan Skype mengutungkan niatnya untuk melanjutkan. Ia tersenyum lebar begitu wajah Ali terpampang di layar Mac-nya.
"Gimana hari pertamanya sebagai anak kelas 12, hm?" kata Ali.
"Biasa aja. Gak ada yang seru. Flat. Kalo kamu?"
"Biasa aja. Tapi tadi gue ditembak cewek."
"Terus kamu apain?"
"Ya gue tolaklah. Nama cewenya aja gue gatau. Ngobrol aja belom pernah. Tiba-tibe nembak gue gitu. Emang gue suka sama dia, apa? Tampang kaya banci lampu merah aja belagu dia," gerutu Ali.
"Makanya punya muka tuh jangan ganteng-ganteng. Direbutin, kan. Tapi punya muka ganteng bukan salah kamu, sih. Salah Papa kamu sama Mama kamu. Kenapa ganteng sama cantik? Kan anaknya jadi ganteng gitu. Kak Alya juga cantik. Dia kan primadona di sekolah kamu."
"Nanti juga kalo kita nikah anaknya ganteng sama cantik."
Perkataan Ali membuat pipi Prilly merona malu. Prilly menahan senyumnya.
"Senyum-senyum aja, kali. Gak usah ditahan," goda Ali.
"Eh, iya. Naskah novel aku bentar lagi udah mau selesai, lho. Doain ya biar diterima. Nanti kalo diterima kan biasanya dapet copy-an novelnya gitu sebelum diterbitin, aku kasih kamu deh. Ya ya ya?" Prilly mengalihkan pembicaraan.
"Apa sih yang iya buat Prilly-nya gue?"
Baru saja Prilly ingin menundukan kepalanya, ia tersadar sesuatu.
"Apa sih yang iya buat Prilly-nya gue? Ih kamu, mah! Dasar nyebelin!"
Prilly membenarkan posisinya menjadi duduk bersila di depan Mac-nya yang berada di tempat tidur.
"Prill," panggil Ali.
"Hm?"
"Celana pendek lo warna item ya?"
Prilly tidak tau seberapa merah wajahnya sekarang, yang jelas ia sangat malu. Ia baru sadar jika ia masih mengenakan rok sekolah dan ia duduk bersila -secara tidak langsung- di depan Ali.
Ali hanya tertawa keras melihat perubahan ekspresi wajah kekasihnya itu.
《《》》《《》》
Cerita baru, alhamdulillah.
Dimohon untuk vote dan comment :)
KAMU SEDANG MEMBACA
B S R
Fiksi PenggemarSatu sekolah, pacaran, lulus, beda sekolah. Gimana, tuh? Untungnya, mereka saling percaya. Tapi kalau begitu, konfliknya apa?