Ali berlari tergesa-gesa di koridor rumah sakit. Tadi, ia sengaja tidak menelfon Prilly dan sebagainya, karena ia akan ke Jakarta untuk mengambil dokumen kakaknya yang tertinggal. Karena kakak dan Ibunya itu sibuk, maka Ali-lah pilihan satu-satunya.
Ali sedang makan di salah satu restoran di bandara ketika ia mendapat pesan WhatsApp dari Ully, Mama Prilly.
Tante Ul🌞 : hoy, jadi ke jakarta gk??
Ali : jadi tan. tunggu ya
Tante Ul🌞 : ya li
Itu pesan yang sebelumnya, saat Ali belum tiba di Jakarta alias masih di bandara Australia. Namun saat ia tiba di Jakarta, sebuah pesan kembali masuk.
Tante Ul🌞 : li, klo dah sampe jakarta lgsg ke alamat yg tante kirim nti ya. pnting.
Tante Ul🌞 : jl panjang arteri 26
Tante Ul🌞 : prilly kclkan
Ali sudah sampai. Lututnya terasa lemas, tubuhnya terasa tak bernyawa. Di atas ranjang, terdapat perempuan yang sangat disayanginya. Perempuan yang menunggu dan ditunggunya, perempuan yang membuat hidupnya sempurna.
"Tante," suara Ali parau ketika memanggil Ibu Prilly. "Ini... bukan Prilly, kan? Bilang sama Ali ini bukan Prilly."
Ali menunduk, tak kuasa ia menahan tangis, suara tangisannya terdengar samar. Ully, Ibu Prilly, menghampiri anak lelaki itu dan memeluknya erat.
"Kenapa... bisa?" lirih Ali.
Ully menghembuskan nafas pelan, seakaan mengumpulkan kekuatan untuk bercerita, lalu ia melepas pelukannya di tubuh Ali dan duduk di sebuah kursi. Disusul oleh Ali.
"Lo cowok kan!? Lo tuh harusnya kalo mau nolak, ya nolak! Jangan jadi anak manja! Sekarang ayo ke rumah lo! Gue mau batalin perjodohan gak jelas kita!"
Dimas merasa hatinya tersentuh. Ia mengangguk keras. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan kekasihnya. Bagaimanapun, ia sayang kekasihnya.
"Keluar dulu, lo! Gue mau ganti baju!" seru Prilly.
Tanp ba-bi-bu, Dimas keluar kamar Prilly dan menunggu perempuan itu dengan sabar. Prilly memakai kemeja flanel berwarna hitam dengan kaos putih di dalam, lalu memakai celana bahan putih. Tak lupa, ia memakai sneakers putihnya.
"Ayo, cepet!" seru Prilly tergesa-gesa. Masalahnya, Dimas tadi bilang keputusan sudah harus diambil pukul 7 malam, sementara sekarang sudah pukul 6. Prilly tau jarak rumah Prilly ke rumah Dimas bisa memakan waktu hampir satu jam setengah.
Dimas menyalakan mesin mobil dan segera melaju, meninggalkan rumah Prilly dengan semangat yang tinggi. Akhirnya, setelah sekian lama, ia bisa membatalkan pertunangan ini!
"Ngebut kek, woy! Gue pengen cepet-cepet masalah ini beres," kata Prilly, memaksa Dimas agar mengemudi lebih cepat.
Dimas menambah kecepatan laju mobil yang dikendarainya itu, membuat denyut jantung Prilly dan Dimas seperti habis lari-lari dikejar anjing.
Dimas memperlambat mobilnya, lampu merah.
"Udah elah. Terobos aja! Lampu merah sini sepi!" paksa Prilly.
"Tapi-"
"Udah, gapapa!"
Dimas hanya bisa pasrah. Ia melajukan kembali mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Tin Tin!
Baik Dimas dan Prilly menoleh ke arah kiri mereka, sebuah truk melaju dengan kecepatan cepat, namun baru saja Dimas ingin melaju kembali, truk itu sudah menghantam mobil mereka.
"Tante tau ceritanya dari Dimas, Dimas cuma luka, walaupun lumayan parah, tapi dia udah sadar. Dia kan di kursi kemudi, jadi dia gak begitu parah. Kalo Prilly..."
Ali menatap nanar ke arah Prilly yang terbaring lemas. Ia melangkahkan kakinya ke sana, lalu air mata kembali berjatuhan.
Ia menggenggam tangan kanan Prilly dengan tangan kirinya, lalu tangan kanannya mengelus pelan kepala Prilly yang ditutupi perban.
"Bangun, Prill. Demi gue."
Ali mengecup kening Prilly dengan air mata yang berjatuhan ke wajah Prilly.

KAMU SEDANG MEMBACA
B S R
FanfictionSatu sekolah, pacaran, lulus, beda sekolah. Gimana, tuh? Untungnya, mereka saling percaya. Tapi kalau begitu, konfliknya apa?