Bagian 16

8.3K 854 8
                                    

Ali sudah setengah jam berada di sebuah kafe di dekat rumah Prilly. Sekarang lima menit menuju jam sebelas siang, dimana Prilly seharusnya sudah sampai.

Benar saja, saat Ali mendongakkan kepalanya ketika mendengar lonceng di atas pintu kafe berbunyi, Prilly berdiri di sana, celingukkan mencari Ali.

Ali melambaikan tangannya. Prilly yang menyadarinya langsung tersenyum dan melangkah ke arah Ali.

Prilly duduk di hadapan Ali, lalu menyapa laki-laki yang mengenakan kaus abu-abu itu.

"Hai," sapa Prilly. "Kamu udah lama, Li?"

"Lumayan," Ali mengangguk. "Tumben lo pake rok, biasanya ogah."

Prilly terkekeh. "Sayang belom dipake. Pernah sih, sekali doang."

"Oh," kata Ali, mengangguk mengerti. "Lo mau ngomong apa?"

"Ih, Ali! Aku baru dateng udah kayak dimintain utang tau gak? Santai bentar kenapa sih?" gerutu Prilly, manyun.

"Abis lo bikin gue kepo," kata Ali, sedikit berdiri dan mencubit hidung mancung Prilly pelan.

"Kita kenapa gak duduk samping-sampingan aja, sih? Bete. Biasanya juga gitu," kata Prilly, melipat lengannya di dada.

"Bangku buat berdua yang kosong cuma ini," kata Ali, menaikkan kedua bahunya. "By the way, gue juga mau ngomong. Lo dulu tapi."

"Kamu aja duluan."

"Enggak. Ladies first."

"Ih, gak ada peraturan kayak gitu di kamus aku. Kamu dulu, ah."

"Ga. Lo dulu."

"Kamu, Ali. Ih. Gentle gak?"

"Yang ngajak ketemuan siapa?"

"Aku!"

"Nah, yaudah! Lo duluan."

"Ish. Barengan aja gimana?"

"Ogah," kata Ali.

"Ih yaudah."

"Yaudah."

"Yaudah."

"Yaudah."

"Yau-"

"Yaudah bareng-bareng," kata Ali akhirnya. "Lumutan mulut gue."

"Bareng-bareng ya?"

"Iya, Sayaaaang."

Kedua pipi Prilly merona malu. "Ih, apaan sih kamu."

"Ih, apaan sih lo."

"Kok kamu ngikutin aku?"

"Kok lo ngikutin gue?"

Prilly menatap Ali kesal. Ia menghela nafas. "Aku dijodohin."

"Lo di- Hah?"

"Iya. Aku dijodohin. Sama Papa aku. Aku gak ngerti lagi sama papa aku, Li. Capek, dia sering banget ngatur aku, harus ini, harus itu, gak kayak Mama aku yang kayak biarin aja aku maunya apa."

"Gue udah tau, kok," kata Ali pelan. Ia tidak berani menatap kedua mata Prilly yang sangat ia kagumi.

"Hah? Kapan? Kok bisa? Kok kamu gak bilang ke aku?"

"Waktu itu, pas mau beli Oreo buat lo sarapan, mereka lagi ngomongin. Nyokap lo kayak nolak gitu, tapi ya, tau sediri Bokap lo gimana."

Prilly mengangguk. Ia setuju. Sedekat-dekatnya Prilly dengan Rizal, mereka seringkali berargumen, tidak setuju akan banyak hal. Rizal juga sering mengatur Prilly harus melakukan apa yang sama sekali tidak Prilly suka.

"Alu bingung, Li. Aku emang sering banget ngelawan Papa, tapi aku rasa... yang ini bener-bener keterlaluan. Kayak aku emang harus nolak yang ini. Bayangin, Li. Dijodohin. Who the hell wants? Ini bukan abad 19 lagi. Aku bisa cari cowok sendiri," kata Prilly, menuangkan semuanya pada Ali.

"Aku sayang sama kamu, Li. Banget. Kita udah mau 3 tahun bareng-bareng dan kita harus pisah cuma karena aku dijodohin? Aku mendingan nikah sama kamu sekarang daripada dijodohin sama Papa," lanjut perempuan yang hari ini dikuncir kuda itu.

"Tapi, Prill. Mungkin aja Bokap lo ngejodohin lo demi kebaikan lo, atau kebaikan keluarga lo. Bokap lo juga gak bakal ngejodohin lo tanpa sebuah alasan. Gue yakin itu."

"Emang ada, Li. Dia cuma berhutang budi sama temennya. Dan dia ngorbanin aku? Aku gak habis pikir sama Papa aku. Kenapa gak beliin dia rumah atau apa kek gitu?"

"Atau mungkin temennya juga yang minta kalian dijodohin," kata Ali. "Gue gak tau alesan Bokap lo apa, yang jelas kalo lo emang gak mau. Bilang ke Bokap lo. Jangan mentang-mentang dia Bokap lo, lo harus nurutin semua kata dia. Lo harus pertahanin prinsip lo."

"Prinsip aku itu, terus sama kamu dan terus sayang sama kamu walaupun aku yakin kita bakalan pisah, cepat atau lambat."

"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan," kata Ali, tersenyum kecil ke arah Prilly yang sedang menatapnya bingung.

Hening. Tak ada yang berbicara. Ali sibuk memperhatikan Prilly yang sedang memperhatikan sekeliling.

"Nyari apa, sih? Udah ada cogan di depan lo juga."

"Pede banget kamu," kata Prilly. "Eh, kamu belom bilang mau ngomong apa. Aku kan udah tadi."

"Kayak yang gue bilang tadi, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan mungkin, ini bakal jadi pertemuan terakhir kita," kata Ali, menatap Prilly dalam-dalam.

"Gue bakalan pindah."

B S RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang