Beruntung sekali Ali mendapat tempat duduk di dekat jendela. Ia bisa merenung, memikirkan akan jadi apa dirinya tanpa Prilly.
Kejadian hari itu terulang kembali dalam benak Ali.
"Gue bakalan pindah."
Mulut Prilly terbuka sedikit, kaget. "Ke-kenapa?"
"Lo jangan pikir ini gara-gara lo dijodohin. Enggak, Prill. Gue cuma... butuh waktu buat mencerna semuanya. Dan entah, timingnya pas banget nyokap gue mau pindah," kata Ali pelan.
"Te-terus kita gimana?" Prilly mulai menangis. Pelan, tanpa suara agar tidak mengundang perhatian para pengunjung lain.
"Status kita bukan sekadar Beda Sekolah Relationship lagi, tapi Long Distance Relationship."
"Li, beda sekolah yang masih satu kota aja aku kangen, setiap minggu pasti ketemuan. Apalagi beda kota?"
"Bukan beda kota lagi, Prill. Beda negara bahkan."
Ali masih ingat dengan jelas tatapan mata Prilly. Cahaya mata Prilly seolah meredup begitu saja, menghilangkan cahaya kehidupan di dalamnya yang selalu Ali kagumi.
"Jangan nangis, Prill. Gue mohon...."
"Kalo kamu minta aku buat gak nangis," Prilly mengusap air mata di pipinya pelan, "aku minta kamu buat tinggal, boleh?"
Ekspresi wajah Ali mengeras, lalu kembali melembut. Dengan senyum sedih, ia menggeleng. "Gak bisa."
"Emang kamu mau kemana, sih? Kamu pernah bilang Li sama aku, kalo aku ada masalah kamu bakal ada di samping aku, bakal nginep di rumah aku, bakal jagain aku sampe masalah aku selesai. Sekarang? Saat aku ada masalah yang bener-bener pengen aku ilangin dari hidup aku, kamu pergi. Kamu ninggalin aku, sendirian, sama masalah-masalah aku. Aku mohon, Li. Tinggal. Stay. I don't know what will I do when you are not around. Aku mohon, Li."
Sedih. Sakit. Mendengar Prilly melirih seperti itu membuat Ali ingin pindah secepatnya. Ia tidak ingin menyakiti perempuan yang sangat disayanginya itu.
"Ali! Kenapa diem?" sentak Prilly. Beruntung suaranya tidak terlalu keras.
"Gue... gabisa," lirih Ali, menggelengkan kepalanya, menunduk dalam.
"Kenapa, Li? Aku butuh kamu, banget."
"Gue gak bisa, oke!?" seru Ali. Ia tidak peduli orang-orang memperhatikannya atau tidak.
"Ali... kamu... nangis?" kata Prilly hati-hati. Ia berdiri, menghampiri Ali dan mengulurkan tangannya, mengajak Ali pergi.
Ali berdiri. Ia tidak menerima uluran tangan Prilly. Bahkan ia berjalan mendahului Prilly. Prilly menghela nafas bingung.
Ali menunggunya di luar. Di depan pintu masuk. Ya, tidak di depannya juga karena bisa menghalangi orang masuk.
Tanpa ba-bi-bu, Ali langsung memeluk Prilly. Prilly balas memeluknya, ia bahkan mengusap lembut punggung Ali yang bergetar.
"Ali," bisik Prilly. "Kamu kenapa nangis?"
"Aku sayang banget sama kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku sayang banget sama kamu," kata Ali.
Prilly semakin bingung dibuatnya. "Kamu kenapa sih sebenernya? Tumben ngomong aku-kamu. Kemajuan nih, asyik," Prilly berusaha menghibur Ali.
"Gaboleh?" kata Ali. "Gue gak mau kehilangan lo, Prill. Lo itu sumber kehidupan gue."
"Lucu. Sumber kehidupan kamu mah oksigen," kata Prilly. "Tapi, aku juga takut kehilangan kamu."
Diam. Diam yang tidak canggung, dan Ali sedikit menyukai itu. Tapi tiba-tiba Ali bingung saat Prilly melepas pelukan mereka.
"Kita buat perjanjian aja, gimana?" kata Prilly. Ia tersenyum hangat dan mengusap kedua pipi Ali dengan jarinya.
"Apa?"
"Kita harus saling menjaga hati kita, gak boleh lirik orang lain. Tetep ngabarin. Oke?"
"Tapi kan lo tau, timezone sucks."
"Emang kamu pindah kemana? Kamu belom ngasih tau."
"Australi," kata Ali pelan.
"Di sana lebih cepet, mungkin pas aku pulang sekolah di sana malem, kita masih bisa Skype."
"Besok gue udah berangkat," kata Ali. "Gue mohon, hari ini kita jalan-jalan ya?"
Prilly tersenyum dan mengangguk.
Ali tersenyum mengingat semua itu. Ia tersenyum mengingat kemarin Prilly dan Alya membuat brownies bersama. Kue itu sudah ada di dalam tempat makan di genggaman Ali sekarang.
Ali melirik Kakak dan Mama-nya, mereka terlelap. Ali membuka kotak makannya, lalu mulai makan dalam diam.
Tenang, Prill. Gue bakal jaga hati gue satu-satunya, demi lo.
KAMU SEDANG MEMBACA
B S R
FanfictionSatu sekolah, pacaran, lulus, beda sekolah. Gimana, tuh? Untungnya, mereka saling percaya. Tapi kalau begitu, konfliknya apa?