Part 50

4.6K 370 8
                                    

Bibirku terkatup rapat dan pandanganku kosong. Pesawat jet milik Sean sudah terbang di langit yang biru namun pikiranku masih saja mengacu pada Sean yang masih berada di Verona. Rachel beberapa kali mengajakku berbicara tapi aku tetap saja pikiranku akan hubungan kami masih menggerogoti otakku. Seperti lelah karena terus saja aku acuhkan dan aku diamkan, Rachel memilih pergi dari kamar dan meninggalkanku sendirian duduk di atas ranjang yang dulu pernah aku pakai bersama Sean. Dari kejauhan aku dapat mendengar suara Ken dan suara Rachel yang sedang memperdebatkan sesuatu tapi tetap saja aku tidak memperdulikan atau penasaran akan hal itu. Aku masih terlarut dalam pikiranku yang kacau, aku masih tidak mempercayai apa yang Sean lakukan tadi. Ini aneh, dia bertingkah seperti dulu. Berpura-pura tidak mencintaiku dan menyuruhku menjauh darinya.

Bagaimana bisa dia melakukan hal itu padaku? Apa semua itu karena masalah Ella? Kenapa harus seperti ini?

Begitu banyak pertanyaan yang bersarang di otakku namun aku tidak kunjung menemukan jawabannya karena Sean tidak menjelaskannya padaku. Saat memikirkannya, hatiku berteriak sakit dan ada rasa sedih yang terbesit di hatiku membuatku ingin menangis. Sekuat tenaga aku berusaha menepis rasa inginku untuk menangis namun apa daya, tanpa sadar air mataku meluncur pelan di pipiku. Aku bergerak memeluk kedua lututku sendiri dan mengubur tangisanku diantar kedua lututku. Suara tangisanku tidak boleh terdengar siapapun dan mereka tidak boleh mengetahui tangisanku ini. Sakit, ini terlalu sakit untuk ku rasakan. Pria yang ku cintai dua kali menyakitiku dan dua kali menyuruhku untuk menjauh darinya tanpa alasan yang jelas. Rasa sakitnya hampir sama ketika papahku menyakitiku dan keluargaku melalui kata-katanya. Sebenarnya, aku sangat membenci air mataku ini tapi sekali lagi, aku tidak bisa menahannya. Aku tidak bisa menahan tangisanku karena aku hanyalah manusia biasa yang akan menangis ketika tidak bisa menahan rasa sakitnya.

"Jane," suara Rachel menghentikan tangisanku dan cepat-cepat aku menghapus air mataku, lalu mengangkat wajahku.

Tepat saat aku mengangkat wajahku, mataku membulat dan jantungku berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Aku begitu terkejut melihat Ella berdiri tidak jauh dariku dengan senyum miring yang menakutkan. Di sampingnya berdiri Ken dan Rachel dengan kedua tangan terikat di belakang tubuhnya. Masing-masing di sisi kiri mereka berdiri pria bertubuh besar dan mengerikan berkulit hitam yang terlihat sadis.

"Ella," aku mengucapkan namanya dengan suara yang bergetar.

"Yap. this is me. Kau terkejut? Tentu saja. Kau pasti bertanya-tanya bagaimana bisa aku berada di pesawat milik kekasihmu ini bukan?" Ella tertawa keras lalu bergerak mendekatiku.

"Jangan dengarkan kata-katanya Jane," peringat Ken yang masuk ke dalam telingaku.

Pikiranku bertambah kacau dengan kehadiran Ella di sini. Rasa sedih bercampur cemas dan takut bercampur menjadi satu. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya. Ella membenciku dan Ella sudah berbuat jahat pada kedua orang yang aku sayangi, sudah pasti dia ingin membalaskan dendamnya padaku.

Ella mengambil duduk di tepi ranjang dan aku beringsut mundur untuk menjauhinya. Seperti mengetahui ketakutanku dia tersenyum miring seakan mengejekku. Napasku tercekat keetika dia menumpangkan satu kakinya ia ke atas kaki lainnya lalu berkata, "lucu sekali. Kau takut denganku? Oh god, bagaimana bisa Kak Sean mencintai gadis penakut semacam kau? Dengar jalang cilik, aku tidak akan membunuhmu di sini, jadi kau tidak usah takut sekarang, mengerti? Oh iya, mungkin saja aku tidak akan membunuhmu kalau kau melepaskan kekasihmu itu untukku, bagaimana?"

Aku bukan jalang cilik dan aku benci orang mengatakan aku seorang jalang. Aku tidak akan pernah melepaskan Sean, tidak sampai aku matipun Sean hanya milikku.

"Bitch, please berkacalah siapa yang jalang hah?! Siapa yang merelakan tubuhnya di jamah pria yang sama sekali tidak mencintaimu? Bodoh," seru Rachel dengan penuh emosi.

Ella tidak memperdulikan ucapan Rachel dan memberi kode pada kedua pria bertubuh besar di sampingnya untuk membungkam mulut Ken dan Rachel. Ken memandangku dengan tatapan yang sulit ku artikan tapi aku yakin dia pasti ingin memberitahuku untuk selalu sabar dan tetap kuat menghadapi Ella.

"Aku bukan jalang cilik dan aku tidak takut padamu," kataku tegas.

Pelan-pelan aku mengatur napasku dan menghilangkan rasa takutku walau terasa sulit. Aku harus berani melawannya dan menghentikan tindakan bodohnya. Aku harus memperjuangkan Sean dan saat ini lah akan aku perjuangkan. Aku tidak takut jika nantinya aku terbunuh atau menderita karena aku lebih senang terbunuh atau menderita karena aku memperjuangkan sesuatu daripada aku terbunuh atau menderita hanya hal bodoh.

"Oh, kau tidak takut padaku? Hebat sekali. Kau benar-benar tidak takut pada pembunuh yang akan membunuhmu nanti?" tanya Ella dengan suara di buat-buat. Aku memandangnya datar namun tajam sambil menjawab, "sadarlah akan apa yang kau katakan Ella. Aku tidak peduli jika kau akan melakukan apapun padaku karena aku yakin Sean akan menolongku," dia tertawa keras.

Dia menghentikan tawanya beberapa detik kemudian lalu menggerakan tangannya mendekati wajahku. Aku tidak bergerak menjauh ataupun bereaksi lain, aku mempertahankan sikap tenangku menghadapinya walaupun rasa takutku terus memberontak. Dia mengusap pipiku dengan gerakan lembut sambil tersenyum, sama sekali tidak menyakitiku tapi membuatku sedikit ngeri.

"Wajahmu sama sekali bukan tandinganku tapi mengapa pria bodoh itu sangat mencintaimu? Katakan padaku, kau tidak menguna-gunai dia kan?" tanya Ella membuat dahiku berkerut lalu menjawab, "pertanyaanmu sangat lucu Ella, tentu saja aku tidak menggunakan hal-hal seperti itu. Oh, jangan-jangan kau yang ingin menggunakan cara itu untuk mengikat Sean?" jawabanku yang sedikit menyindirnya membuat tangannya menjauh dari wajahku dan wajahnya yang mengerikan terlihat semakin aneh.

"Dasar jalang cilik, berani-beraninya kau berkata seperti hah?!" bentaknya tepat di wajahku. Aku tersenyum miring dan membalas, "siapa kau sampai aku harus takut berkata seperti itu? Satu hal yang perlu kau tahu Ella, aku sama sekali tidak takut akan ancamanmu. Maki-maki saja diriku, siksa saja diriku dan kalau perlu bunuh aku. Tapi ingat, Sean akan datang menolongku sebelum kau membunuhku."

Kini bukan aku yang tersenyum miring melainkan Ella. Dia bangkit dari duduknya sambil melipatkan kedua tangannya depan dada lalu berkata, "menarik. Bagaimana kalau target korban yang akan ku bunuh ku ganti?" dia menoleh ke arahku lalu kembali berkata, "karena aku tidak bisa memiliki Sean, gadis ataupun wanita manapun juga harus bernasib sama denganku. Jadi, bagaimana aku bunuh saja Sean saat dia akan menolongmu?"

Tidak, ini gila. Dia tidak akan bertindak gila seperti ini.

"Kau gila, cepatlah sadar Ella karena kau akan menyesalinya nanti," ujarku.

Dia tertawa lagi dan dengan santai membalas, "menyesalinya? Hahaha, ketahuilah, aku tidak pernah merasa bahagia seperti saat ini karena sebentar lagi beban masalah dalam hidupku akan berkurang," Ella yang sejak tadi berdiri membelakangi aku kini memutar tubuhnya dan tersenyum padaku, "so, lepaskan Sean dan aku akan membiarkanmu hidup atau... kalian berdua akan mati di tangan kami?"

Aku tidak peduli dan tidak akan takut dengan ancamannya.

"Aku tidak akan pernah melepaskan Sean dan aku tidak akan takut dengan ancamanmu," ucapku tegas.

Lagi-lagi Ella tersenyum miring seolah-olah ucapku hanya lelucon baginya. Aku tidak bereaksi apapun selain bersikap tenang. Dalam hati aku berdoa agar emosi tidak mudah tersulut hanya karena kata-katanya. Aku menjaga diriku untuk tidak membenci Ella karena prinsipku sendiri adalah tidak membenci siapapun.

"Kau terlalu percaya diri dengan prinsipmu itu jalang cilik. Sampai kapan kau terus saja bermimpi untuk mendapatkan Kak Sean? Dia bukanlah pria yang pantas untuk gadis jelata sepertimu. Sekarang aku tanya padamu, apa kau akan tetap bertahan berada di sisi Kak Sean jika orang-orang kalangan atas yang melihat hubungan kalian menggunjingkan kalian?"

"Aku tidak peduli pada mereka yang menggunjingkan hubungan kami karena bukan mereka yang menjalaninya tapi kami. Bukan mereka yang berhak mengatur hidupku kita tapi kami sendiri," jawabku yakin tanpa ragu-ragu.

Mata Ella yang semula memancarkan kedinginan berubah menjadi amarah begitu aku menyelesaikan ucapanku. Bibirnya bergetar seakan-akan dia sedang menahan emosinya yang mengacu padaku. Aku masih memandanginya ketika kedua tangan Ella mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Ikat dan tutup mata juga mulutnya," perintah Ella yang terakhir aku dengar.

[...]

Jane [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang