Part 31

10.2K 681 30
                                    

Malam hari yang dingin, aku dan Stella sedang menghabiskan waktu kami dengan semangkuk besar popcorn dan acara televisi. Sesekali saat commercial break menjeda acara televisi, kami berdua membahas hal yang menarik. Seperti saat ini, aku dan Stella sedang mencoba memilih nama dan menebak jenis kelamin bayi Stella.

"Bagaimana kalau dia laki-laki aku beri dia nama Harry?" tebakku.

Stella mengambil mangkuk besar berisi popcorn dari tanganku sambil merengut kesal. Aku mengerutkan dahiku merasa heran melihat perubahan sikap Stella yang sepertinya tak suka dengan usulanku.

"Anakku bukan directioners dan tentu saja aku tidak ingin anakku keriting," protes Stella dengan suara pelan.

Aku mendengus kesal dan menggerutu dalam hati.

"Nama itu tidak ada sangkut pautnya dengan statusku sebagai directioners. Lagipula, apa salahnya kau memiliki anak berambut keriting, tampan, dan memiliki suara yang bagus" belaku.

Kepala Stella menoleh ke arahku dengan kedua mata memandangku malas. Aku hanya menghendikkan bahuku, merebut kembali mangkuk yang sempat Stella ambil dariku lalu memakannya. Sesaat kemudian, raut wajah Stella berubah murung, bahunya yang semula tegap kini merosot dengan pelan. Kepalanya tertunduk dan bibirnya membentuk garis lurus yang lemah. Dahiku berkerut merasa heran melihat perubahan Stella yang tiba-tiba. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan dan kali ini dia berhasil membuatku penasaran.

"Kau kenapa?" tanyaku hati-hati.

Dia mengangkat kembali kepalanya, menggelengkan kepalanya lalu memandangku dengan senyuman yang lesu. Jauh di dalam matanya, aku seperti melihat sebuah kabut kerinduan bercampur kesedihan. Kabut itu terlihat jelas dan aku dapat langsung memastikan kabut itu karena Stella memikirkan Mark.

"Aku hanya..." dia memandang ke arah lain seakan sedang membayangkan sesuatu, "ya, kau tahu. Aku hanya ingin dia mirip seperti ayahnya, Mark." ujarnya lesu.

Benar bukan dugaanku?

Pelan-pelan, aku menaruh mangkuk besar berisi popcorn ke atas meja di sampingku. Masih memandangnya dengan pandangan prihatin, aku meletakkan satu tanganku di atas bahu Stella. Dia mengembalikkan pandangannya kembali ke arahku, menatapku kosong tanpa senyuman.

"Aku sudah katakan padamu Stell, lebih baik kau hubungi Mark. Percaya padaku, aku yakin dia pria yang bertanggung jawab," kataku yakin tapi ia menggeleng cepat.

"Jangan paksa aku merobohkan prinsiku Jane. Aku tahu Mark akan bertanggung jawab tapi..." dia menjeda kalimatnya sendiri sejenak seakan berat melanjutkannya. Tidak lama dia terdiam, akhirnya dengan suara pelan dia melanjutkan kembali kalimatnya, "aku tidak akan menikah dengan pria yang tidak mencintai aku."

Tidak. Wanita hamil tidak boleh menangis dan bersedih seperti ini. Dia tidak boleh memikirkan masalahnya untuk saat ini. Aku harus mengalihkan pembicaraan ini.

"Sepertinya aku belum memberitahumu sesuatu," aku menarik kembali tanganku dari bahunya.

Seakan tertarik akan ucapanku, Stella memandangku antusias. Perlahan, aku dapat melihat kabut menyedihkannya memudar. Oh yeah, setidaknya aku berhasil untuk saat ini.

"Aku sudah mengirimkan artikelku ke pihak kompetisi," kataku padanya.

Stella menaikkan satu alisnya dan bertanya, "lalu?"

Aku mengangkat bahuku dan menjawab, "ya begitulah. Hasilnya cukup baik, aku beruntung memiliki Jack yang dengan baik hati membantuku," berakhir dengan senyum yang merekah mengingat pertemuan terakhirku dengan Jack.

Jane [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang