Part 19

11.4K 715 50
                                    

Ujian Nasional telah terlewati, dan amplop berisi kelulusanku sudah berada di tangan mamahku sejak lama. Aku dinyatakan lulus dari sekolahku walaupun aku memiliki nilai yang buruk. Tentu saja aku merasa sedih karena aku dan mamahku harus menanggung malu akan hasil belajarku selama SMA. Tapi terlepas dari itu semua, rasa sedihku yang begitu besar tercurah pada hasil SBMPTN yang baru saja diumumkan hari ini. Ya, aku gagal mendapatkannya dan itu berarti aku menambah kembali masalah di dalam keluargaku. Aku tidak tahu lagi apa yang harus ku perbuat selain meneteskan airmata setiap aku memikirkan kegagalanku. Semua ini memang salahku karena aku belum benar-benar berusaha keras belajar untuk lolos dalam SBMPTN, tapi, bagaimana aku bisa berusaha keras jika papahku terus saja meneleponku dengan berkata kasar dan menyakitkan sehingga membuat beban pikiranku?

"New York University."

Tidak sengaja aku baru saja bergumam dalam langkahku. Entahlah, aku bingung harus merasa sedih atau senang. Di satu sisi, aku sedih karena aku gagal untuk masuk perguruan tinggi negeri yang ada di negaraku, tapi di sisi lain aku merasa senang karena aku mendapatkan hadiah pelatihan jurnalistik dan sastra selama satu tahun penuh di New York. Di dalam tas ku sudah ada map berisi surat-surat yang di berikan New York University pada pemenang lomba pemilihan artikel terbaik kategori siswa. Ya, aku dan Stella salah satu dari sepuluh pemenangnya. Aku masih tidak percaya bisa memenangkan kompetisi itu, padahal, aku bukanlah kategori murid pintar atau berprestasi. Mungkin saja dewi fortuna berpihak pada kami.

Aku tersenyum dan menghentikan langkahku. Earphone yang ku pasang di telinga masih mengalunkan lagu Gwanghwamun dari Kyuhyun salah satu personil boyband mendunia, Super Junior. Kepalaku menengadah menatap langit yang kini mulai berubah menjadi abu-abu. Sudah kupastikan sebentar lagi hujan akan turun. Tapi, hari ini aku ingin sekali mengunjungi tempat istimewaku. Tempat dimana aku dapat menghilangkan sedikit kepenatanku untuk sementara waktu.

Aku melangkahkan kakiku berlawanan arah dengan arah rumahku. Tempat itu tidak terlalu jauh dari sekolahku. Jaraknya bisa ku capai dengan berjalan kaki. Aku senang sekali jika berada di sana, rasanya tenang sekali. Aku menemukan tempat itu saat aku masih berusia delapan tahun.

Saat itu aku adalah gadis yang sama seperti sekarang, penyendiri. Masa kecilku bukanlah masa kecil seperti kebanyakan orang. Aku hidup dengan satu orang tua, dan itu adalah mamahku. Papahku tidak pernah menemaniku sejak kecil. Dulu aku seringkali bertanya pada mamahku mengapa papahku tidak pernah kembali ke Indonesia, tapi beliau hanya diam. Setelah sekian lama aku tidak mengerti arti diam mamahku, akhirnya Tuhan memberitahuku dengan pertengkaran mamah dan papahku di telepon. Sejak saat itu aku berubah menjadi gadis penyendiri, aku hanya bermain dengan pikiranku. Saat usiaku menginjak sepuluh tahun, papahku datang mengunjungiku karena paksaan saudara-saudaranya. Semua orang pasti menyangka jika pertemuanku dengan papahku adalah sebuah moment bahagia, tapi bagiku tidak. Di pertemuan pertama kami, aku dan kakakku mendapatkan banyak pukulan hanya karena kami melakukan kesalahan kecil yang wajar bagi anak-anak. Tidak hanya itu, aku merasa canggung dan aneh bertemu ataupun memeluk beliau. Rasanya tetap aneh walaupun aku sudah mencoba terus menepis rasa canggungku tapi tetap saja rasa itu muncul.

"Kasih sayang?" aku tersenyum sendiri mengingat hal yang paling aku butuhkan selama ini.

Papahku dengan cara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak bisa memberikan kasih sayang pada anak-anaknya. Beliau hanya ingin hidup sendiri tanpa kami, tapi ia akan tetap membiayai hidup dan pendidikan anaknya. Demi tuhan, yang ku butuhkan bukan hanya materi dari beliau, aku butuh kasih sayangnya. Apakah papahku tidak pernah berpikir selayaknya papah normal lainnya? Tidak pernahkah terlintas di hatinya untuk memberikan aku kasih sayang? Beliau selalu saja menuntut untuk di mengerti dan di turuti, beliau tidak pernah mendengarkan isi hati kami, beliau tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya kami inginkan dan kami butuhkan. Ya tuhan, kenapa aku selalu saja memperdebatkan masalah ini dalam otakku kalau aku sendiri sudah tahu jawabannya adalah tidak mungkin. Semua hal itu tidak terlepas karena perbedaan suku papahku dengan mamahku. Well, ketahuilah, di jaman seperti ini perdebatan etnis masih saja terjadi. Permasalahannya memang sangat konyol tapi bagi papahku ini adalah masalah yang besar. Papahku selalu saja mengolok-olok dan memaki mamahku dengan perkataan kasar hanya karena beliau menyesal menikah dengan mamahku yang memiliki perbedaan suku dengannya.

Jane [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang