Part 49

7.5K 500 21
                                    

Detik demi detik berganti dengan menit dan jam yang ku habiskan hanyalah melamun. Selimut tebal yang menyelimuti tubuhku bagaikan selimut tipis yang tidak bisa melindungi tubuhku dari udara dingin pagi ini. Burung-burung yang berkicauan tidak terdengar karena yang jelas terdengar di telingaku hanyalan tetesan air hujan yang begitu deras. Pagi ini aku melewatkan acara sarapan pagi bersama karena aku sedang tidak ingin berada di dalam suasana keluarga mereka. Mungkin saja siang nanti aku akan melewatkan makan siangku karena aku benar-benar tidak ingin memakan apapun. Sepertinya kata-kata Rachel yang menyuruhku untuk tidak memikirkan masalah ini tidak mempan bagiku. Pikiranku masih saja berkutat dengan masalah ini.

Bunyi derap pintu sukses mengalihkan pandanganku dari langit-langit kamar ke arah Sean. Tubuh lelaki yang aku cintai kini terbalut kemeja putih dan sweater rajutan berwarna merah marun. Kaki jenjang yang menopang tubuh atletis miliknya memakai celana jeans berwarna hitam. Mataku dapat melihat dari jauh mata Sean yang masih memerah dan wajah yang kacau. Dia berjalan menuju koperku yang entah sejak kapan sudah berada di dekat lemari.

"Sean," aku menyibakkan selimut dan turun dari tempat tidur dengan gerakan cepat saat Sean memasukan pakaianku ke dalam koper.

"Sean," sekali lagi ku coba menghentikan tindakannya tapi dia sama sekali tidak menghentikannya.

"Sean!" aku menyentakkan tangannya, membalikkan tubuhnya dengan sekuat tenaga dan dia mendorongku hingga aku terjerembab jatuh di atas lantai.

Rasa sakit di pantat ku abaikan karena rasa sakit yang Sean goreskan di hatiku jauh lebih perih di bandingkan rasa perih tamparannya. Sudah susah payah aku mencoba untuk menahan tangisanku tapi tetap saja air mataku mengalir dengan deras. Ini pertama kalinya Sean memperlakukan aku kasar dan memandangku penuh kemarahan yang jauh lebih mengerikan daripada biasanya.

"Aku sudah mengatakannya padamu. Jangan membantahku karena aku tidak ingin kau terluka karena aku," suaranya bergetar.

Deru napas Sean tampak memburu, wajahnya memerah dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Aku harus sabar menghadapinya, walaupun aku harus tersakiti, tapi aku harus memperjuangkan cintaku.

"Baiklah, lakukan saja padaku, sakiti aku sesuka hatimu karena aku akan terus membantahmu jika tindakanmu tidak terkontrol dan salah," balasku dengan air mata yang masih mengalir di pipiku. Dengan keberanian yang ku punya, aku mendekati Sean dan satu tanganku terulur menyentuh pipinya sambil berkata lembut, "apa yang terjadi Sean? Dengar, jika kau masih mempermasalahkan masalah Ella, aku mohon sudahi saja semuanya karena aku sama sekali tidak mempermasalahkan masa lalumu. Aku menerima segala resiko yang aku terima jika kenyataannya memang begitu."

Sean mengatupkan bibirnya dan perlahan menurunkan, menjauhkan tanganku dari pipinya. Kedua matanya menghindar dari tatapanku dan aku hanya bisa lemas dengan tangisanku sendiri. Dia membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh dariku mendekati pintu kamar.

"Bersiaplah, Ken akan menjemputmu dan Rachel dua jam lagi," ucapnya saat berhenti tepat di dekat pintu.

"Aku dan Rachel?"

Sean memalingkan kepala ke arahku. Tatapannya dingin dan aku tidak mengenal sosok Sean saat ini.

"Aku harus mengurus beberapa urusan di sini," dan ia pergi dari kamar kami.

Sepeninggalan Sean dengan langkah gontai aku terduduk di tepi ranjang dengan tangisan yang deras. Kepalaku tertunduk dan hatiku terasa perih bagaikan luka goresan yang tersiram air jeruk. Hanya hujan yang menemani kesedihanku dan hanya hujan yang tahu bagaimana aku sekuat tenaga berusaha menghadapi sikap Sean. Aku benci seperti ini tapi aku tidak bisa menahan tangisanku. Katakan aku lemah, katakan aku cengeng dan aku bodoh. Aku sama sekali tak peduli mereka mengataiku gadis bodoh yang hanya bisa diam dan menerima perlakuan kasar Sean. Aku harus menghadapinya karena ini waktunya aku memperjuangkan cintaku dan menujukkan betapa besar cintaku pada Sean.

Jane [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang