Part 33

8.7K 665 8
                                    

Terbangun dari tidurku bukanlah hal yang aku inginkan saat ini. Namun, rasa risih yang menggelitik di tubuhku memaksa kedua mataku untuk terbuka di saat mereka beristirahat. Sebuah cahaya terang dari lampu terpancar dan menyerangku begitu saja tepat ketika aku membuka mata. Mengalihkan pandanganku dari pancaran lampu, kedua mataku bergerak ke sisi kanan dan kiri. Di dekat lemari besar yang menjulang melebih tinggiku terlihat sepatu perak yang aku kenakan tadi. Merasa asing dengan dinding putih dan perabotan yang mewah, tanpa perintah, kedua mataku membulat dan tubuhku tegang.

Dimana aku?

Oh ya, aku mengingatnya. Terakhir yang aku ingat, Sean menyeretku pulang dari lantai dansa. Tidak ada Jordy ataupun pria lain yang mengantarku pulang selain Sean. Di dalam mobil, aku tidak berbicara sekalipun pada Sean karena aku pasrah dengan kemauannya yang memintaku untuk menginap malam ini di apartementnya. Setelah itu, aku tidak mengingat apapun lagi. Mungkin saja aku tertidur di mobilnya. Sambil menegakkan tubuhku, aku memandang tubuhku dengan teliti. Semua tampak sama seperti terakhir aku lihat. Gaun merah yang indah masih melekat di tubuhku. Ini melegakkan, aku pikir Sean akan bertindak macam-macam padaku.

Oh god, aku lapar sekali, sebaiknya aku turun dan mencari makanan.

Aku menggerakkan kaki kananku menuruni ranjang kongsize berseprai hitam dan kaki kiriku menyusulnya. Dinginnya lantai putih berukuran besar menyentuh telapak kakiku begitu aku meninggalkan ranjang dan berdiri tegak. Pelan-pelan, aku melangkahkan kakiku seakan-akan aku sedang mencoba kabur dari tempat ini. Tanganku berhasil meraih pintu yang terbuka dan keluar dari kamar yang aku yakini milik Sean. Suasana gelap dan sunyi menyambutku ketika aku sudah berada di luar kamar. Hanya lampu bewarna kuning yang terlalu gelap untuk menyala di daerah dapur.

Di mana Sean? Tidak. Aku tidak berniat untuk mencarinya, aku ingin makan.

Masih melangkah dengan pelan, aku berjalan menuju dapur yang jaraknya tak jauh dari kamar Sean. Cepat-cepat ketika tanganku menemukan gagang pintu kulkas, aku menariknya dan udara dingin menusuk begitu saja. Mataku terpancar lapar melihat isi kulkas yang penuh dengan makanan. Satu tanganku meraih apel hijau dan satu tanganku yang lain meraih pizza beku dan juga kaleng jus jeruk. Setelah aku rasa semua ini cukup untuk membuatku kenyang, aku mulai memanaskan pizza beku ke dalam microwave. Sementara pizza sedang aku hangatkan, aku menggigit apel dan membuka kaleng jus yang aku dapatkan.

"Apa perlu kau mengendap-endap untuk menikmati itu semua?"

Tubuhku tersentak dan gigitanku terhenti mendengar suara di balik kegelapan. Sesaat kemudian, dengan suara kekehan, Sean muncul dari kegelapan dan memasuki dapur.

"Maaf aku lapar," ujarku pelan.

Sean tersenyum lalu membalas, "aku tahu, tapi perlukah kau mengendap-endap untuk mendapatkan makanan hm?"

"Aku pikir kau tidur, jadi aku tidak berniat untuk membangunkanmu," jawabku.

"Aku tidak tidur sayang, aku ada di ruang kerjaku. Sekarang, habiskan makan malammu dan kembalilah ke kamar, okay?"

Seperti anjing yang patuh pada majikan, aku mengangguk padanya. Sean memajukan tubuhnya dan memebri satu kecupan di keningku lalu pergi dari dapur. Tepat di saat Sean pergi dari dapur dan meninggalkan aku, microwave berbunyi dan dengan segera aku mengeluarkan pizzaku. Aku kembali menyantap makanan dan aku melakukannya dengan cepat mematuhi perintah Sean. Aku harus bersikap sedikit manis di sini, kalau tidak tamatlah riwayatku. Bisa-bisa aku masuk sela karena diam-diam mencuri makanan orang.

Butuh sekitar delapan menit untukku menghabiskan semua makanan. Perutku telah terisi dan rasanya sangat puas. Tanpa ingin membuang waktu lama setelah membersihkan semuanya, aku berjalan, tidak sedikit berlari menuju kamar. Aku akan tidur nyenyak kali ini dengan perut yang damai. Pelan-pelan aku memutar gagang pintu kamar dan mendapati Sean tengah berdiri memandang kerlap-kerlip kota New York dari dinding kacanya. Punggung lebar dan tubuh yang atletis membuatku tergiur untuk memeluknya, namun dengan keras dan sekuat tenaga aku menahan rasa rinduku untuk memeluknya seperti dulu.

"Sean," panggilku membuatnya tertoleh dan berbalik memandangku.

Dia tersenyum.

"Sudah kenyang? Ya sudah, gantilah pakaianmu dengan kemejaku dan naiklah ke tempat tidur,"

"Lalu kau tidur dimana kalau aku di tempat tidurmu?"

Lagi-lagi dia tersenyum lalu menjawab, "tentu saja aku di tempat tidur yang sama denganmu."

"Hah? Tidak tidak. Aku tidak ingin satu ranjang denganmu," aku melupatkan kedua tanganku depa dada dan memandangnya tak setuju.

"Tidak ada perdebatan dan selesai," ucapnya tegas.

Aku mendengus kesal dan berjalan mendekati kemeja yang tergeletak di atas ranjang Sean. Aku mengambilnya dengan kesal dan langsung bergerak munuju kamar mandi. Selesai berpakaian, aku langsung naik ke tempat tidur tanpa mempedulikan Sean yang memandangku aneh. Aku tidur di sisi kanan ranjang dan Sean tidur di sisi kiri ranjang. Sebelum aku benar-benar tidur, aku meletakkan guling di tengah-tengah kami sebagai pembatas.

"Batas. Kalau kau berani melewatinya, aku tidak yakin wajah tampanmu masih mulus besok pagi," kataku memperingatinya.

Dahi Sean berkerut dan memandangku bingung bercampur aneh, namun sesaat kemudian dia menampilkan senyum smirknya dab berkata, " aku tidak bisa memastikannya sayang. Kau tahu, kemejaku itu tidak bisa menyembunyikan warna merah muda celana dalammu."

Sialan.

"Diam dan tidur," kataku memperingatinya lagi.

Dia tertawa kecil, lalu membuang guling yang aku letakkan dan menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Jelas saja hal itu membuatku terkejut, aku sempat terdiam ketika wajahku benar-benar berada dekat di depan wajahnya. Jantungku yang berdegup kencang kini berhenti secara tiba-tiba. Aku mencoba melepaskan diri namun aku tahu hasilnya tidak mungkin sesuai dengan harapanku bahkan aku memperparah keadaan. Sean menjadikan aku sebagai gulingnya. Oh tuhan ini benar-benar siksaan. Siksaan yang membuatku nyaman dan panas.

"Sean jangan begini, kita tidak boleh," kataku lirih namun tegas.

"Tentu saja boleh. Hanya aku yang boleh melakukan ini padamu," tolak Sean.

"Kita bukan lagi sepasang kekasih, Sean."

"Aku tidak peduli. Aku mencintaimu tapi kau yang keras kepala," tolaknya lagi.

Aku menghela napasku. Yang di katakan Sean memang benar. Aku memang keras kepala, tapi aku tidak ingin kalah sebelum dia benar-benar membuktikannya. Aku akan terus bersikap seperti ini sampai aku yakin dia tidak memiliki niat yang sama untuk mempermainkan aku seperti dahulu.

"Jane," dia memandangku tenang.

"Hm," aku memutuskan untuk menutup mataku.

"Jane," dia memanggil namaku lagi.

"Hm," aku masih malas.

"Jane," panggilnya lagi.

"Apa yang kau inginkan Sean?!" aku membuka mataku dan memandangnya protes.

Dia menciumku, lembut dan penuh perasaan. Aku menutup mataku lagi hanyut dalam ciumannya. Sean menyihirku begitu cepat, begitu mudah.

"Selamat tidur sayangku," ucapnya lirih tepat saat dia mengakhiri ciumannya dan masih menempelkan bibirnya di bibirku.

[...]

Jane [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang