Keterlaluan

1.9K 181 3
                                    

Chapter 11

Sudah hampir satu bulan Triss dimusuhi hampir seantero sekolah. Padahal dirinya tidak bersalah dalam kasus apapun. Semua artikel ataupun ucapan Zena hanya kebohongan, hanya tuduhan. Entah apa yang dilakukan Zena sehingga mereka menuruti setiap perintahnya untuk memusuhi Triss.

Hari ini Triss tetap memutuskan pergi kesekolah, berhubung beberapa bulan lagi UN dia harus tetap belajar dalam situasi apapun. Sebenarnya hati Triss sakit, diperlakukan seperti kacung. Tapi, apa boleh buat? Melawan sudah dia lakukan, tapi tetap saja dia kalah karena melawan murid hampir seantero sekolah.

Sudah jelaskan? Bukan hanya dikelas dia disudutkan. Selama dia berada di sekolah sudah pasti harga dirinya dijatuhkan.

---

Bel istirahat terakhir baru saja terdengar, namun hampir semua siswa telah melahap makanannya dikantin sejak beberapa menit lalu. Usut punya usut, seusai istirahat terakhir siswa siswi akan dipulangkan karena ada rapat dadakan.

Triss baru selesai membaca buku sastra, diluar hujan yang tadinya deras kini mulai jadi rintik-rintik kecil. Triss keluar kelas, berjalan menuju kantin hanya untuk membeli roti. Baru saja beberapa langkah dia berhasil memasuki kantin, lemparan telur mendarat mulus didahinya. Tentu saja dia kaget, marah sekaligus malu. Belum sempat melawan, telur selanjutnya mendarat dihidungnya yang mancung itu, begitu seterusnya. Dari ujung rambut sampai sepatu, kotor semua terkena lemparan telur. Semua yang ada di kantin, melemparinya telur tanpa asa dan aba.

Triss pikir permainan ini sudah berakhir karena dirinya sudah benar-benar kotor, tapi nyatanya itu belum cukup. Satu ember penuh berisi terigu mendarat dikepalanya. Tak cukup dengan itu, seseorang yang mungkin itu Zena menuangkan satu ember tanah basah. Lengkap sudah kini, Triss malu. Semua yang ada di kantin menertawakannya.

Triss berlari keluar kantin, menuju halaman parkiran. Dia hendak pulang. Diluar hujan kembali deras. Dia berlari sekencang mungkin. Begitu kagetnya dia, melihat mobilnya sama nasibnya seperti dia. Dipenuhi lumpur, telur, terigu. Itu bisa dibersihkan. Tapi, ini yang membuatnya kaget.

"Hana!! Ngapain lo disini? Lo yang lakuin ini!?" Hana tercengang. Dia tengah membocorkan seluruh ban mobil Triss.

"Triss.. ini.." Hana mengusap wajahnya karena basah.

"Apa? Lo sekongkol sama Zena hah? Lo gak kasihan sama gue?! Apa-apaan maksud lo!?" Triss diam merentangkan tangannya dibawah rintikan hujan. "Liat gue.. gue yang udah kaya gini.. gue yang udah capek ngehadapin semuanya" kali ini Triss tidak sanggup untuk berteriak. Jujur saja dia memang marah. Tapi dia tidak bisa benar-benar marah.

"Gue kira lo baik Han, gue kira lo gak kaya gini! Mau lo apa Han? Ternyata emang bener kata pepatah. Gak usah nilai orang dari penampilannya."

Hana kini menangis sesegukkan "Maafin aku Triss. Aku emang gak tahu malu. Aku emang sayang sama Azka, tapi aku gak perlu kaya gini. Aku sadar Triss aku sadar ini salah. Aku terpaksa..."

"Gue tau lo sayang Azka! Gue tau lo terpaksa! Kenapa keterpaksaan itu lo lakuin?! Gue kira di agama lo ngelakuin hal kejahatan itu dosa. Ini termasuk tindakan kejahatan Han! Lo sekongkol buat ngebully gue itu kejahatan Han!"

"Aku tahu aku jahat! Tapi aku gak bener-bener jahat... kalo aku gak lakuin ini...." Hana menarik nafas mencoba menahan tangis "maafin aku Triss maafin aku" lalu Hana berlari menjauh.

Triss benar-benar tidak tahu kenapa semua nya jadi seperti ini? Kenapa? Apa salahnya? Kenapa semesta kejam kepadanya? Triss sudah tidak mengerti akan hal-hal yang sudah terjadi dari saat pertama kali dia harus pindah ke kota ini. Apa ini hukum alam? Karma? Atau apa!

Triss berlari keluar sekolah. Gerbang yang masih tertutup dia panjat. Entah bagaimana cara memanjatnya. Kemarahan sudah menguasai dirinya.

Kakinya berlari entah menuju kemana. Beberapa kali dia terjatuh, tapi tak memutuskan dirinya untuk berhenti. Hujan semakin deras. Angin kencang semakin membelai. Dingin kini sudah merasuki sampai tulang. Tapi dia terus saja berlari.

Lama dan semakin jauh. Akhirnya dia berhenti. Berhenti disebuah jalan yang sepi. Didepannya terdapat pesawahan yang luas. Dia terduduk. Tubuhnya menggigil dia abaikan. Kepalanya mulai pusing dia tidak pedulikan.

Matanya memanas. Satu tetes air mata keluar, bersatu dengan rintikkan air hujan. Air mata yang sejak satu bulan lalu dia tahan, kini keluar bersama hujan. Hujan yang menghalangi kesedihannya. Dia kecewa. Zena yang sudah dianggap sahabatnya sendiri, tega melakukan semuanya.

Angin semakin kencang, dia memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan karena kedinginan. Dia menatap langit yang menimbulkan cahaya kilat dari petir. Dia tidak takut apapun sekarang. Entahlah. Dia sangat kecewa. Sangat dan sangat.

"Kenapa hujannya berhenti?... tidak, hujannya tidak berhenti" Triss bergumam sendiri. Dihadapannya hujan masih sangat deras, tapi kenapa ditempat dia terduduk, hujan tiba-tiba menghilang. Triss menengok kearah belakang dan menemukan sosok yang memayunginya. Dia mengusap wajahnya agar bisa melihat dengan jelas.

"Mau segimanapun keadaan kamu, mau sebau apapun kamu. Kamu tetap cantik Triss" Azka tersenyum manis "Maaf.. ini semua salah aku. Maaf juga, aku adalah aku yang berbahasa aku kamu" Azka ikut terjongkok "Aku akan selalu seperti ini, jadi Azka yang selalu bikin kamu geli"

Belum sempat Triss membalas ucapan Azka, pandangannya tiba-tiba buram. Lalu semuanya menggelap. Triss tidak sadarkan diri.

---

Berlebihan gaksih ini? :'D berlebihan banget ya? Maafin author yang lebay dan gaje :') Tinggalkan jejak semuanya.

Mencari Kiblat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang