Eleven - Unbelievable fact!

1K 41 1
                                    

Dan inilah awal konflik menuju memuncak  *asekkk bahasa indo gw kayanya bakal merah nih XD Thanks ya buat yang udah vote :D author satu ini bahagia banget~ Walaupun cuma harepan muluk-muluk terus penuh pepesan kosong, tapi gapapa! Seorang pemimpi adalah jalan menuju seorang yang sukses #wejanganngaco *gtw ambil dri mana ckck But thx for read ya :D Author pemula satu ini mencintai para readers! :* lopelope~

***************************************************************************************

El Cielo Llora. Tempat ini memang sebuah café yang cukup populer di kalangan para gadis remaja. Suasananya yang romantis serta makanan yang ditata manis dan enak membuatnya makin populer. Rachel termenung melihat tempat itu. Ditatapnya meja dan kursi yang berada di paling pojok bersebelahan dengan sebuah kaca 2 arah yang besar. Diperhatikannya baik-baik setiap sudut dari meja yang pernah ditempati oleh Rachel dulu saat bersama Kevin. Kenangan manis yang tidak pernah bisa ia lupakan. Kenangan manis yang membuatnya sedih dan ingin menangis setiap mengingat Kevin...

“Rachel, mau pesen apa?” tanya Kenny yang sudah daritadi memanggil Rachel namun tidak dipedulikan. Rachel pun segera tersadar dari lamunannya.

“Eh? Oh, iya. Hm.. Apa aja deh…” jawab Rachel singkat. Ia sekarang sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun, yang diinginkannya hanyalah duduk di tempatnya duduk sekarang dan memandangi setiap inci kenangannya dan Kevin.

“Lo kenapa sih, Hel? Kok kaya orang gila gitu? Melamun gak jelas?” tanya Kenny lagi setelah menyampaikan pesanan pada si pelayan. Mendengar pertanyaan Kenny, Rachel hanya tersenyum pahit.

“Gue pernah diajak ke sini sama seseorang dulu… Kita duduk di meja ini, duduk berdua… Suasana café ini masih sama kayak setahun yang lalu…” Suara Rachel mulai bergetar. Ditahannya air mata yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Ia memaksa dirinya untuk tidak menangis lagi. Kenny tidak berkomentar apapun. Hanya menatap Rachel dalam diam, dibiarkannya Rachel terus bercerita menumpahkan seluruh isi hatinya.

“Harusnya kenangan gue sama dia bisa jadi kenangan yang terbaik… Harusnya, harusnya… Kalo aja gue waktu itu gak childish, kalo aja gue waktu itu bersikap dewasa… Semuanya gak akan kayak sekarang…” Air mata Rachel benar-benar turun, mengalir dengan deras. Ditutupinya wajahnya yang sudah mulai berantakan karena menangis. Tangisannya tidak bersuara. Ia menangis dalam diam. Orang-orang disekitarnya pun tidak ada yang sadar, tidak ada suara isakan ataupun sendatan. Kenny mengelus puncak kepala Rachel dengan lembut. Tangisan Rachel terhenti seketika. Kehangatan yang sama, rasa nyaman yang sama… Sempat terpikirkan oleh Rachel berbagai pertanyaan dalam benaknya, namun ia segera menepisnya dan berpikir bahwa ini semua hanya kebetulan.

“Udah mendingan?” Rachel mengangguk, tapi enggan melepaskan kepalanya dari elusan Kenny. Nyaman, sangat nyaman. Tanpa sadar, jantung Rachel berdetak cepat. Mukanya bersemu merah. Panas.

“Permisi, Mas, Mbak. Ini pesanannya.” Ketika seorang pelayan mengantarkan makanan ke meja mereka, Kenny segera melepaskan tangannya dari kepala Rachel. Malu, ketahuan bermesraan di tempat umum.

“Gapapa, Mas, Mbak. Lanjutin aja mesra-mesraannya. Di sini emang banyak yang pacaran kok, santai aja.” ujar si mbak-mbak pelayan.

“Eh, tapi kita gak pacaran, Mbak.” jelas Kenny singkat. Tapi si pelayan tampak tidak mempercayai perkataan Kenny.

“Masa sih, Mas? Padahal cocok loh, serasi gitu.” goda si pelayan, lagi. Selepas perginya si pelayan, Rachel terus menutupi pipinya yang rasanya sudah terbakar saking panasnya.

“Pipi lo kenapa, Hel?” tanya Kenny yang bingung melihat tingkah laku Rachel. “Sakit?”

“Hah? Gak kok. Oke, gue laper mau makan.” Rachel berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Ia tidak ingin Kenny tahu bahwa dirinya sudah mulai menyukai Kenny.

“Lo… Udah gapapa?” Kenny kembali bertanya. Rachel mengangguk sambil terus menyuapi cheese steak andalan café itu ke mulutnya.

“Gini ya, Hel, lo kalo punya masalah itu cerita-cerita dong sama gue. Jangan lo simpen sendiri. Lagian gue masih penasaran deh, siapa orang yang bikin lo nangis terus kayak gitu?” Suasana menjadi canggung. Pertanyaan Kenny membuat Rachel terdiam sejenak. Dipikirkannya matang-matang, apakah ia akan bercerita pada Kenny atau tidak.

“Jadi… Gue dulu punya pacar… Dia itu first love gue, pacar pertama gue… Dan semua gara-gara gue, dia pergi… Pergi jauhhh banget…” Rachel tidak berniat menjelaskannya dengan lengkap bagaimana kisahnya dengan Kevin. Ia tidak ingin menangis lagi di depan umum.

“Hmm… Anak sekolah kita?” Rachel hanya menanggapi dengan mengangguk, bahkan tanpa menatap wajah Kenny.

“Kalo gue boleh tau sih, siapa namanya? Siapa tau gue kenal, terus gue bisa tonjok dia gara-gara udah ninggalin lo gitu aja!” ujar Kenny menggebu-gebu. Rachel hanya tertawa pahit.

“Lo gak akan bisa nemuin dia, dia ada di alam yang beda sama kita… Dia jauh, gak terjangkau… Lo mau tau siapa namanya? Yah, gapapa sih, lagian lo juga mungkin gak kenal dia.”

“Yaudah, siapa?” Rachel sempat berdeham kecil sebelum menyebutkan nama Kevin. Ia gugup.

“Namanya … Kevin…” Tenggorokan Kenny tercekat. Garpu dan pisau yang digunakanya untuk memotong steaknya jatuh dari genggamannya. Matanya terbelalak.

“Tunggu… Kevin siapa..?” tanya Kenny untuk meyakinkan dirinya bahwa tadi ia hanya salah dengar nama.

“Loh emang kenapa, Ken? Kok lo kayak kaget gitu?” tanya Rachel bingung.

“Bilang sama gue, Hel, nama lengkap si Kevin itu siapa?!” Nafas Kenny mulai meburu. Ia benar-benar terkejut. Tidak bisa dipercaya.

“Hah..? Ke..Kevin Gerald Pramata. Kenapa? Lo kenal dia?” Kali ini Kenny benar-benar mencapai puncaknya. Kaget yang sekaget-kagetnya. Tanpa bicara apapun, Kenny segera memanggil sang pelayan untuk meminta bill dan segera membayar makanan yang ada di mejanya.

“Loh, lo kan makannya belom selesai, Ken. Kok udah bayar aja sih?!” protes Rachel keras. Ia begitu bingung dengan tingkah laku Kenny. Benar-benar bukan seperti Kenny yang biasanya.

“Gapapa, Hel. Ayo makanan lo bungkus bawa pulang aja, gue anter lo pulang sekarang.” Kenny segera mengisyaratkan kepada seorang pelayan untuk membungkus makanan Rachel yang belum sampai ¼ dihabiskannya.

Kemudian setelah makanannya sudah siap dibawa pulang Kenny segera berjalan menuju tempat di mana motornya terparkir. Rachel yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi hanya mengekor di belakang. Namun, saat Kenny mulai menyalakan motornya, Rachel mulai kesal. Ia berusaha bertanya tetapi tidak diberi jawaban oleh Kenny. Kenny hanya diam membisu.

“KENNY! Lo ini kenapa sih! Bisu?! Gak bisa jawab gue?!” Akhirnya tingkat kemarahan Rachel mencapai level puncaknya. Bentakan Rachel membuat Kenny sedikit kaget, namun Kenny tetap menanggapi dengan tenang.

“Jawab? Jawab apa?” Ucapan Kenny terdengar dingin.

“Ya..ya.. Ya pertanyaan gue yang tadi, kenapa lo tiba-tiba mau pulang, plus tadi kenapa lo kaget pas gue nyebut nama Kevin..?!” ucapnya ragu. Rachel merasakan kedinginan nada Kenny. Dingin dan menusuk, tapi dalam dan perih.

“Tenang aja, ini gak ada hubungannya sama lo. Gak perlu kuatir. Dan lo gak perlu tau.”

“Gak bisa gitu dong, Ken. Gue cerita ke lo semua masalah gue, tapi lo—” Sebelum Rachel sempat menyelesaikan ocehannya, tiba-tiba suara bentakan mengagetkannya.

“UDAH GUE BILANG BUKAN URUSAN LO!” Kenny baru saja membentaknya. Rachel tidak berkutik, dan detik berikutnya ia menurut pada Kenny untuk segera pulang.

******************************************************************************

Kenny jadi galak hiks :"( Oke lebay :p Once again, thanks for your vote :D 

Blue Sky and YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang