Gadis itu berjalan dengan sangat berhati-hati. Sesekali dia melihat ke belakang, takut ada yang mengikutinya atau bahkan, lebih dari sekedar itu. Setelah memastikan tidak ada lagi yang mengikutinya, gadis itu kembali melanjutkan langkah kakinya. Menuju ke tempat. Tempat terlarang yang tidak banyak diketahui banyak orang. Tempat itu adalah tempat perkumpulan para 'pria bayaran'.
Yang dimaksud dengan 'pria bayaran' di sini, adalah pria yang bertugas melakukan apapun yang diminta kliennya dan nantinya, si klien akan membayar sejumlah uang yang sudah mereka sepakati sebelumnya. Tapi, biasanya, bayaran untuk para 'pria bayaran' itu sangat mahal. Mereka sangat profesional makanya, layak dihargai mahal.
Gadis itu mengetuk pintu rumah megah secara perlahan. Tak lama kemudian, pintu rumah itu terbuka. Seorang pria bertubuh tegap yang membukanya. Pria itu menatap si gadis dengan tatapan bingung. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria itu.
Gadis manis itu dengan cepat menarik nafas dan meraih sesuatu dari tasnya. Sebuah foto. Foto gadis lainnya.
"Bunuh dia! Gue akan bayar berapapun agar loe bisa bunuh dia!"
***
Pagi yang cerah di hari Senin. Senin. Mungkin banyak orang yang membenci hari yang mengawali hari-hari lainnya selama seminggu. Tapi, tidak untuk gadis berparas Japanese cantik yang sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Gadis itu bernama Aelke Mariska, seorang putri pengusaha terkenal di Indonesia.
Aelke adalah gadis berusia dua puluh tahun. Dia masih kuliah di Universitas Trisakti Jakarta. Dia adalah gadis lugu dan polos yang sangat rajin berangkat ke kampus. Di saat yang lain lebih memilih membolos daripada mengikuti pelajaran tambahan, Aelke justru sebaliknya. Aelke lebih suka belajar daripada harus bersenang-senang.
Lagipula, Aelke tidak tau bagaimana caranya bersenang-senang seperti yang lainnya. Aelke tidak punya banyak teman. Bukan karena tidak ada yang mau menjadi temannya tapi, semata-mata karena ayahnya. Ayah Aelke, Nicky Kurniawan namanya, sangat protektif kepada anak gadis satu-satunya yang dia miliki. Nicky bahkan memberikan Aelke seorang bodyguard. Padahal, hei, ini Jakarta. Siapa yang butuh bodyguard seperti itu?
Aelke berjalan ke luar dari kamarnya, menuju ke ruang makan. Ruang makannya sangat sepi. Nicky belum pulang dari Prancis. Aelke memang hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Ibunya memutuskan untuk pergi bersama kedua kakak Aelke sejak sepuluh tahun lalu. Sampai sekarang, Aelke belum melihat wujud ibu dan kakak-kakaknya itu.
"Sarapan pake apa, Bi?" tanya Aelke kepada pelayan di rumahnya, Bi Ina, sambil menarik kursi untuknya sendiri. Bi Ina yang tengah mengelap meja makan menghentikan kegiatannya dan menjawab, "soto ayam, Non. Tadi Bibi beli di abang-abang yang lewat. Gak apa-apa, kan?"
Aelke tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Gak apa-apa banget malah, Bi. Udah lama aku gak makan soto. Oh, iya, Bibi udah makan?" tanya Aelke kepada Bi Ina yang sudah tiga tahun terakhir menjadi pelayan di rumahnya.
"Udah, Non. Sekarang, Non Aelke habisin, ya. Mas Zio udah nunggu dari tadi." Ujar Bi Ina.
"Zio-nya udah dikasih sarapan, Bi?" tanya Aelke. Zio adalah nama bodyguard Aelke. Sepertinya, Aelke dan Zio seumuran.
"Udah, kok, Non."
"Oh, ya, udah. Aku makan, ya, Bi." Ujar Aelke sebelum sibuk memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.
***
"Aelke Mariska. Dua puluh tahun. Anak dari pengusaha terkenal Indonesia, Nicky Kurniawan. Mahasiswi Universitas Trisakti Jakarta. Tinggal di Jakarta Barat." Pria itu membaca kertas berisikan biodata yang kemarin diserahkan oleh gadis yang memberikan tugas kepada para 'pria bayaran' itu.
"So, dia target kita?" tanya pria berwajah Chinese khas itu.
"Bukan kita. Tapi, loe." ujar pria yang tadi membacakan isi biodata itu.
"Gue?" Pria bertubuh tegap itu membulatkan matanya. "Jadi, ini tugas gue? Individual?" tanya pria bertubuh tegap itu bingung.
"Enggak. Bukan individual. Tapi, kelompok namun, loe yang lebih dititikberatkan." Jawab temannya yang lain.
"Kenapa harus gue?"
"Karena loe pinter akting. Loe bisa deketin dia terlebih dahulu lalu, bunuh dia secara perlahan. Kemudian, kerjaan kita kelar dan kita akan dapat banyak keuntungan dari tewasnya gadis itu." jawab pria lainnya.
"Berapa keuntungan yang akan kita terima untuk proyek yang satu ini?"
"Lima ratus juta. Dan dia udah bayar tiga ratus juta sebagai uang muka."
"Gimana cara bunuh gadis itu secara perlahan? Gue gak ngerti."
***
Aelke berjalan masuk ke dalam kampusnya dengan kepala yang menunduk. Aelke memang selalu begitu ketika berhadapan dengan banyak orang. Aelke tidak suka diperhatikan dan jika Aelke menunduk, dia tidak akan perlu merasa risih atas perhatian orang-orang itu. Lagipula, Aelke juga tidak akan jatuh karena Zio senantiasa menjaganya dari belakang.
Akhirnya, Aelke sampai di kelasnya. Dengan cepat, Aelke menoleh ke arah Zio. "Udah sampe, Ham. Balik ke mobil sana. Kalo bosen, tunggu di kantin aja, oke?" ujar Aelke. Zio hanya menganggukkan kepalanya. Zio memang tak banyak bicara. Dia sangat pendiam.
Aelke berjalan masuk ke dalam kelasnya yang sudah ramai didatangi oleh beberapa mahasiswa dan mahasiswi. Sejujurnya, Aelke benci keramaian dan sekarang, dia sedang berada di keramaian.
Untungnya, keramaian itu berhenti tak lama kemudian saat seorang dosen memasuki kelas. Aelke memang bisa memprediksi waktu datang ke kampus dengan tepat tanpa harus menunggu terlalu lama ataupun terlambat.
Baru beberapa puluh menit dosen itu mengajar, tiba-tiba saja, sebuah batu menghantam kaca ruangan yang membuat pecahan kaca itu berjatuhan di lantai. Sontak, seisi ruangan mulai gaduh. Apalagi di tambah dengan batu-batu lainnya yang semakin memperburuk suasana. Semua orang yang berada di sana mulai sibuk menyelamatkan dirinya sendiri.
"KAMPUS KITA DISERANG!"
Teriakan itu seakan menggema jelas bersamaan dengan teriakan panik, jeritan dan kegaduhan yang ditimbulkan olehnya. Aelke hanya bisa terdiam tak berkutik saat semua orang yang tadi berada di dalam kelas mulai berhamburan ke luar dan meninggalkan Aelke seorang diri.
Aelke mengambil inisiatif sendiri. Aelke berniat untuk ikut melarikan diri namun, secara mengejutkan, pintu ruangannya di tutup paksa dan seakan dikunci dari luar. Mungkin, supaya tidak ada yang merusak fasilitas di dalam ruangan. Tapi, bagaimana dengan Aelke?
Aelke semakin panik. Gadis itu mengetuk-ketuk pintu kayu itu sambil berteriak, "tolong! Tolong!"
Tapi, rupanya, teriakan itu sama sekali tidak berhasil menarik perhatian siapapun yang melewati ruangan itu. Mereka terlalu sibuk menyelamatkan diri mereka. Aelke semakin ketakutan saat samar-samar dia mendengar suara jeritan, kaca pecah dan bahkan seperti suara pukulan kencang.
Aelke mundur beberapa langkah dan mulai mencari cara agar dia bisa selamat dari sana. Zio di mana? Seharusnya, sekarang adalah tugas Zio untuk menjaga Aelke.
Aelke baru berpikiran untuk bersembunyi di kolong meja namun, secara tiba-tiba sebuah batu seakan terbang ke arahnya. Batu itu mengenai kepala belakang Aelke dan kepala Aelke terlihat mengeluarkan darah. Aelke memegang kepalanya dan melihat darah yang ada di telapak tangannya. Pasti sangat sakit rasanya.
Gadis itu mulai hilang keseimbangan. Penglihatannnya semakin lama semakin kabur.
Namun, sebelum penglihatannya benar-benar gelap, Aelke masih sempat melihat pintu ruangan terbuka dan seorang pria berlari ke arahnya dengan raut wajah kalut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
FanfictionAelke selalu butuh pelindung dan Morgan datang sebagai pelindungnya.