Aelke mengerjap. Secara perlahan, gadis itu membuka kedua matanya dan di saat bersamaan, dia bisa merasakan sakit yang teramat di kepalanya. Aelke menyentuh kepalanya dan mendapati sesuatu yang ada di sana. Perban. Kepalanya di perban?
Aelke mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sial. Rumah sakit. Kenapa Aelke bisa berakhir di tempat yang paling dia benci ini? Aelke benci rumah sakit. Sangat membencinya. Menurut Aelke, rumah sakit itu seperti rumah tempat tinggal Malaikat Maut.
Aelke melepaskan beberapa peralatan medis yang ada di sekujur tubuhnya. Setelah itu, dengan tergesa-gesa Aelke beranjak dari ranjang dan hendak berjalan menuju ke pintu dan saat itu pula, Aelke nyaris jatuh karena hilang keseimbangan jika saja tidak ada tangan yang sigapnya menahan pinggul Aelke.
Aelke menoleh dan setengah mati terkejut mendapati pria yang tidak dia kenali berada di dekatnya. Pria itu menatap Aelke dingin sebelum berkata, "loe gak bisa pergi dari rumah sakit ini sebelum gantiin uang gue."
Aelke melepaskan diri dari orang itu. Aelke melangkah mundur sebelum memicingkan mata menatap orang asing yang ada di hadapannya sekarang. "Kamu siapa? Sejak kapan kamu ada di sini? Mau kamu apa?" tanya Aelke bertubi-tubi.
Pria itu memutar bola matanya. "Gue Morgan. Gue di sini sejak kemarin dan sekarang, gue mau loe gantiin uang yang gue pake buat bayar administrasi rumah sakit." Jawab pria itu cuek. Aelke menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa kamu yang bawa aku ke sini?" tanya Aelke lagi.
"Emangnya kenapa? Loe berharap, tiba-tiba Superman dateng dan nyelametin loe gitu? Ditambah lagi dengan luka loe yang parah di kepala. Kalo loe nunggu Superman dateng, mungkin sekarang, loe bukan ada di rumah sakit tapi, di rumah Tuhan." Jawab pria bernama Morgan itu ketus.
Aelke menghela nafas sedikit lega. Gadis itu meraih tasnya yang ada di atas meja di samping ranjang. Untungnya, Morgan masih sempat membawakan tas itu saat dia harus menggendong Aelke ke luar dari ruang kelas yang menjadi sasaran lemparan batu mahasiswa-mahasiswa labil itu. Labil? Ya, mungkin.
Aelke menghubungi Zio dan mengabarkan keadaannya kepada Zio. Aelke bisa mendengar jelas suara panik Zio dari sana. Di handphone Aelke, hampir semua panggilan masuk didominasi oleh Zio dan Bi Ina. Aelke sedikit bersyukur karena Zio belum menghubungi ayahnya. Jika iya, mungkin ayahnya akan segera mengambil penerbangan kembali ke Jakarta.
Selesai menghubungi Zio, Aelke balik menatap Morgan. "Berapa uang yang udah kamu keluarin buat bayar rumah sakit ini?"
Morgan tidak menjawab. Sepertinya, pria itu sedikit menyesal meminta uangnya dikembalikan oleh Aelke. Biar bagaimanapun juga, sebenarnya, Morgan bukan orang yang suka menagih hutang. Morgan juga bukan orang miskin yang butuh uangnya dikembalikan. Morgan termasuk orang berada.
"Udah, lah. Lupain aja soal biaya administrasi. Gue akan ikhlasin semua itu." ujar Morgan. Aelke memicingkan matanya. "Tadi minta dikembaliin. Lagipula, aku gak suka punya hutang sama seseorang." Ujar Aelke.
"Iya tapi, gue berubah pikiran. Gue gak akan nagih uang itu lagi, kok. Tenang aja." Kata Morgan.
"Tapi, aku masih punya hutang sama kamu. Aku gak mau punya hutang. Aku gantiin aja, ya?" Aelke bersikeras.
Morgan berpikir sejenak. "Boleh, deh, digantiin. Tapi, gak pake uang."
"Pake apa, dong?" Aelke mengangkat sebelah alisnya.
"Hari Sabtu dan Minggu ini, ada acara gak?"
***
Aelke kembali ke rumahnya. Aelke dijemput oleh Zio dan sesampainya di rumah, Bi Ina langsung memberikan banyak pertanyaan kepada Aelke. Aelke hanya dapat menjawab sebisanya setelah itu, gadis itu meminta izin agar Bi Ina membiarkannya beristirahat. Ditambah lagi, luka di kepala Aelke belum benar-benar pulih.
Aelke masuk ke dalam kamarnya secara perlahan. Baru saja menutup pintu kamarnya, tiba-tiba saja Aelke terbayangkan wajah tampan pria bernama Morgan itu. Secara tak sadar, Aelke tersenyum namun, sedetik kemudian, senyuman itu lenyap. Tergantikan oleh raut wajah kesal. Ya, kesal. Kesal akan sikap Morgan yang menyebalkan itu.
Baru saja memikirkan pria itu, handphone Aelke bergetar oleh pesan dari orang itu. Morgan. Morgan mengiriminya pesan? Bagaimana bisa? Jadi, sebelum sempat Aelke sadar, Morgan mengacak-acak handphone Aelke dan menyimpan nomornya di sana?
From: Morgan
Sabtu dan Minggu. Jangan lupa.
Aelke mengernyit menatap pesan singkat itu. Kelewat singkat bahkan. Bahasanya saja seperti bahasa resmi. Tidak ada singkatan dan semacamnya. Bahkan, emoticon saja tidak ada. Pastinya, pria ini makhluk paling datar di dunia. Aelke membalas pesan itu.
To: Morgan
Mencoba untuk tidak melupakan.
Aelke terkekeh membaca pesannya itu. Terdengar sangat resmi dan Aelke nyaris tertawa terbahak-bahak merasa bahwa dia baru saja mengirim pesan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak lama kemudian, handphone Aelke bergetar. Balasan dari Morgan.
From: Morgan
Gimana kalo gue jemput biar gak lupa? ;)
Aelke menganga membaca pesan dari Morgan itu. Terkesan jauh dari pesannya yang pertama. Kali ini lebih santai dan terkesan dengan emoticon tersenyum dengan mata berkedip. Genit, eh?
Aelke membalas.
To: Morgan
Kamu gak tau alamat rumah aku.
Aelke berpikir sambil melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Entah kenapa, ini pertama kalinya Aelke mengirim pesan berkali-kali seperti ini kepada orang lain yang bahkan belum dua puluh empat jam dia kenali. Jika ayahnya tau, mungkin, Aelke akan mendapatkan ceramah panjang dari ayahnya untuk tidak terlalu mempercayai orang yang baru dikenal.
Dan hei, Morgan kembali membalas.
From: Morgan
Tau.
Jawaban sangat singkat. Hanya tiga huruf dan dibubuhi dengan tanda titik di akhir kalimat. Aelke kembali mengernyit. Morgan tau rumahnya? Tau dari mana? Aelke kembali berpikir dan akhirnya, dia sadar satu hal. Tas Aelke tadi berantakan. Itu artinya, Morgan sudah melihat isi tas Aelke dan sepertinya, Morgan menyimpan alamat Aelke. Untungnya, Morgan bukan maling karena isi tas Aelke tidak ada yang hilang. Hanya berantakan saja.
To: Morgan
Kamu ngacak-acak tas aku!
Selesai mengirimkan pesan itu, Aelke kembali diam. Menunggu. Menunggu balasan dari Morgan? Untuk apa menunggu balasan dari pria itu? Kenapa Aelke mendadak seakan tak bisa berbuat banyak untuk menolak kehadiran pria itu? Aelke menarik nafas dan membuangnya. Berusaha menghilangkan semua pikiran negatif diotaknya hingga akhirnya, pikiran itu hilang begitu saja bersamaan dengan pesan balasan dari Morgan.
From: Morgan
Maaf, deh. Abis kepo.
Aelke terdiam sejenak sebelum tertawa membaca pesan itu. Kepo? Kata apa itu? Berasal dari mana? Bagaimana bisa seseorang yang seperti Morgan mengenal kata itu?
Sambil tetap tertawa, Aelke membalas pesan Morgan itu.
To: Morgan
Makanya jangan kepo. Gak sopan banget, sih. Nyebelin.
Setelah itu, Aelke kembali menunggu cukup lama untuk mendapatkan balasan dari Morgan. Baru kali ini, Aelke rela menunggu balasan pesan dari seseorang. Padahal, biasanya, Aelke jarang membalas pesan dari orang lain.
Aelke menunggu lebih dari tiga puluh menit sampai akhirnya, handphonenya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Dengan wajah ceria dan senang, Aelke segera membuka pesan itu. Berharap jika itu balasan dari Morgan namun, nyatanya, itu hanyalah sebuah pesan dari orang lain yang berhasil membuat Aelke mengangkat sebelah alisnya.
From: Unknown
Balkon.
Aelke tak mengerti dengan isi pesan itu. Balkon? Balkon kamarnya atau apa? Aelke menimbang-nimbang sebelum akhirnya, gadis itu memutuskan untuk berjalan menuju ke balkon kamarnya. Aelke terkejut mendapati sebuah box berpita merah ada di lantai balkon.
Aelke meraih box itu dan segera membuka tutupnya. Aelke menjerit melihat isi box itu dan segera melemparkannya kembali. Isinya adalah sebuah bangkai tikus. Apa-apaan ini?!
Aelke kembali masuk ke dalam kamarnya dan di saat bersamaan, handphonenya kembali bergetar. Pesan masuk dari nomor yang tidak dia kenali itu. Isi pesannya berhasil membuat Aelke lemas seketika.
From: Unknown
Kamu akan berakhiran sama dengan tikus itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
FanfictionAelke selalu butuh pelindung dan Morgan datang sebagai pelindungnya.