"Aelke! Aelke!"
Teriakan demi teriakan itu terdengar sedari tadi. Ke luar dari mulut ketiga orang pria beserta seorang wanita yang sedari tadi berjalan menyusuri perkebunan teh Puncak yang cukup luas. Mereka berempat dengan dibantu oleh tim SAR dan kepolisian berusaha menemukan keberadaan Aelke. Ya, Aelke menghilang dari villanya.
"Gan, istirahat, please? Gue gak kuat," gadis itu mulai menghentikan langkahnya. Morgan menoleh ke arah sepupunya itu. "San, gue kan udah bilang kalo loe tunggu aja di villa sama polisi lainnya. Biar gue yang cari Aelke." Morgan menekankan.
"Kita juga capek, Gan. Mana keadaan gue belum membaik lagi." celetuk Ilham mengatur nafasnya. Morgan menatap Ilham, Dicky dan Sandra bergantian sebelum melepaskan tas ransel besarnya dan meletakkan tas ransel itu di dekat Sandra yang mulai duduk kelelahan.
"Kalian tunggu di sini. Biar gue yang cari Aelke sampe ketemu," setelah itu, Morgan berlari cepat meninggalkan ketiga orang itu yang mulai tercekat atas kenekatan Morgan.
"San, terus kita harus gimana? Morgan gila, ya? kita udah nyari Aelke selama tiga jam. Dari jam tiga pagi sampe jam enam pagi. Dia gak capek apa?" gerutu Dicky. Sandra menarik nafas. "Cinta itu bisa mengubah apapun, Ky."
***
Aelke menghilang. Rafael dan Jenny yang ternyata merencanakan semua ini. Kedua kakak beradik itu berencana menyingkirkan Aelke karena menurut mereka berdua, Aelke adalah pembawa sial untuk keluarga bahagia mereka sebelum Aelke datang.
Jenny yang memerintahkan kelima pria bayaran itu untuk meneror adik terakhirnya terus menerus. Lalu, Rafael pun memutuskan untuk membantu secara tidak langsung atas perintah Jenny. Namun, dipemeriksaan kepolisian, diketahui jika Rafael mengalami gangguan kejiwaan karena terlalu banyak tekanan dalam hidupnya. Jenny sering menekannya harus melakukan apapun yang Jenny mau.
Menurut Jenny, Aelke harus merasakan hidup yang jauh lebih menyedihkan dari hidupnya dan hidup Rafael dulu. Yang harus pontang-panting di jalan sambil membawa ibu mereka yang sakit. Yang lebih membuat Jenny marah akan Aelke adalah karena Aelke tidak datang menemui ibunya saat ibunya sakit bahkan, sampai di pemakaman. Jenny masih ingat jelas jika ibunya ingin bertemu dan memeluk Aelke. Oleh karena itu, entah dari mana asal mulanya, gadis itu berpikir jika dia harus tetap mengabulkan keinginan terakhir ibunya itu. Untuk dapat bertemu dan memeluk putrinya. Bukankah ibu mereka sudah meninggal? Itu artinya, Aelke juga harus mati supaya mereka bisa bertemu dan berpelukan di surga sana, kan? Itulah jalan pikiran Jenny.
Selain itu, Jenny juga menyukai Morgan. Terobsesi bahkan. Jenny mengenal Morgan dari kampusnya. Ya, dia satu kampus dengan Morgan.
Mengetahui kedekatan Aelke dan Morgan, Jenny menjadi semakin membenci Aelke dan semakin melancarkan niatnya membunuh adik kandungnya itu.
Jenny ditahan dikepolisian sementara Rafael di bawa ke rumah sakit jiwa untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan Aelke? Morgan masih berusaha mencari di mana Rafael menyembunyikan gadis itu. Rafael tutup bicara saat ditanyai perihal Aelke karena Jenny terus saja mengancamnya. Jenny juga tidak mau buka mulut.
Morgan sudah berhasil mencapai pertengahan hutan. Pria itu seperti tidak lelah mencari keberadaan Aelke. Morgan menarik nafas dan memutuskan untuk tidak beristirahat terlalu lama. Dia harus mencari keberadaan Aelke. Udara di sini sangat dingin. Aelke bisa mati kedinginan jika dibiarkan berada di luar.
Morgan meneruskan langkahnya. Sekitar sepuluh meter berjalan, Morgan akhirnya menemukan gadis itu. Bersandar pada akar pohon besar dengan keadaan berbaring lemah. Morgan segera berlari menghampiri Aelke. Morgan meraih tubuh Aelke masuk ke dalam pelukannya. Morgan mengernyit merasakan tubuh Aelke yang sangat dingin. Seperti es.
"Ke, kamu gak apa-apa, kan?" Morgan menepuk-nepuk pipi Aelke lembut namun, tidak ada balasan. Nafas Aelke juga terdengar sangat lemah.
Morgan mulai panik. Dia melepaskan jaket dan kausnya lalu, memakaikan di tubuh Aelke namun, itu tidak membawa perubahan apapun.
Salah satu cara menghasilkan kehangatan adalah menyentuh kulit Aelke dengan kulitnya langsung, kan?
***
Aelke membuka matanya secara perlahan, merasakan matahari yang menerangi matanya. Aelke memicingkan matanya sebelum menatap sekeliling. Aelke terkejut mendapati Sandra tertidur di salah satu sofa tunggu. Aelke baru sadar jika dia berada di rumah sakit.
Aelke bergerak, berusaha tidak menimbulkan suara apapun yang dapat membangunkan Sandra namun, Sandra malah terbangun dan tersenyum lebar sambil berlari ke luar ruangan. Berteriak, "Suster! Dokter! Aelke sadar!"
Tak lama kemudian, seorang dokter datang dan mulai meriksa Aelke. Aelke hanya diam. Setelah memeriksa Aelke, dokter itu tersenyum dan mulai bertanya, "gimana perasaan kamu?" Aelke mengedikkan bahu. "Gak tau." Jawab Aelke polos. Dokter itu kembali tersenyum sebelum menarik selimut Aelke. "Istirahat, ya. Nanti sore, saya akan periksa keadaan kamu lagi. Setelah itu, kamu boleh pulang." Dokter itu pun berjalan meninggalkan rungan Aelke.
Sandra menghampiri Aelke dengan wajah ceria. "Aelke! Kamu gak apa-apa, kan? Aku panik banget gara-gara tim kamu ditemuin di bawah pohon dengan muka pucet bareng Morgan."
"Morgan?"
"Iya. Morgan yang nyari kamu semalaman. Dia nemuin kamu di dalam hutan. Hampir beku. Dia bahkan rela ngelepas jaket dan kausnya buat bikin kamu hangat. Alhasil, dia sendiri, kan, juga gak begitu tahan dingin jadi, ya, dia ambruk di tempat. Tanpa pake atasan." Jelas Sandra tersenyum tipis.
Aelke membulatkan matanya. "Terus, keadaannya gimana?" tanya Aelke panik.
"Badannya dingin banget. Kayak es. Kayaknya dia kena hipotermia. Tapi, dia, kan kuat." Aelke tak percaya mendengar ucapan Sandra itu. Aelke melepas selimutnya dan hendak beranjak dari ranjang namun, Sandra malah menahan langkahnya.
"Eh, mau ke mana?" tanya Sandra.
"Aku mau liat keadaan Morgan, San. Dia pasti kayak begini gara-gara aku! Aku juga mau minta maaf karena udah nuduh dia sebagai peneror aku selama ini." jawab Aelke.
"Morgan udah maafin kamu. Dia pasti maafin kamu." Sandra menekankan.
"Tapi, aku mau ketemu dia langsung." Ujar Aelke. Sandra menggelengkan kepalanya. " Sekarang, kamu lebih baik istirahat, oke? Abis itu kamu bisa pulang. Bukannya kamu gak betah di rumah sakit?" tanya Sandra. Aelke menganggukkan kepalanya.
"Rafael gimana?" tanya Aelke tiba-tiba.
"Rafael dibawa ke psikiater buat diperiksa terlebih dahulu. Dia sebenarnya gak apa-apa tapi, hidupnya terlalu dikekang sama Jenny. Jenny ada di villa yang kamu dan Rafael datangi kemarin. Dia nemuin Rafael di dapur saat Rafael buatin kamu cokelat panas. Jenny ngeletakin obat tidur di cokelat panas itu. Setelah memastikan kamu tidur, Jenny nyuruh Rafael bawa kamu ke tempat yang jauh dan dingin. Niat Jenny, dia mau kamu mati tapi, tanpa meninggalkan jejak apapun." Jelas Sandra.
"Aku gak percaya Jenny setega itu sama aku." ujar Aelke membayangkan jika Jenny itu adalah kakaknya.
Sandra tersenyum tipis. "Ya, gak selamanya keluarga kita terdiri dari orang baik, kan? Oh, iya, Papa kamu kemungkinan besar sampai lusa."
Aelke menganggukkan kepalanya namun, dia masih saja cemas dengan keadaan Morgan. "Kamu boleh cek-in keadaan Morgan gak? Aku tunggu di sini, deh." Ujar Aelke. Sandra tercekat. Sandra menundukkan kepala sebelum berkata dengan lesu, "Morgan gak mau ketemu kamu lagi, Ke. Dia ngerasa bersalah karena menurutnya, dia gak becus jadi penjaga buat kamu. Dia gak mampu ngelindungin kamu, kayak janjinya ke Oma."
"Oma?"
"Ya, Oma. Morgan dekat sama Oma, nenek aku dan Morgan. Oma minta Morgan nunjukin seberapa penting seorang gadis—yang Morgan yakini adalah jodohnya. Jadi, Morgan harus melindungi gadis itu dengan baik. Tapi, semenjak kejadian ini, Morgan bilang, dia sadar akan satu hal: dia terlalu mengharapkan gadis itu kamu namun, fakta berkata lain. Dia gak berhasil ngelindungin kamu dari Rafael. Jadi.." ucapan Sandra tertahan.
"Jadi, apa?" tanya Aelke tidak sabaran.
Sandra menarik nafas dan membuangnya secara perlahan. "Jadi, Morgan akan menerima perjodohan itu."
SELESAI
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
FanfictionAelke selalu butuh pelindung dan Morgan datang sebagai pelindungnya.